Perbedaan Tafsir Hasil Tes Cepat Membuat Dua Puskesmas di Paser Tutup Sementara
Perbedaan menafsir hasil tes cepat di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, membuat dua puskesmas ditutup sementara. Melakukan tes cepat berbahaya tanpa disertai pemahaman cara pemeriksaan dan penafsiran hasilnya.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Perbedaan menafsir hasil tes cepat atau rapid test di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, membuat dua puskesmas ditutup sementara. Hasil tes cepat yang seharusnya nonreaktif dinilai reaktif sehingga sebagian besar tenaga kesehatan di sana harus menjalani karantina mandiri.
Sebelumnya, seluruh tenaga kesehatan di Puskesmas Kecamatan Long Kali dan Puskesmas Kecamatan Long Ikis menjalani tes cepat karena menangani pasien positif Covid-19. Dari hasil tes cepat itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Paser menafsirkan 97 tenaga kesehatan di sana menunjukkan reaktif hasil tes cepat.
Meski hasil tes cepat tidak bisa dijadikan rujukan utama untuk mendeteksi seseorang terjangkit Covid-19, Dinas Kesehatan Kabupaten Paser memutuskan untuk menutup sementara dua puskesmas tersebut. Itu dilakukan karena sebagian besar tenaga kesehatan harus menjalani karantina mandiri selama 14 hari.
Yang semula ditafsirkan reaktif, ada yang ternyata nonreaktif. Saat itu alat (tes cepat) baru datang dan kami belum mendapat petunjuk cara menafsirkan hasil tes cepatnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paser Amir Faisol mengatakan, Dinkes Paser saat itu belum mendapat panduan membaca hasil tes cepat. Akhirnya, terdapat perbedaan penafsiran dari hasil tes cepat itu.
Untuk mengantisipasi penularan Covid-19, sebagian besar tenaga kesehatan di dua puskesmas itu diputuskan untuk menjalani karantina mandiri berdasarkan hasil penafsiran awal tes cepat yang menunjukkan reaktif sejak akhir April 2020. Pada awal Mei, petunjuk membaca hasil tes cepat itu sudah datang dan dipelajari Dinas Kesehatan Kabupaten Paser.
”Yang semula ditafsirkan reaktif, ada yang ternyata nonreaktif. Saat itu alat (tes cepat) baru datang dan kami belum mendapat petunjuk cara menafsirkan hasil tes cepatnya,” kata Amir ketika dihubungi, Kamis (7/5/2020).
Beberapa tenaga kesehatan di puskesmas itu akhirnya menjalani tes kedua dan menunjukkan hasil nonreaktif. Mereka yang sudah menjalani karantina mandiri selama 14 hari dan hasil dua kali tes cepat nonreaktif bisa bekerja seperti biasa di puskesmas.
Dua puskesmas itu sudah beroperasi kembali sejak Selasa (5/5/2020). Namun, sebagian besar petugas kesehatan di puskesmas itu masih harus melakukan karantina mandiri hingga 14 Mei 2020. Mereka juga perlu mengikuti tes cepat yang kedua kali.
Petugas kesehatan yang bekerja di Kecamatan Long Ikis saat ini hanya 18 orang dari total 85 orang. Sementara tenaga kesehatan di Puskesmas Long Kali yang bekerja hanya 12 orang dari total 40 orang.
Banyaknya tenaga kesehatan yang menjalani karantina mandiri membuat sebagian layanan di puskesmas tidak berjalan, seperti rawat inap dan pelayanan dokter gigi. Untuk sementara waktu, warga yang akan menggunakan layanan itu harus pergi ke puskesmas lain terdekat.
Beberapa tenaga medis itu akan menjalani tes cepat kedua pada minggu ini. Jika hasil tes cepat menunjukkan nonreaktif, mereka bisa kembali bertugas seperti biasa dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Jika masih ada yang positif, mereka akan menjalani tes usap (swab) tenggorokan untuk mengetahui apakah mereka terjangkit Covid-19 atau tidak.
Kemampuan menafsir
Pensiunan Guru Besar Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Marzuki Suryaatmadja, mengatakan, melakukan tes cepat berbahaya tanpa disertai pemahaman cara pemeriksaan dan penafsiran hasilnya (Kompas, 4/5/2020).
Tes cepat dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dianggap memberikan hasil saat itu juga. Tes cepat adalah mendeteksi antibodi yang dibentuk tubuh sebagai reaksi terhadap masuknya virus, sementara umumnya antibodi baru terdeteksi setelah 8-10 hari gejala Covid-19, seperti demam, batuk, dan sesak napas.
”Diagnosis klinis untuk deteksi dini dan penentuan kesembuhan pada Covid-19 adalah berdasarkan swab hidung dan tenggorokan untuk deteksi gen virus dengan metode polymerase chain reaction (PCR),” kata Marzuki.
Selama ini, uji laboratorium sampel dari Kalimantan Timur dikirim ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Surabaya. Karena banyaknya sampel yang dikirim dari sejumlah daerah, hasil uji laboratorium baru bisa diterima oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada 7-14 hari pengiriman.
Kalimantan Timur mendapat jatah bantuan alat PCR dari Kementerian BUMN dan sudah tiba di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan. Dengan alat itu, seluruh proses uji laboratorium sampel memakan waktu enam jam untuk 40-50 sampel dengan ekstraksi manual.
Alat PCR itu nantinya dapat digunakan untuk memeriksa sampel lendir dari hidung dan tenggorokan pasien yang terindikasi Covid-19 di 10 kabupaten dan kota di Kalimantan Timur.
”Saat ini kami sedang menyiapkan petugas laboratorium untuk mengikuti pelatihan penggunaan alat PCR. Jika tidak ada kendala, kemungkinan minggu depan alat itu sudah bisa digunakan,” kata Syamsul saat meninjau alat PCR di Balikpapan.