Pemicu utama banjir di Aceh adalah kerusakan daerah resapan air di hulu dan sedimentasi sungai. Pada saat yang sama, curah hujan juga tinggi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
DOK BPBA
Permukiman penduduk di Aceh Barat, Aceh, terendam banjir, Sabtu (2/5/2020).
BANDA ACEH, KOMPAS — Banjir menggenangi ratusan rumah di lima kabupaten di Provinsi Aceh, yakni Pidie Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Subulussalam, dan Aceh Tenggara, sejak Jumat hingga Sabtu (2/5/2020). Banjir disebabkan sungai meluap setelah diguyur hujan deras.
Haslinda Juwita dari Pusat Informasi dan Data Badan Penanggulangan Bencana Aceh yang dihubungi, Sabtu, menyebutkan, banjir menggenangi 14 desa di lima kecamatan. Banjir terjadi karena Sungai Meureubo meluap setelah diguyur hujan dalam intensitas tinggi. Akibatnya, ratusan rumah di desa itu terendam banjir dengan ketinggian air 30 cm hingga 50 cm.
”Kami masih mendata jumlah rumah yang terendam. Tidak ada warga yang mengungsi,” kata Haslina.
Di Kabupaten Pidie Jaya, banjir merendam 620 rumah di Kecamatan Meureudu dan Merah Dua. Banjir disebabkan meluapnya Sungai Meureudu. Sungai itu melintasi beberapa kecamatan di Pidie Jaya dan sering meluap jika debit air naik.
Air mulai surut, sisa lumpur, dan warga mulai membersihkan sisa banjir.
Kepala Pelaksana BPBD Pidie Jaya Okta Handipa mengatakan, banjir menyebabkan aktivitas ibadah dan sahur warga tidak berjalan normal. BPBD mengantarkan nasi sebanyak 1.300 bungkus untuk santapan sahur bagi warga terdampak.
”Air mulai surut, sisa lumpur, dan warga mulai membersihkan sisa banjir,” kata Okta.
Di Aceh Tenggara, banjir merendam 10 desa di lima kecamatan. Banjir disebabkan Sungai Alas meluap. DAS Alas mulai terdegradasi sehingga kerap meluap saat debit air naik.
Nazli Desky dari Pusat Informasi dan Data BPBD Aceh Tenggara menuturkan, dalam beberapa hari terakhir, intensitas hujan di kabupaten itu cukup tinggi sehingga Sungai Alas meluap. Korban terdampak banjir mencapai 143 keluarga.
Banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Aceh. BPBA mencatat, pada 2018 banjir terjadi 60 kali dengan kerugian mencapai Rp 484 miliar. Pada 2019 banjir terjadi sebanyak 70 kali dengan nilai kerugian Rp 46 miliar.
Daerah resapan rusak
Peneliti Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Ella Meilianda, menyebutkan, pemicu utama banjir di Aceh adalah kerusakan daerah resapan air di hulu dan sedimentasi sungai. Pada saat yang sama, curah hujan juga tinggi.
”Curah hujan tinggi. Namun, jika daya dukung lingkungan baik, potensi banjir bisa dikurangi,” ucapnya.
Ella melakukan kajian di kawasan barat Aceh (Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan). Ia menemukan banyak kawasan resapan air di hulu dalam keadaan rusak karena tutupan hutan berkurang. Lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan kini beralih fungsi menjadi perkebunan.
Daerah resapan air bukan hanya di dalam kawasan hutan lindung, melainkan juga kawasan budidaya warga. Penerapan pola perkebunan monokultur mengubah fungsi kawasan. Di kawasan itu banyak lahan ditanami kelapa sawit tanpa dibarengi dengan tanaman hutan. ”Kalau hulu tidak dibereskan, banjir akan terus menjadi ancaman,” kata Ella.