Pembunuhan Empat Orang di Kei, Polisi Tangkap Tujuh Pelaku
Tujuh pelaku pembunuhan empat orang di Desa (Ohoi) Faan, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, pada Selasa (5/5/2020) petang, telah ditangkap polisi pada hari Rabu. Para pelaku dan korban punya hubungan darah.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pelaku pembunuhan terhadap empat orang di Desa (Ohoi) Faan, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, pada Selasa (5/5/2020) petang terus diburu polisi. Hingga Rabu (6/5/2020) malam, polisi telah menangkap tujuh orang yang diduga sebagai pelaku. Motif pembunuhan itu adalah rebutan lahan adat. Pelaku dan korban masih memiliki hubungan darah.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat menuturkan, korban adalah HR, FR, ES, dan AS. Mereka dibunuh di kebun dekat desa itu oleh lebih dari 10 orang. Para pelaku menggunakan parang dan tombak. Roem tidak merinci identitas korban. Namun, berdasarkan foto para korban, satu di antaranya adalah ibu rumah tangga berusia di atas 50 tahun.
Selepas peristiwa itu, polisi memburu para pelaku. Hingga Rabu malam, tujuh orang telah ditangkap. ”Jumlah pelaku lebih dari itu, dan masih terus dikejar anggota. Terhadap mereka yang sudah ditangkap, penyidik sudah menetapkan enam orang sebagai tersangka,” kata Roem yang pernah menjabat Kepala Polres Maluku Tenggara itu.
Polisi menangkap para pelaku di sejumlah tempat berbeda. Semua pelaku masih satu famili. Dalam penangkapan itu, tidak ada perlawanan. Polisi masih memburu pelaku lain yang kini diperkirakan masih berada di Pulau Kei Kecil. Pengetatan akses akibat pandemi Covid-19 ikut mencegah mereka melarikan diri ke luar daerah. Polisi mengimbau agar mereka menyerahkan diri.
Menurut Roem, keenam tersangka itu adalah TO, JR, LL, JRG, HR, dan TR. Mereka diganjar dengan pasal 351 tentang penganiayaan dan pasal 340 tentang pembunuhan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Selain itu, penyidik juga menimpali lagi dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 perihal kepemilikan senjata dan alat tajam. Mereka terancam hukuman 20 tahun penjara.
Menurut Roem, motif pembunuhan itu adalah rebutan warisan lahan. Baik pelaku maupun korban masih mempunyai hubungan darah. Mereka sama-sama berasal dari satu marga. ”Lahan itu milik marga yang disengketakan di antara mereka sendiri. Mereka masih satu garis keturunan. Apakah ini konflik lama atau baru, masih dalam penyidikan,” ujar Roem.
Roem menuturkan, hingga Rabu malam, personel gabungan Polri dan TNI masih siaga di Desa Faan dan sekitarnya. Keberadaan mereka untuk mencegah terjadi aksi balas dendam akibat pembunuhan itu. Berkaca pada sejumlah kasus sebelumnya di Kei, sering kali terjadi aksi balas dendam setelah pembunuhan.
Oce (46), warga Langgur, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara, saat dihubungi dari Ambon, menuturkan, pasca-pembunuhan itu, warga setempat ketakutan dengan kemungkinan aksi balas dendam. Jalanan di kota yang lengang akibat pembatasan sosial pandemi Covid-19 itu kian sepi. Terlebih lagi, lokasi pembunuhan berada dekat jalan utama dari Bandara Karel Sadsuitubun ke pusat kota.
”Kalau dirunut, banyak marga berhubungan darah dengan para korban, misalnya keluarga dari perempuan yang dibunuh itu yang berasal dari marga lain. Ini yang repot nanti,” kata Oce. Langgur dan Faan sama-sama berada di Pulau Kei Kecil. Konflik di desa-desa sekitar terdampak sampai ke kota.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku Benediktus Sarkol menyesalkan terjadinya pembunuhan tersebut. Masyarakat seharusnya sadar bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum, baik adat maupun formal. Dalam tatanan budaya Kei, tokoh adat harus mengambil peran untuk menengahi masalah ini.
”Menghilangkan nyawa orang itu menciptakan masalah baru yang semakin sulit dituntaskan. Kita harus belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa kekerasan bukan cara menyelesaikan masalah. Kita semua bersaudara. Semoga ini menjadi peristiwa terakhir,” kata Benediktus, yang juga keturunan Kei itu.