Ketika Gempa dan Korona Meneror Bersamaan, Mau Lari ke Mana?
Gempa dan virus korona, dua hantu yang bersamaan meneror masyarakat di Maluku itu, kian mencemaskan. Di sisi lain, masyarakat belum memiliki pedoman penyelamatan diri kala gempa yang terjadi di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·4 menit baca
Sebagian warga Pulau Babar terbangun dari tidur lelap pada Rabu (6/5/2020) pukul 22.53 WIT. Tempat tidur bergoyang dan dinding rumah pun bergetar. Mereka berhamburan keluar. Di Laut Banda, sekitar 95 kilometer utara pulau itu, terjadi gesekan lempengan bumi yang menyebabkan guncangan gempa bermagnitudo 7,3.
”(Gempa berlangsung) sekitar lebih dari 10 detik, kuat sekali. Bikin mual,” kata Nabas Saily (50), warga Pulau Babar, saat dihubungi pada Kamis (7/5) pagi. Beberapa warga yang tinggal dekat pesisir pun langsung berlari menjauh mencari perbukitan. Berlari jadi refleks yang secara alami terbentuk dalam diri mereka. Hidup di zona cincin api, mereka berulang kali dikagetkan dengan guncangan gempa dengan getaran kuat. Sontak, alam sadar mereka mengingat peristiwa tsunami di berbagai belahan bumi.
Setelah yakin kondisi benar-benar aman, mereka kembali ke rumah. Namun, ada saja yang masih merasa ketakutan sehingga memilih tidur di teras atau luar rumah. Hingga Kamis pagi, mereka masih merasakan sedikit getaran yang mulai melemah. Kondis mulai normal, aktivitas harian berlanjut seperti biasa di pulau yang berbatasan dengan Australia itu. Babar masuk wilayah Kabupaten Maluku Barat Daya.
Habis telepon ini, pasti sinyal hilang lagi. Saya coba cari ketinggian biar dapat sinyal.
Laporan dari Nabas sekaligus menepis kekhawatiran banyak orang mengenai kondisi warga di daerah yang berada dekat episentrum gempa. Betapa tidak, getaran gempa itu bahkan terasa hingga ke sejumlah wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua yang terpaut lebih jauh dari episentrum gempa. Lebih dari 10 kali lipat dibandingkan jarak pusat gempa dengan Babar. Di Merauke, Papua, dan Sumba (NTT), getaran terasa hingga II MMI (skala intensitas merkali).
Nabas pun baru bisa dihubungi pagi tadi setelah telepon genggamnya sempat menangkap sinyal yang entah dari mana datangnya. Padamnya listrik sejak semalam menyebabkan pemancar sinyal seluler di kampung terdekat mati. ”Habis telepon ini, pasti sinyal hilang lagi. Saya coba cari ketinggian biar dapat sinyal,” ucapnya sesaat sebelum komunikasi dengan Kompas terputus.
Kepanikan yang sama dialami warga di Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Getaran yang terasa di sana mencapai IV MMI. Padahal, Saumlaki terpaut sekitar 180 kilometer dari episentrum gempa atau setara hampir dua kali jarak Babar ke pusat gempa.
”Tiba-tiba barang jatuh di kamar dan suara orang-orang berteriak. Saya kira saya lagi mimpi, padahal benaran gempa,” tutur Yanti Samangun (35), warga Saumlaki.
Virus korona ditambah gempa ini bikin semakin sengsara.
Warga berhamburan ke luar rumah, lalu berkumpul. Hampir semuanya tak mengenakan masker. Kepanikan di tengah malam itu membuat mereka tidak ingat protokol kesehatan di tengah pandemi virus korona baru penyebab Covid-19 yang terjadi saat ini. ”Ada yang sudah keluar rumah terus balik lagi ambil masker. Virus korona ditambah gempa ini bikin semakin sengsara,” ucap Yanti.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Kepulauan Tanimbar Doni Bruno Layan mengatakan, hingga kini belum ada laporan kerusakan yang diterima dari masyarakat. Ia telah berkoordinasi dengan para camat untuk menghubungi kepala desa yang wilayahnya berada dekat dengan episentrum gempa.
Beberapa desa yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi seluler dihubungi menggunakan radio. ”Jaringan kami di lapangan juga melaporkan bahwa tidak ada kerusakan akibat gempa tersebut. Kami terus memperbarui data dari lapangan,” kata Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin.
Menurut Andi, gempa yang terjadi merupakan jenis gempa menengah akibat ada aktivitas subduksi di Laut Banda. Gempa memiliki mekanisme sesar naik atau thrust fault. Gempa pada kedalaman 133 kilometer itu tidak berpotensi menimbulkan tsunami. Menurut riwayat kegempaan di Laut Banda, pernah terjadi gempa dahsyat, yakni tahun 1981 (M 8,1), 1950 (M 8,1), 1963 (M 8,2), dan 2019 (M 7,7). Banyak patahan di Laut Banda.
Sementara secara keseluruhan, sebagaimana catatan BMKG, gempa di Maluku tersebar merata. Dalam satu tahun, gempa terjadi ribuan kali. Pada 2016 tercatat 1.222 kejadian, 1.392 kejadian (2017), 1.587 kejadian (2018), dan 5.100 kejadian (2019). Sepanjang 2020, mulai 1 Januari hingga 7 Mei pukul 11.30 WIT terjadi 1.338 kejadian.
Gempa terakhir yang masih menyisakan luka adalah gempa Ambon pada September 2019. Dampak gempa bermagnitudo 6,5 yang menewaskan puluhan orang itu pun sebenarnya belum pulih. Gempa yang silih berganti ini terus mengingatkan masyarakat betapa Maluku sangat rawan gempa. Belum lagi catatan tsunami masa lampau yang tidak boleh dilupakan.
Jejak tsunami pernah ditulis Georg Eberhard Rumphius dalam De Levensbeschrijving van Rumphius abad ke-17 yang dialihbahasakan oleh Frans Rijoly. Rumphius menulis, gempa besar diikuti tsunami pernah terjadi di Ambon pada 17 Februari 1674. Naturalis Jerman itu mencatat lebih kurang 2.300 orang meninggal, termasuk istri dan anaknya.
Gempa yang bisa terjadi kapan saja itu seakan berpadu bersama datangnya virus korona yang telah ditetapkan sebagai pandemi dalam empat bulan terakhir. Hingga Kamis (7/5), sebanyak 24 orang di Maluku dinyatakan positif terinfeksi virus korona. Satu orang di antaranya meninggal. Pasien dalam pengawasan dan orang dalam pemantauan tersebar merata di 11 kabupaten/kota.
Gempa tak bisa ditebak kapan akan terjadi, sedangkan virus korona yang tak terlihat bentuknya itu juga masih sulit diprediksi kapan akan hilang. Kedua hantu itu terus meneror masyarakat Maluku. Sementara masyarakat belum cukup paham cara menghadapi kedua hantu itu jika mereka datang dalam waktu bersamaan. Jadi, mau lari ke mana?