Suku laut di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, lebih mudah menerapkan pembatasan sosial karena hidupnya terpisah dari kelompok lain. Makanan pokok berupa sagu dan ikan membantu mereka tetap mandiri selama masa pandemi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Suku laut, komunitas adat terpencil di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, lebih mudah menerapkan pembatasan sosial karena hidupnya terpisah dari kelompok masyarakat lain. Makanan pokok berupa sagu dan ikan membantu mereka tetap mandiri selama masa pandemi.
Ketua Yayasan Kajang Densy Diaz, Minggu (10/5/2020), mengatakan, mayoritas warga suku laut sebenarnya tidak begitu paham tentang bahaya dan cara penyebaran Covid-19. Yayasan Kajang adalah lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi suku laut.
Meskipun warga tidak paham, kata Densy, mereka tidak keberatan menaati imbauan pemerintah setempat untuk membatasi mobilitas orang. Sejak 28 Maret lalu, Pemkab Lingga melarang transportasi darat, laut, maupun udara mengangkut penumpang. Yang diizinkan beroperasi hanya kapal-kapal kargo pengangkut bahan pokok dari Jambi.
”Suku laut tidak begitu paham soal Covid-19. Mereka hanya tahu untuk sementara tidak boleh menjual ikan ke kota karena sedang ada wabah yang berbahaya,” kata Densy, saat dihubungi melalui telepon.
Suku laut atau orang laut hidup nomaden di atas sampan. Oleh karena itu, mereka juga dikenal dengan sebutan pengembara laut. Sekarang, sebagian sudah ada yang tinggal dan menetap di pulau-pulau kecil sekitar Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga.
Menurut Densy, setidaknya kini terdapat 30 titik perkampungan suku laut di Senayang. Pada 2018, jumlah mereka tercatat 830 keluarga atau 4.064 jiwa. Mayoritas bekerja sebagai nelayan tradisional. ”Suku laut hanya menangkap ikan dengan pancing dan tombak. Mereka tidak serakah sehingga lingkungannya terjaga sampai sekarang,” ujar Densy.
Hasil tangkapan dari laut berupa ikan, cumi, kerang, dan udang sebagian besar dikonsumsi sendiri bersama gubal, yaitu parutan sagu basah yang dicampur dengan kelapa parut kemudian digoreng tanpa minyak. Sampai sekarang, sagu masih menjadi makanan pokok mayoritas orang laut.
Alam yang masih terjaga dan keragaman pangan, menurut Densy, membuat suku laut lebih siap menghadapi pandemi dalam waktu panjang. Selama masih ada sagu dan ikan, orang laut tidak perlu bergantung kepada daerah lain untuk mendapat pasokan bahan pangan.
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Lingga, hingga 10 mei, menunjukkan, belum ada pasien positif maupun pasien dalam pengawasan di kabupaten tersebut. Sebanyak 10 orang dari total 11 orang dalam pemantauan sudah selesai menjalani observasi.
”Pembatasan mobilitas yang dilakukan Pemkab Lingga terbukti bisa melindungi warga dari Covid-19. Sesuai rencana, kebijakan ini akan berlaku paling tidak hingga 8 Juni 2020,” kata juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Lingga, Wirawan.
Meskipun demikian, ia mengakui, sosialisasi bahaya dan cara penularan Covid-19 perlu didorong lagi hingga menjangkau seluruh lapisan warga, terutama suku laut di pulau-pulau terpencil. Saat ini, sosialisasi di tingkat terkecil itu sekadar bergantung kepada upaya masing-masing kepala desa.
Menurut Wirawan, suku laut yang bermukim terpisah dari warga Melayu sebenarnya justru memiliki keuntungan dalam penanganan Covid-19. ”Karena jumlah warganya sedikit dan ikatan kekeluargaannya erat, tokoh adat bisa lebih mudah memantau kedatangan orang asing di kampungnya,” ujarnya.