Sulitnya Menemui Penyintas Covid-19 yang Jadi Korban Hoaks Pemberitaan Media
Kisah wartawan Kompas di Maluku, Frans Pati Herin, mewawancarai Lebrien Gaspersz Tamtelahitu, pasien Covid-19 pertama di Ambon. Lebrien trauma dengan media karena diberitakan sudah meninggal oleh sebuah media.
Kabar perawatan Lebrien Gaspersz Tamtelahitu, nenek berusia 78 tahun, beredar pada Sabtu (3/4/2020) malam menggemparkan seisi Kota Ambon. Ia menjadi warga Kota Ambon pertama yang diduga terinfeksi virus korona baru, penyebab Covid-19.
Kepanikan seakan meliputi kota berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Kini, virus korona telah masuk Ambon dibawa oleh pelaku perjalanan yang baru tiba dari Makassar, Sulawesi Selatan. Para awak media langsung memburu data tentang Lebrien, tempat tinggalnya, riwayat perjalanan, serta keluarga dekatnya. Informasi yang dikumpulkan malam itu sangat terbatas.
Perbincangan tentang nenek itu ramai di media sosial dan belasan grup percakapan yang saya ikuti. Banyak yang mengkhawatirkan kondisinya. Berkaca pada statistik Covid-19 di seluruh dunia, deretan korban meninggal sebagian besar diisi para penduduk lanjut usia. Nenek itu dianggap tengah berjuang melawan kemustahilan.
Kekhawatiran itu memuncak keesokan paginya. Salah satu media daring berbasis di Ambon memberitakan kematian Lebrien. Heboh. Warga semakin panik. Ini berarti kematian terkait Covid-19 pertama di Maluku. Saya coba membuka tautan berita itu. Penulis artikel menggunakan sumber anonim, yakni seorang perawat di Rumah Sakit TNI AD dr Latumeten yang menyatakan kabar kematian itu. Tak ada nama perawat dimaksud.
Saya sendiri belum terlalu yakin dengan kebenaran berita itu. Saya lalu menghubungi Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku Meikhyal Pontoh melalui pesan singkat. Saya mengonfirmasi ihwal kabar itu. ”Hoaks paskali (Sungguh itu berita hoaks),” jawab Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Maluku itu.
”Tega sekali pembuat hoaks itu. Nanti mereka sendiri yang kena Covid-19,” tulis Meikhyal lagi. Dokter perempuan yang murah senyum dan kerap bercanda dengan awak media itu tampak marah. Saya lalu membagikan tangkapan layar percakapan itu ke sejumlah grup percakapan. Tak berapa lama, bermunculan bantahan dari sejumlah sumber berkompeten terkait kabar kematian itu.
Berita yang tidak benar itu akhirnya dihapus. Redaksi media menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Sayangnya, tautan berita kematian Lebrien telanjur beredar di media sosial Facebook dan grup percakapan. Banyak orang yang termakan berita itu ikut membagikan berkali-kali.
Setelah beredar klarifikasi di media sosial bahwa Lebrien masih hidup, publik berbalik mengkritik media. Warganet mempertanyakan sumber anonim dan menyayangkan proses verifikasi yang tidak disiplin. Media jadi bulan-bulanan warganet yang merasa kecewa dengan kerja oknum wartawan itu. Pihak keluarga tentunya terluka.
Lebrien pun menjalani perawatan hingga hasil pemeriksaan swab (usap) diumumkan. Ia dinyatakan positif Covid-19. Sebanyak lima anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan Lebrien diisolasi di mes pemerintah. Mereka juga menjalani pemeriksaan swab dan hasilnya negatif.
Kabar kesembuhan
Dalam sejumlah konferensi pers yang digelar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku, awak media selalu menanyakan perkembangan penanganan pasien Covid-19, khususnya Lebrien. Ketua harian gugus tugas Kasrul Selang menyatakan kondisi nenek 78 tahun itu semakin membaik. Pada 17 April, Lebrien dinyatakan sembuh. Dua kali hasil pemeriksaan swab menunjukkan hasil negatif.
Publik Maluku menyambut gembira kesembuhan Lebrien, pasien berusia 78 tahun itu. Lebrien membangkitkan harapan banyak orang yang cemas dengan wabah ini. Virusnya dianggap sebagai malaikat pencabut nyawa terutama bagi kaum lanjut usia. Di media sosial, pujian dialamatkan kepada Lebrien dan semua tim medis.
Awak media lalu mengusulkan kepada gugus tugas agar menghadirkan Lebrien untuk membagikan kisahnya selama masa kritis. Namun, setelah berkonsultasi dengan pihak keluarga, tampaknya mereka tidak bersedia. Beredar kabar bahwa keluarga merasa kecewa dengan media yang telah memvonis Lebrien meninggal tanpa dasar yang jelas.
Saya menghubungi Meikhyal dan menyampaikan permohonan untuk bisa mewancarai Lebrien. ”Oma (Lebrien) sudah kembali ke rumahnya,” ujar Meikhyal.
Dengan begitu, tak ada lagi ruang bagi gugus tugas untuk mempertemukan media dengan pasien sembuh. Meikhyal memahami, banyak pertanyaan media terkait Lebrien yang tidak bisa dijawab gugus tugas lantaran berhubungan dengan pengalaman personal.
Tak sebatas bahagia dengan kesembuhan Lebrien, saya menangkap masih ada rasa penasaran lain dari publik. Banyak yang terus bertanya tentang perjalanan pasien lanjut usia itu dalam melawan Covid-19. Sebuah perjuangan yang tidak mudah. Kisah ini belum ditulis oleh media. Saya tertantang dan mencoba keberuntungan lewat jalur lain.
Bantuan gereja
Saya lalu mencari sumber yang mengetahui latar belakang Lebrien. Dari empat orang yang saya hubungi, mereka membenarkan bahwa Lebrien merupakan anggota jemaat Gereja Protestan Maluku. Ia berdomisili di Kelurahan Batu Meja dan berada di bawah komunitas Jemaat Syalom. Saya memutuskan mencoba masuk melalui jaringan Gereja Protestan Maluku (GPM).
GPM merupakan institusi keagamaan yang memiliki jejaring sangat kuat di Maluku. Jumlah anggota jemaatnya saat ini 527.328 jiwa yang tersebar di 762 komunitas jemaat. Sebagian besar dari mereka berada di Provinsi Maluku dan sedikit di Maluku Utara. GPM merupakan anggota dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). GPM berdiri pada 6 September 1935, kemudian menjadi anggota PGI pada 25 Mei 1950.
Sejak bertugas dengan wilayah liputan Maluku dan Maluku Utara tahun 2014, saya kerap berhubungan dengan jemaat dan juga pendeta GPM. Mereka sering membagikan informasi eksklusif hingga bantuan akomodasi bagi saya ketika meliput di daerah terpencil. Pastori atau kediaman pendeta sering menjadi tempat saya menumpang manakala tidak ada penginapan.
Misalnya, saya dibantu saat meliput pencurian teripang di perairan Seira, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, pada tahun 2016. Pendeta setempat memberikan speedboat gereja untuk saya pakai dua hari ke lima pulau yang menjadi tempat pencurian yang didalangi oknum tentara. Liputan eksklusif itu tayang di halaman muka harian Kompas selama dua hari. Para pencuri akhirnya ditindak.
Beberapa kali saya diminta mengisi kelas menulis dan meliput isu-isu lingkungan yang diselenggarakan oleh pemuda GPM. Kedekatan itu terus terjaga. Kini, saya kembali meminta tolong kepada GPM. Saya mencoba menghubungi orang nomor dua di GPM, yakni Sekretaris Umum Majelis Pekerja Harian Sinode GPM Pendeta Elifas Tomix Maspaitella, lewat pesan singkat. Saya menyampaikan keinginan saya untuk mewawancarai Lebrien.
Tak lama setelah mengirim pesan, Elifas merespons dan menyatakan kesediaannya untuk membantu. Ia berjanji akan menghubungi Ketua Majelis Jemaat (KMJ) Syalom dan secepatnya mengabari saya. ”Beta cek KMJ sekarang. Everything is ator gampang sa kalau di gereja (Kalau di kalangan gereja, semua gampang diatur),” tulis Elifas melempar candaan. Elifas adalah tokoh muda yang sangat terbuka.
Keesokan harinya, Kamis (23/4/2020), KMJ Syalom Pendeta Deky Picauly menghubungi saya dan menyampaikan bahwa keluarga Lebrien bersedia diwawancarai pukul 14.00 hari itu juga. Ini jelas kabar gembira bagi saya. Sebelum menuju rumah Lebrien, saya singgah di Pastori Syalom, lalu diantar seorang petugas gereja. Lebrien dan anaknya, Hengky Tamtelahitu (46), sudah menunggu saya di teras rumah. Saya tiba lima menit sebelum pukul 14.00.
Keduanya menyapa saya dengan hangat dan ramah. Wancara santai dan penuh canda tawa itu berlangsung selama hampir satu jam. Hasil wawancara saya tulis dalam artikel berjudul ”Kisah Nenek 78 Tahun Asal Ambon yang Berhasil Taklukkan Korona”.
Dalam kesempatan itu, terungkap kekecewaan keluarga terhadap pemberitaan sejumlah media yang dianggap menyudutkan mereka. Korban Covid-19 dianggap sebagai pembawa aib. Mereka kian terpukul saat ada media yang memberitakan bahwa Lebrien sudah meninggal. Itulah alasan mengapa mereka menolak diwawancarai media
”Baru Kompas yang kami terima dan hanya satu-satunya. Yang lain minta, tapi kami tidak bersedia. Jangan sampai kami bicara lain, mereka tulis lain,” ujar Hengky yang juga pejabat eselon III di Pemprov Maluku.
Pelajaran penting dari kasus ini adalah betapa sulitnya memulihkan kepercayaan publik yang telanjur kecewa pada media. Publik cenderung menggeneralisasi. Mereka kadang tak peduli asal media.
Semoga semua awak media yang meliput Covid-19 selalu membangkitkan harapan publik lewat karya jurnalistiknya. Keterbatasan akses jangan sampai mengabaikan prinsip kerja.