PT ASDP Gilimanuk-Ketapang terpaksa melayani para penyeberang dari Bali ke Banyuwangi di Jawa Timur. Penyeberang adalah korban PHK yang tak lagi mampu tinggal di Bali.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Ratusan orang nekat menyeberang dari Bali ke Jawa melalui penyeberangan Ketapang-Gilimanuk kendati PT ASDP sudah tidak menjual tiket untuk penyeberang nonlogsitik. Desakan warga yang ingin menyeberang itu akhirnya membuat PT ASDP kembali melayani para penyeberang.
Mereka yang memaksa menyeberang didominasi korban PHK di Bali. Penyebaran Covid-19 yang mengganggu perekonomian membuat banyak perusahaan di Bali merumahkan karyawannya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan Banyuwangi Ali Ruchi di Banyuwangi, Minggu (3/5/2020), mengatakan, Gubernur Bali dan Bupati Banyuwangi sebenarnya sudah sepakat menutup sementara penyeberangan. Ia juga telah berkoordinasi dengan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, Kota Denpasar, dan Kabupaten Jembrana untuk menghalau pemudik agar tidak menyeberang.
”Namun, desakan dari warga yang ingin menyeberang memang sangat besar. Tim Gugus Tugas Covid-19 di Gilimanuk juga tidak bisa menahan desakan warga. Akhirnya ’jebol’, mereka terpaksa diseberangkan,” ujar Ali.
Ali mengatakan, warga yang mendesak untuk menyeberang didominasi oleh pekerja yang di-PHK oleh tempatnya bekerja. Mereka kehilangan pekerjaan dan memilih untuk kembali ke kampung halamannya di beberapa tempat di Jawa.
Data yang dikumpulkan Dinas Perhubungan Banyuwangi, dalam seminggu terakhir ini jumlah warga yang masuk ke Banyuwangi mulai menurun. Minggu lalu, dalam sehari ada sekitar 900 orang hingga 1.000 orang masuk ke Banyuwangi dari pintu masuk Pelabuhan Ketapang. Namun, dalam tiga hari terakhir hanya ada 90 orang hingga 100 orang per hari.
”Data itu hanya untuk penyeberang yang ber-KTP Banyuwangi. Jumlah itu hanya sekitar 5 persen dari total orang yang menyeberang dari Bali ke Jawa melalui Penyeberangan Gilimanuk-Ketapang,” ungkap Ali.
Sekitar pukul 09.00, Minggu (3/4/2020), terjadi tumpahan penumpang di sejumlah dermaga di Pelabuhan Ketapang. Sejumlah penyeberang pejalan kaki yang baru menyeberangi Selat Bali berjalan di jalan akses dermaga dan segera diarahkan ke tenda posko gugus tugas Covid-19.
Di tenda tersebut, semua penyeberang dan barang bawaan di semprot cairan disinfektan. Mereka juga didata daerah tujuan dan alasan perjalannya. Sebagian mengaku menyeberang ke Jawa karena telah kehilangan pekerjaan di Bali.
Salah satu warga Banyuwangi yang kehilangan pekerjaan di Bali ialah Andi Kurnia (25), warga Desa Benculuk, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, yang 10 tahun terakhir bekerja di Bali. Ia memilih pulang kampung karena pekerjaannya di Bali sebagai sopir transportasi daring tidak lagi menghasilkan.
”Saya sudah satu bulan terakhir tinggal di Banyuwangi. Kemarin saya ke Bali sebentar, khusus untuk mengangkut barang-barang bawaan dari kontrakan. Saya memilih pindah dari Bali dan kembali ke Banyuwangi,” tuturnya.
Andi mengatakan, dua tahun terakhir ini ia bekerja sebagai sopir taksi daring dengan penghasilan Rp 300.000 hingga Rp 1 juta per hari. Namun, semenjak pembatasan sosial di Bali, ia kerap tidak mendapat penghasilan. Tak jarang ia justru merugi karena harus membeli bahan bakar tanpa ada penumpang yang diangkut.
Ia memilih pulang ke kampung halamannya di Desa Benculuk, Banyuwangi, dengan anggapan mengurangi pengeluaran. Apabila ia tetap tinggal di Bali tanpa penghasilan yang jelas, pengeluarannya akan terus bertambah tanpa ada pemasukan sedikit pun.
”Kalau tetap memaksa tinggal di Denpasar, saya harus membayar kontrakan, harus membeli makan dan aneka kebutuhan lainnya. Kalau di Banyuwangi, setidaknya saya tidak harus membayar kontrakan,” tuturnya.
Andi mengaku, hingga saat ini dirinya belum memiliki pekerjaan di Banyuwangi. Ia juga belum punya rencana pasti untuk kembali lagi ke Bali. Ia baru akan kembali kerja di Bali jika pandemi Covid-19 berakhir.
Hal serupa dirasakan Padang Deli (32), pekerja asal Surabaya yang sudah 1,5 tahun terakhir bekerja di Bali. Ia berencana kembali ke Surabaya tempat tinggal keluarganya.
”Saya sudah 1,5 tahun kerja di Bali. Saat ini perusahaan meliburkan saya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Saya memilih untuk pulang ke Surabaya daripada menghabiskan uang tanpa kejelasan di perantauan,” ucapnya.
Padang melakukan perjalanan pulang dengan cara estafet dari satu titik ke titik lain dengan berganti-ganti moda transportasi. Ia tahu Surabaya sedang melakukan pembatasan sosial bersekala besar. Kendati demikian, ia berharap masih bisa masuk ke Surabaya dan sampai di rumah keluarganya untuk kemudian melanjutkan karantina pribadi.