Tradisi Beluluk, Penyelamat di Tengah Badai Korona
Tradisi beluluk yang kembali hidup pada awal Ramadhan membawa angin segar yang menyelamatkan ekonomi masyarakat di pedalaman Jambi di tengah pandemi korona.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Ramadhan tahun ini mungkin terasa lebih berat bagi kebanyakan orang. Kebijakan tinggal di rumah berdampak merontokkan beragam jenis usaha. Namun, tradisi beluluk yang kembali hidup di awal Ramadhan membawa angin segar yang menyelamatkan ekonomi masyarakat di pedalaman Jambi.
Sejak awal dimulainya masa Ramadhan, perapian di belakang rumah Ramadi (28) hampir tak pernah padam. ”Sekarang ini, pesanan terus datang, malahan bertambah banyak,” kata Ramadi, petani di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi, Jambi, Selasa (28/4/2020).
Selasa sore itu, ia bersama sang ayah, Senen (47), membawa pulang setandan buah enau dari kebunnya. Hasil panen itu lalu ditumpuk di belakang rumah.
Di atas perapian, air rebusan telah menggelegak. Di dalamnya teronggok buah-buah enau. Ia pun cepat-cepat mengaduknya dalam-dalam. Setelah dirasakan cukup, buah enau yang telah direbus tiga jam lamanya itu diangkat.
Tak jauh dari situ, ibu, nenek, dan saudara perempuannya telah bersiap menyambut buah-buah itu. Mereka bertugas mencungkil kulitnya, lalu memisahkan daging buah berwarna putih di dalamnya. Itulah beluluk atau yang disebut kolang-kaling.
Perapian Ramadi pun tak kunjung dipadamkan. Setelah rebusan lama diangkat, ia kembali memasukkan buah-buah yang baru dipetik dari tandannya. Begitu seterusnya berjalan selama hampir sebulan ke depan.
Kesibukan para pengolah beluluk bukan tanpa alasan. Dalam sehari, sekitar 300 kilogram kolang-kaling dihasilkan dari desa itu. Sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Sisanya dipasok ke pasar tradisional terdekat.
Jambi Tulo merupakan desa tua yang masih mempertahankan tradisi menjadi penghasil beluluk. Tradisi serupa tak lagi hidup di desa-desa lain karena tanaman enau telah habis ditebangi dan digantikan sawit atau karet. Saat kebutuhan meningkat di masa Ramadhan, banjir pesanan menghampiri masyarakat Jambi Tulo. Masa Ramadhan pun menjadi masa penuh sukacita bagi masyarakat setempat.
Tradisi serupa tak lagi hidup di desa-desa lain karena tanaman enau telah habis ditebangi dan digantikan sawit atau karet.
Beluluk sangat diminati sebagai sajian berbuka puasa. Buah ini bisa dimasak menjadi kolak ataupun minuman segar serta manisan. Kolang-kaling juga memiliki khasiat mengobati panas dalam dan sariawan serta menyumbang kalsium bagi tubuh.
Pada tahun ini, karena pasar-pasar kian sepi pengunjung, calon pembeli biasanya langsung datang ke rumah si pembuat kolang kaling. Harga per kilogram Rp 10.000. Jika dijual di pasar, harganya menjadi Rp 12.000.
Proses panjang
Kolang-kolang dihasilkan melalui proses pembuatan yang cukup panjang dan menantang. Untuk memanen buahnya, petani harus memanjat pohon dengan ketinggian yang beragam, mulai dari 10 meter hingga 25 meter. Ia harus jeli memastikan tandan mana yang telah matang betul.
Setelah dipanen, buah lalu direbus selama tiga jam. Perebusan yang memakan waktu lama itu bertujuan menghasilkan daging buah yang empuk. ”Jika ditemukan ada kolang-kaling yang keras, itu pertanda rebusannya kurang lama,” kata Mahmud, salah seorang pengolah beluluk.
Proses pencungkilan buah biasanya menjadi pekerjaan kaum perempuan. Butuh ketelatenan untuk mengolah kolang-kaling. Dalam buah sebesar bola kasti itu, hanya ada tiga butir kolang-kaling. Bisa dikata, dari 1 kilogram buah, hanya dihasilkan 2 ons daging kolang-kaling.
Pada Ramadhan tahun lalu, pencungkilan buah enau dilakukan beramai-ramai sejak pagi hingga sore. Gotong royong itu membuat prosesnya cepat. Puasa pun tak terasa berat.
Namun, saat kebijakan jaga jarak di tengah pandemi Covid-19 berlaku, aparat keamanan setempat rutin berkeliling desa. Demi menekan penyebaran virus SARS-CoV-2, setiap kali petugas mendapati adanya keramaian langsung dibubarkan.
Karena itulah, tradisi mengolah beluluk tak lagi beramai-ramai, hanya dilakukan oleh orangtua dan anak-anaknya atau keluarga besar yang tinggal dalam satu rumah.
Eliya (40), pengolah beluluk lainnya, mengatakan, walaupun pesanan cukup banyak, dalam sehari ia hanya mampu memenuhi sekitar 20 kilogram pesanan. Ia dibantu oleh dua anaknya. Anita, anak pertamanya, kini tengah mencoba memasarkan kolang-kaling secara daring. Hanya saja, pemasaran tersebut belum membuahkan hasil. Bisa jadi hal itu karena pengemasan produknya belum cukup menarik pembeli.