Mencegah Covid-19, Sejumlah Suku di NTT Gelar Ritual Adat Tolak Bala
Masyarakat Nusa Tenggara Timur menggelar adat tolak bala guna mencegah penyebaran penyakit. Ritual adat itu dilakukan sejumlah desa dengan memakai kearifan lokal masing-masing.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Masyarakat adat di sejumlah desa di Nusa Tenggara Timur menggelar upacara adat tolak bala guna mencegah penyebaran penyakit. Upacara adat ini dihadiri 3-5 tokoh adat, bertujuan memanggil kekuatan leluhur menghalau penyebaran Covid-19 agar semua warga di wilayah itu terhindar dari ancaman penyakit tersebut.
Tokoh adat suku Demondei di Adonara, Flores Timur, NTT, Frans Duli yang dihubungi di Adonara, Senin (4/5/2020), mengatakan, upacara adat di desanya digelar Sabtu (2/5/2020), melibatkan semua warga Desa Demondei, baik mereka yang berdiam di dalam desa itu maupun yang berada di perantauan. Upacara ini disebut bekang boang, artinya membarui dan melindungi kampung, digelar ketika wabah penyakit, hama tanaman, dan cuaca buruk mengancam daerah itu.
”Tahun ini upacara tolak bala diselenggarakan lagi setelah diselenggarakan tahun 2006 dan 2013 untuk mengusir hama tikus yang merusak tanaman warga dan menghalau cuaca buruk. Kali ini untuk menolak penyebaran Covid-19 di Desa Demondei khususnya dan Adonara umumnya. Upacara ini melibatkan lima tokoh adat mewakili lima suku di desa itu,” tutur Duli.
Ritual bekang boang bertujuan meminta leluhur dan kekuatan ”Rera Wulan Tanah Ekan”, dewa langit dan bumi, untuk menghalau wabah virus Covid-19 agar tidak singgah di desa itu. Jika ada warga dari desa itu yang terinfeksi, pun segera mungkin dihalau atau disembuhkan sebelum menyebar ke warga lain.
Ketua adat menerima hewan korban berupa seekor ayam jantan dari setiap kepala keluarga untuk didoakan. Inilah hewan tebusan dosa bagi setiap kepala keluarga. Hewan ini sebagai pembersihan dosa, kesalahan, dan penolakan semua bentuk ancaman penyakit, terutama Covid-19.
Tahun ini upacara tolak bala diselenggarakan lagi setelah diselenggarakan tahun 2006 dan 2013 untuk mengusir hama tikus yang merusak tanaman warga dan menghalau cuaca buruk.
Darah ayam jatuh di batu mesbah persembahan, kemudian sebagian dicampur dengan air kelapa muda untuk dipercikkan pada semua anggota keluarga yang hadir. Ini sebagai simbol perlindungan sekaligus pembersihan diri bagi keluarga itu.
Anggota keluarga yang berada di perantauan pun disebutkan namanya oleh ketua adat dalam doa adat untuk mendapatkan pertolongan serupa. Ketua adat mengambil bagian tertentu dari ayam, seperti jantung, paru, dan paha, untuk dipersembahkan kepada leluhur. Bagian ini dibakar khusus untuk leluhur. Sementara daging hewan dimasak di dalam bambu, dimakan bersama.
Tokoh masyarakat Desa Witihama, Flores Timur, Johanes Helan, mengatakan, Desa Witihama menggelar ritual serupa dengan tujuan menolak penyebaran Covid-19. Sesuai tradisi Adonara, jika satu desa sudah menggelar ritual tolak bala, tetapi desa lain tidak melakukan, sasaran penyakit itu akan datang ke desa yang tidak memiliki kekuatan (pelindung) dari leluhur serta dewa langit dan bumi.
Setiap ritual adat wajib ditandai dengan penumpahan darah hewan korban di tanah atau batu, simbol penebusan dosa yang dibuat warga desa itu. Ritual itu sah dan diterima leluhur apabila setelah darah hewan korban tumpah di tanah, ada binatang semut atau hewan ternak memakan atau minum.
Hal serupa terjadi di Ngada. Warga Desa Langa, Ngada, menggelar ritual adat reba sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus memohon perlindungan dari berbagai wabah penyakit, terutama virus korona. Upacara reba melibatkan semua komponen masyarakat, termasuk pejabat daerah setempat. Reba biasanya digelar awal tahun untuk memohon perlindungan Tuhan sepanjang tahun bagi kehidupan manusia.
Sementara di Desa Fatumnasi, Kecamatan Molo Utara, Timor Tengah Selatan, masyarakat adat setempat menggelar ritual adat yang sama. Mereka menyembelih seekor babi, yang darahnya ditumpahkan di tempat keramat, yang diyakini sebagai tempat tinggal awal para leluhur. Darah hewan korban itu kemudian dipercikkan kepada semua hadirin, selain disiram ditumpahkan ke tanah dan batu.
Ketua Perhimpunan Masyarakat Adat Molo, Aleta Baun, mengatakan, semua bentuk bencana yang terjadi selalu ada kaitan dengan perilaku manusia yang kurang harmonis dengan alam, termasuk Covid-19. Memulihkan hubungan itu, masyarakat Timor Tengah Selatan menggelar upacara adat yang disebut tita maputu, artinya pemulihan hubungan dengan alam, sekaligus menolak hukuman alam berupa kehadiran wabah korona.
”Ritual tolak bala ini bagi orang berpendidikan, yang mengkaji dari sisi ilmu pengetahuan, tentu tidak masuk akal. Tetapi, ini bagian dari kearifan lokal masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi dan dalam praktik memang ada bukti yang dialami masyarakat,” kata Aleta.
Di Sikka digelar upacara adat tolak bala yang disebut joga segu ngawe re’e di Kecamatan Mego. Upacara ini memohon perlindungan kekuatan tertinggi datang melindungi warga di wilayah itu agar terhindar dari ancaman Covid-19.
Ritual tolak bala ini bagi orang berpendidikan, yang mengkaji dari sisi ilmu pengetahuan, tentu tidak masuk akal. Tetapi, ini bagian dari kearifan lokal masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi dan dalam praktik memang ada bukti yang dialami masyarakat.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Sumba Umbu Manurara mengatakan, masyarakat suku Retadakaka di Kecamatan Loli, Sumba Barat, menggelar ritual adat yang disebut hamayang, artinya sembahyang. Kegiatan ini untuk meminta leluhur agar musibah tidak terjadi berkepanjangan menyerang manusia.
Warga juga menaati peraturan pemerintah soal menjaga jarak fisik sehingga yang hadir dalam upacara itu hanya tujuh orang. Menurut Manurara, sebelum agama resmi datang menjumpai masyarakat Adonara khususnya dan NTT umumnya, para nenek moyang di daerah itu percaya akan leluhur dan kekuatan tertinggi, dengan sebutan yang berbeda.
Suku Lamaholot, misalnya, menyebut rera wulan tanah ekan, suku Timor menyebut uis neno uis pah, suku Rote menyebut lama tuak, dan Sumba disebut Marapu serta suku Sabu menyebutnya genitiu.