Penyelenggara dan kontestan pemilihan umum di Sulawesi Utara berharap, revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dapat menyempurnakan substansi demokrasi dan mengurangi politik uang.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS – Penyelenggara dan kontestan pemilihan umum di Sulawesi Utara berharap, revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak hanya menyempurnakan prosedur elektoral, tetapi juga substansinya. Salah satu masalah yang masih dihadapi di Sulawesi Utara adalah politik uang.
Dalam diskusi daring “Menginventarisasi Masalah Pemilu” yang digelar Pusat Studi Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi Manado, Jumat (1/5/2020), Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulut Meidy Tinangon berpendapat, Pemilu 2019, yang digelar serentak, berhasil merealisasikan tujuannya. Contohnya, tingkat partisipasi pemilu.
“Misalnya, target partisipasi Pemilu 2019 meningkat (rata-rata 81 persen), bisa melampaui target 77,5 persen yang ditetapkan penyelenggara. Capaian ini juga lebih tinggi dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya yang di bawah 75 persen,” kata Meidy.
Tujuan lain dari pemilu serentak, seperti memperkuat implementasi sistem presidensial serta menambah efek ekor jas dalam pemilihan legislatif masih boleh diperdebatkan. Namun, evaluasi pascapemilu krusial untuk menentukan kesuksesan pemilu selanjutnya, termasuk Pilkada 2020. Ia berharap, partisipasi publik yang tinggi diikuti dengan substansi proses demokrasi yang berbobot.
Substansi pemilu akan tampak, salah satunya dalam masa kampanye. Kampanye seyogianya menjadi ajang memperkenalkan visi, misi, program, dan citra diri para peserta pemilu. Namun, hal ini kerap kali tak muncul dalam berbagai bentuk kampanye, mulai dari rapat umum dan alat peraga.
Menurut Meidy, UU Pemilu tidak mewajibkan adanya komponen-komponen tersebut dalam kampanye. Definisi citra diri pun tidak dijabarkan secara spesifik agar pemilih dapat memproyeksikan kepemimpinan seorang calon. “Apakah citra diri ini hanya sekadar foto, nomor urut, inisial nama, lambang partai, atau bagaimana? Ini tidak diatur,” katanya.
Ia pun berharap, hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam legislasi UU Pemilu yang baru. Saat ini, UU Pemilu hanya mengatur sanksi beberapa pelanggaran, seperti menghina, menghasut, serta merusak alat peraga dan kelengkapan calon lain, begitu pula dengan praktik politik uang.
Sementara itu, Komisioner Divisi Hukum Data dan Informasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulut Supriyadi Pangellu mengakui, penindakan politik uang adalah salah satu kendala utama yang dihadapi dalam pengawasan. Penggolongan politik uang sebagai pelanggaran pemilu terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) membuatnya sulit dibuktikan.
Ia berharap, rancangan UU Pemilu yang baru dapat mengeluarkannya dari golongan pelanggaran TSM. Ini seiring pemberian kewenangan bagi Bawaslu untuk lebih leluasa mengawasi laporan pemasukan dan pengeluaran dana kampanye sekalipun proses audit melibatkan akuntan publik independen.
Di saat yang sama, ada hambatan lain dalam penegakan hukum pemilu oleh Bawaslu, yaitu Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang tidak kompak. Supriyadi mengatakan, kepolisian dan kejaksaan yang tergabung di dalamnya kerap kali tak sepaham dalam penafsiran hukum. “Makin sulit jika ada kasus-kasus yang menyangkut elite-elite politik,” katanya.
Tugas bisa saja semakin berat karena RUU Pemilu mengatur setiap pelanggaran langsung dibawa ke Sentra Gakkumdu, bukan melalui klarifikasi Bawaslu lebih dulu mengenai bukti formil dan materiil. Sebagai solusi, Supriyadi menyarankan agar Sentra Gakkumdu diisi oleh orang-orang yang sepenuhnya independen.
“Harusnya, Sentra Gakkumdu ini menjadi seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mini di bawah Bawaslu. Biarpun personelnya dari kejaksaan dan Polri, mereka harus dibebaskan dari tugas sebelumnya agar bisa fokus dalam penanganan pelanggaran pemilu,” katanya.
Sementara itu, Anggota DPRD Sulut dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Melky Pangemanan mengatakan, politik uang adalah salah satu masalah dalam rangkaian tahapan pemilu yang paling sukar diselesaikan. Masyarakat perlu dididik oleh partai politik maupun penyelenggara pemilu agar bijaksana dalam menentukan pilihan politiknya.
Hal ini pun turut memengaruhi substansi proses politik dalam pemilu. “Pilihan politik masyarakat masih bergantung pada pihak mana yang memberikan mereka hadiah, entah sembako atau bahkan uang. Jadi, harus ada regulasi yang objektif bagi penyelenggara, kontestan pemilu, hingga masyarakat,” kata Melky.
Melky pun mendukung proses legislasi untuk menghasilkan UU Pemilu yang dapat membangun kemurnian nalar dalam berdemokrasi. “Perbaikan regulasi ini harus holistik, memperkuat demokrasi prosedural sekaligus substansinya agar lebih banyak pemilih rasional,” kata Melky.