Petani Madu Kelulut Kubu Raya Nikmati Manisnya Panen Saat Pandemi Covid-19
Permintaan warga terhadap madu kelulut yang diproduksi para petani di sejumlah desa pesisir di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, meningkat signifikan sejak pandemi Covid-19. Madu kini menjadi mata pencarian utama.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Permintaan masyarakat terhadap madu kelulut yang diproduksi para petani di sejumlah desa pesisir di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, meningkat signifikan. Bahkan, permintaan melampaui 100 persen sejak pandemi Covid-19 merebak. Permintaan madu meningkat karena masyarakat memerlukannya untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Dede Purwansyah, Direktur Eksekutif Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan yang mendampingi petani madu kelulut Kubu Raya, Senin (4/5/2020), mengatakan, penjualan madu kelulut sejak Februari meningkat. ”Puncaknya pada Maret penjualan hingga 500 kilogram. Biasanya per bulan hanya sekitar 100 kilogram,” ujar Dede.
Sampan Kalimantan merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada pemberdayaan masyarakat pesisir dan masyarakat dalam kawasan. Pemberdayaan dilakukan guna mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Pada April, meskipun menurun dibandingkan dengan Maret, penjualan madu tetap lebih tinggi dari hari-hari biasanya, yakni mencapai 200 kg yang terjual per bulan. Awal Mei, hingga Senin (4/5/2020), penjualan sudah 180 kg.
”Penjualan tidak hanya di Kalbar, tetapi juga ada pesanan dari sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Surabaya, Jawa Timur. Di tengah pandemi, orang perlu meningkatkan daya tahan tubuh. Madu kelulut ada kandungan propolis, bee pollen, dan sugar sari pati tumbuhan mangrove, mempunyai detoksin tinggi untuk kekebalan tubuh,” tutur Dede.
Harga jual juga lebih rendah dari biasanya karena Sampan tak ingin mengambil keuntungan banyak di tengah pandemi. Kemasan kotak isi tiga biasanya seharga Rp 110.000 menjadi Rp 90.000. Dari hasil penjualan, ada juga yang disisihkan untuk membantu masyarakat tidak mampu yang terdampak secara ekonomi sejak pandemi Covid-19.
Bagi konsumen yang membeli dalam jumlah banyak untuk kepentingan sosial, diberikan harga lebih rendah dari harga pasar. Sebagian pembeli memang bertujuan sosial.
Ada 11 kelompok yang mengusahakan budidaya madu kelulut. Mereka tersebar di 12 desa di Kubu Raya. Jumlah anggota totalnya sekitar 100 orang. Sebelum pandemi, beternak kelulut menjadi penghasilan sampingan. Namun, sejak pandemi Covid-19, madu kelulut menjadi panghasilan utama dan penopang ekonomi di kala pandemi.
Madu kelulut ada kandungan propolis, bee pollen, dan sugar sari pati tumbuhan mangrove, mempunyai detoksin tinggi untuk kekebalan tubuh.
Penghasilan bersih petani per bulan biasanya Rp 1,5 juta. Itu pun biasanya sulit dicapai. Namun, kini ada petani yang bisa berpenghasilan bersih Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan. Madu kelulut menjadi penopang mereka. Kapasitas produksi madu kelulut secara keseluruhan mencapai 2,5 ton per bulan. Ada lebih dari 5.000 kotak tempat membudidayakan kelulut.
Perhutanan sosial
Perekonomian di kawasan pesisir Padang Tikar bergeliat sejak kawasan itu disahkan menjadi perhutanan sosial pada 14 Februari 2017 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penetapan ini merupakan bagian dari skema proteksi, produksi, dan pembangunan hutan desa. Upaya mewujudkan perhutanan sosial dirintis secara bertahap sejak 2012.
Wilayah yang masuk dalam bentang pesisir Padang Tikar didominasi gambut dan mangrove. Kawasan itu terdiri atas beberapa desa, antara lain Batu Ampar, Tanjung Harapan, Sungai Jawi, Ambarawa, Teluk Nibung, Sungai Besar, Tasikmalaya, Padang Tikar 1, Medan Mas, dan Nipah Panjang.
Sebelum disahkan menjadi perhutanan sosial, potensi yang ada, seperti madu kelulut, sulit dikembangkan secara optimal oleh masyarakat. ”Sebab, tidak ada akses legal bagi masyarakat. Mereka merasa waswas saat melakukan kegiatan ekonomi karena tidak ada kepastian usaha,” kata Dede.
Sebelumnya masyarakat juga sulit mengakses sumber daya alam di sana karena terkendala status kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan produksi konversi. Padahal, mereka sudah sejak lama tinggal di wilayah itu.
Peningkatan kapasitas masyarakat di sana juga tidak lepas dari peran Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH), institusi nirlaba yang mendukung rencana pertumbuhan hijau di Indonesia dan memperluas akses pasar komoditas ke dunia internasional.
Lorens dari West Kalimantan Landscape Manager Yayasan IDH mengatakan, untuk mengembangkan potensi di daerah itu, pada 2017 dilakukan studi kelayakan pengelolaan usaha bersama dan membangun bisnis modelnya. Hasil studi kelayakan itu, ada beberapa usaha yang dinilai potensial, salah satunya madu kelulut.
Selanjutnya dibentuk kelompok di setiap desa untuk mengembangkan komoditas sesuai keunggulan wilayahnya. Setelah itu, dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat dan akses kerja sama untuk pemasarannya.