Harga jagung di tingkat petani di Lampung semakin turun seiring meluasnya area panen. Nasib petani semakin terpuruk.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Harga jagung di tingkat petani di Lampung semakin turun seiring meluasnya area panen. Serangan hama ulat dan rendahnya serapan industri membuat harga jagung dari petani jadi tidak optimal. Nasib petani jagung semakin terpuruk.
Di sentra produksi jagung Kabupaten Lampung Selatan, harga jagung berkisar Rp 1.700-2.000 per kilogram. Sebagian lebih rendah karena tingginya kadar air. Angka itu jauh di bawah kondisi saat panen Desember 2019 yang mencapai Rp 4.000 per kilogram.
Suyanto(45), petani jagung di Desa Bumisari, Kecamatan Natar, mengatakan, dia tak mendapat untung pada panen jagung musim ini karena harga jagung anjlok. Padahal, dia terlanjur mengeluarkan modal lebih besar karena tanaman jagungnya terserang hama ulat.
“Saya keluarkan modal Rp 5 juta untuk mengolah lahan jagung 0,5 hektar. Tapi harga malah anjlok,” kata Suyanto di Lampung Selatan, Jumat (1/5/2020).
Dalam kondisi normal, dia hanya butuh modal sekitar Rp 3,5 juta untuk modal menanam jagung. Namun, Suyanto terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk membeli pestisida tambahan untuk membasmi hama ulat di kebunnya. Sayangnya, saat dia panen, harga jagung justru semakin turun.
Suyanto hanya mendapat uang sekitar Rp 5,1 juta dari hasil menjual 3 ton jagung pada pengepul. “Cuma ada selisih harga Rp 100.000 untuk keringat selama empat bulan,” keluhnya.
Dia mengakui, kualitas jagungnya tidak optimal karena terserang hama ulat. Selain bonggol jagung tidak terisi penuh, ukuran jagung yang dihasilnya lebih kecil. Selain itu, sejumlah industri ternak pakan yang menyerap jagung juga membatasi operasionalnya akibat pandemi Covid-19.
Banyak petani kesulitan mengeringkan jagung di tengah kondisi cuaca yang tidak menentu seperti sekarang ini.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Lampung Selatan, M Amin Syamsudin menyatakan, sebagian besar petani mendapat harga jual jagung Rp 1.700 per kilogram. Harga rendah itu dipengaruhi kadar air yang tinggi, skeitar 35-40 persen.
Menurut dia, memang masih ada pengepul yang menawarkan harga Rp 3.500 dengan syarat kadar air 14 persen. Namun, banyak petani yang tidak mendapat harga itu karena mereka kesulitan mengeringkan jagung di tengah kondisi cuaca yang tidak menentu seperti sekarang ini. Petani juga tidak punya solusi lain karena mereka tidak mempunyai oven pengering. Kondisi itulah yang membuat petani terpaksa menjual jagung dengan harga rendah.
Selain itu, petani juga harus menunggu 2-3 hari agar jagungnya terserap pabrik. Pasokan jagung yang melimpah tak sebanding dengan kapasitas produksi pabrik. Apalagi, sejumlah pabrik yang menyerap jagung petani mulai membatasi jam operasi selama pandemi Covid-19.
Menurut dia, banyak petani yang memilih menanam jagung karena pengepul menawarkan pinjaman modal. Saat kondisi harga anjlok seperti ini, petani biasanya akan berutang pada pengepul untuk modal panen musim berikutnya. Kondisi itulah yang membuat nasib petani makin terpuruk.
Dia berharap, pemerintah dapat mengatur harga pokok pembelian jagung di tingkat petani. Agar petani untung, harga jual di tingkat petani semestinya berkisar Rp 3.500 – Rp 4.000 per kg.
Amin menambahkan, petani padi sejumlah sentra pertanian padi di Lampung juga mulai memasuki masa panen rendeng. Saat ini, harga jual gabah kering panen di tingkat petani berkisar Rp 3.400 - Rp 3.700 per kilogram.
Menurut dia, sebagian petani padi masih menahan menjual gabahnya karena menunggu serapan dari Bulog Lampung. Sebagian lagi memilih menyisikan padinya untuk stok pangan di tengah situasi pandemi Covid-19.