Mengacu Data Lama, Bantuan di Tegal Dinilai Belum Merata
Dalam penyaluran bantuan sosial tahap pertama, Pemerintah Kota Tegal, Jateng, mengacu data warga miskin tahun 2018. Akibatnya, bantuan belum sepenuhnya merata karena tidak menjangkau warga miskin baru.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Masyarakat di Kota Tegal, Jawa Tengah, berharap pembaruan data warga miskin dilakukan agar bantuan pangan yang disalurkan pemerintah lebih tepat sasaran dan merata. Data yang menjadi acuan pembagian bantuan selama ini diperkirakan data lama tahun 2018.
Sejumlah warga di Kota Tegal mengeluhkan belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal, mereka juga terdampak pandemi Coronavirus disease 2019 atau Covid-19. Rohani (37), misalnya, warga Kelurahan Kejambon, Kecamatan Tegal Timur, mengaku, selama pandemi Covid-19, keluarganya belum mendapatkan bantuan apa pun dari pemerintah.
Bulan lalu, Rohani sempat didata dan dimintai fotokopi kartu keluarga oleh perangkat rukun tetangga (RT) setempat. Menurut Rohani, pengurus RT tersebut mengatakan bahwa hal itu dilakukan dalam rangka pendataan warga miskin.
”Kalau sudah dimintai (data) seperti itu, artinya mereka (pejabat RT) tahu kalau keluarga saya miskin. Tetapi, waktu pembagian bantuan, keluarga saya malah tidak dapat,” kata Rohani saat ditemui di Kelurahan Kejambon, Senin (4/5/2020).
Rohani mengatakan, selama ini, keluarganya tidak tercatat sebagai penerima bantuan Program Keluarga Harapan maupun bantuan pangan nontunai. Padahal, Rohani merasa dirinya layak mendapat bantuan karena sudah 1,5 bulan belakangan suaminya dirumahkan dan tidak bekerja sama sekali. Sementara itu, Rohani yang sehari-hari bekerja sebagai penjual makanan beku tersebut mengaku pendapatannya sebulan terakhir merosot.
Suami Rohani yang biasanya bekerja sebagai buruh bangunan biasanya bisa membawa pulang hingga Rp 100.000 per hari. Adapun hasil penjualan bersih dari warung Rohani sekitar Rp 90.000 per hari. Artinya, dalam kondisi normal, keluarga Rohani mendapatkan pemasukan sebesar Rp 190.000 per hari.
”Tetapi, sekarang ini dagangan saya tidak laku sama sekali. Mau cari uang Rp 30.000 per hari saja susahnya minta ampun,” ujar Rohani.
Hal serupa juga diungkapkan warga Kelurahan Kejambon lain, Juriyah (57). Sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan di Kota Tegal pada 23 April 2020, suami Juriyah yang bekerja sebagai tukang becak sama sekali tidak memperoleh pendapatan. Dalam kondisi normal, suaminya biasa mendapat sekitar Rp 40.000 per hari.
”Kalau tidak punya uang sama sekali, saya datang ke Alun-alun Kota Tegal. Setiap sore ada orang yang bagi-bagi nasi bungkus di sana,” kata Juriyah.
Juriyah sudah berusaha melapor kepada pengurus RT setempat bahwa keluarganya tidak mendapat bantuan. Pengurus RT berjanji akan menyampaikan keluhan Juriyah ke perangkat kelurahan. Juriyah berharap, keluarganya bisa segera mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Moebi (50), salah satu ketua rukun warga (RW) di Kelurahan Debong Tengah, Kecamatan Tegal Selatan, mengaku, dirinya kerap diprotes warga karena bantuan yang diberikan pemerintah kota kurang merata. Moebi mengungkapkan, data yang dijadikan acuan pemerintah dalam pembagian bantuan bahan pangan merupakan data masyarakat miskin pada tahun 2018.
”Dalam rentang tahun dua tahun itu, ada warga yang meninggal, ada yang pindah, ada yang sudah tidak miskin, ada warga miskin baru, dan lain-lain. Kalau data tahun 2018 dipakai untuk acuan menyalurkan bantuan di tahun 2020, jelas tidak sinkron dan berpotensi menimbulkan konflik,” kata Moebi.
Kalau data tahun 2018 dipakai untuk acuan menyalurkan bantuan di tahun 2020, jelas tidak sinkron dan berpotensi menimbulkan konflik. (Moebi)
Selama ini, Moebi hanya bisa menampung aduan dari warga miskin yang tidak mendapatkan bantuan dan melaporkannya ke kelurahan. Ia berharap pengurus RT dan RW dilibatkan dalam pembaruan data warga miskin. Dengan begitu, bantuan bisa tepat sasaran dan dirinya tidak menjadi sasaran protes warga.
Pada 20-22 April 2020, Pemerintah Kota Tegal menyalurkan bantuan kepada 16.356 keluarga. Menurut Ketua DPRD Kota Tegal Kusnendro, masih ada sekitar 6.000 warga terdampak pandemi Covid-19 yang belum mendapatkan bantuan.
Secara terpisah, Wakil Wali Kota Tegal Muhamad Jumadi mengakui pihaknya menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai acuan penyaluran bantuan tahap pertama masyarakat terdampak pandemi Covid-19, bulan lalu. Seiring waktu, pihaknya menerima sejumlah aduan dari masyarakat dan berjanji akan memperbaikinya pada penyaluran bantuan pangan tahap kedua, 15 Mei 2020.
”Beberapa hari lalu, kami mendapat Surat Edaran Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 11 Tahun 2020 bahwa pemerintah daerah diperbolehkan menggunakan data non-DTKS untuk menyalurkan bantuan. Jadi, pada penyaluran batuan pada tahap kedua nanti, kami gabungkan antara DTKS dan non-DTKS sebagai acuan penyaluran bantuan,” ujar Jumadi.
Warga yang masuk dalam data non-DTKS adalah warga yang dirumahkan, pedagang, tukang becak, dan warga miskin baru yang terdampak pandemi Covid-19.
Jumadi mengatakan, dalam penyusunan data warga miskin non-DTKS, pihaknya melibatkan seluruh perangkat pemerintah hingga tingkat RT dan RW. Pengurus RT dan RW diminta mendata warga miskin di wilayahnya kemudian menyetorkan datanya ke kelurahan.
Setelah data terkumpul, petugas Dinas Sosial Kota Tegal dan kelurahan akan memvalidasi dan memverifikasi data tersebut. Menurut Jumadi, warga yang masuk dalam data non-DTKS adalah warga yang dirumahkan, pedagang, tukang becak, dan warga miskin baru yang terdampak pandemi Covid-19.