Pedagang Takjil Manado Menyabung Nasib di Tengah Pandemi
Tak ada pilihan bagi para pedagang takjil di Manado, Sulawesi Utara. Demi meraup untung, mereka tetap berjualan di luar rumah dan menanggung risiko. Berbagai siasat mereka lakukan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Selaku pedagang dengan pendapatan harian, sebulan terakhir Yanti Tamuge (39) menyimpan dua skenario terburuk dalam pikirannya. ”Antara ke luar rumah lalu mati kena korona, atau diam di dalam rumah lalu mati kelaparan,” ujar Yanti di muka lapak takjilnya yang dikerumuni pelanggan di Pasar Tuminting, Manado, Sulawesi Utara.
Tepat hari ketujuh Ramadhan, Kamis (30/4/2020), di Manado bertepatan dengan hari ke-46 masa tanggap darurat wabah Covid-19 yang merebak di Sulut. Warga segala kalangan diimbau untuk bekerja dari rumah demi memutuskan mata rantai penularan penyakit pernapasan yang disebabkan virus SARS-CoV-2 ini. Istilah bekennya, work from home, disingkat WFH.
Anak saya lima, semuanya memang libur (belajar di rumah) gara-gara korona. Tetapi, uang sekolah mereka enggak libur.
Namun, rumah Yanti bukan pasar. Jajanan pasar seperti donat, panada, kue lapis, dadar gulung, putu ayu, lalampa (lemper), bakpao, atau risoles tak akan dilirik para pencari kudapan buka puasa jika hanya dipajang di halaman rumahnya di Kelurahan Tuminting Lingkungan V. WFH praktis tak berlaku bagi Yanti.
Yanti pun mengeraskan hatinya. Ia tak memungkiri takut terinfeksi virus korona baru itu, tetapi risiko tetap harus ia ambil demi pendapatan bersih setidaknya Rp 100.000 per hari.
”Anak saya lima, semuanya memang libur (belajar di rumah) gara-gara korona. Tetapi, uang sekolah mereka enggak libur,” kata Yanti sambil menunjuk anaknya, Ailsya Laonga (16), yang membantunya berjualan.
Yanti tak asing dengan Pasar Tuminting. Ia sudah punya lapak tetap di salah satu lorong sempit di pasar itu. Berhubung Ramadhan, ia memindahkan lapak takjilnya ke muka lorong pasar agar cepat laku. Untuk mencegah kontaminasi virus atau bakteri, ia menyelubungi dagangannya dengan lembaran plastik mika transparan.
Tepat di atas lapaknya, terpampang spanduk imbauan Pemerintah Kota Manado agar warga mewaspadai dan mencegah penularan Covid-19, misalnya dengan menjaga jarak satu sama lain minimal 1 meter. ”Tetapi, mau jaga jarak bagaimana, pasar ramai begini,” kata Yanti sambil melirik spanduk itu.
Alih-alih virus korona, ketakutan terbesar Yanti kini justru tertuju pada rombongan petugas berseragam safari coklat muda yang sering tiba-tiba datang dengan mobil-mobil pikap, alias satuan polisi pamong praja (satpol PP). Pasar takjil musiman di beberapa kelurahan, seperti Kampung Islam, Kampung Arab, dan Wawonasa, telah dibongkar karena dinilai menyebabkan pengabaian imbauan jaga jarak minimal 1 meter secara berjemaah.
Satpol PP bahkan terlibat bentrok dengan warga dan pedagang yang berbelanja takjil di Wawonasa. ”Saya takut kena garuk satpol PP. Makanya, setidaknya saya lakukan apa yang bisa saya lakukan. Misalnya, pakai masker dan rajin cuci tangan. Untungnya Pemkot Manado sudah kasih tangki air untuk cuci tangan,” kata Yanti.
Segala siasat boleh dilakukan pedagang. Namun, tak ada yang tahu apakah takjil yang dijual di pasar bebas dari virus korona yang diameternya 125 nanometer, atau 1/900 diameter sehelai rambut manusia. Tak mungkin pula pedagang mencegah ratusan pelanggan mereka untuk batuk atau bersin.
Ini mendorong pasangan pedagang takjil di Jalan Hasanuddin, Tuminting, Rahmawati Djalangko (35) dan Abdul Rafiq Rukundin (35), meningkatkan pencegahan virus selevel lebih tinggi. Mereka memasang sekat berupa tirai plastik transparan di tiang penyangga atap lapak kayu mereka.
Jadi, di masa pandemi begini, kami harus cari siasat supaya tetap bisa dapat rezeki dan tetap sehat.
Pembeli pun dapat memberikan uang di bagian bawah tirai yang sudah dipotong. Namun, semburan droplet dari pembeli yang bersih atau batuk tak dapat langsung mengenai kue mangkok, donat, tahu goreng, dadar gulung, dan puding dagangan, atau lebih-lebih terhirup oleh Rahmawati dan Abdul karena terhalang plastik.
”Baru kali ini selama 16 tahun jualan takjil, kami modifikasi lapak jadi begini. Kami paham, virus ini menyebar lewat batuk dan bersin. Jadi, di masa pandemi begini, kami harus cari siasat supaya tetap bisa dapat rezeki dan tetap sehat,” kata Rahmawati yang bisa memperoleh keuntungan bersih Rp 200.000-Rp 300.000 setiap hari.
Rahmawati mengatakan, ia menambah modal Rp 60.000 untuk membeli plastik transparan dengan ukuran luas 4 meter persegi. Menjelang satu minggu berdagang, ia berencana mencuci plastik itu agar virus dan bakteri tak terus menempel. Apalagi, virus SARS-CoV-2 dapat bertahan hingga lima hari di permukaan plastik.
Rahmawati dan Abdul juga meletakkan dispenser berisi air untuk cuci tangan, tentunya didampingi sebotol sabun cair bercampur air. Sebuah papan peringatan dari kardus bertuliskan ”Jaga Jarak” digantung di depan lapak. Mereka sendiri mengenakan masker dan menyediakan sarung tangan lateks.
”Sebenarnya kami takut kena virus. Tetapi, selama kami waspada dan berusaha jaga kebersihan, Allah pasti menjaga kami,” tambah Rahmawati.
Selama empat tahun sebelumnya, lapak pasangan pedagang itu berdampingan dengan lapak lain, tetapi kini berdiri sendiri. Abdul Rafiq mengatakan, sempat digelar sosialisasi oleh Polsek Rural Tuminting di masjid setempat agar pedagang menjaga jarak antarpedagang.
”Karena ada imbauan begitu, kami berunding. Akhirnya, mereka yang pindah, karena kami sudah lebih lama jualan takjil di sini. Jadi, kami tidak usah khawatir mau dibongkar satpol PP,” katanya.
Ide-ide baru boleh dicoba oleh para pedagang demi memenuhi kebutuhan warga yang berpuasa menjelang azan Maghrib berkumandang di tengah pandemi Covid-19. Namun, bagi pemerintah, keadaan ini tetap mengkhawatirkan. Apalagi, jumlah kasus positif terus meningkat, begitu pula jumlah pasien dalam pengawasan yang meninggal.
Pada Jumat (24/4/2020), misalnya, jumlah kasus positif meningkat 11 menjadi 31 kasus. Per Kamis (30/4/2020), sudah ada 45 kasus positif, sementara 56 pasien dalam pengawasan meninggal. Menurut Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19 Sulut dr Steaven Dandel, jumlah kasus positif yang bisa meningkat drastis dalam satu hari bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Pasien sudah dirawat satu minggu sebelum hasil tes reaksi rantai polimerase (PCR) diterbitkan dari Jakarta atau Makassar.
Namun, aktivitas warga di keramaian sangat mungkin menyebabkan lebih banyak pasien positif di hari-hari mendatang. ”Celakanya, masih banyak warga yang bersikap masa bodoh terkait perkembangan ini. Mereka tidak menurut pada imbauan jaga jarak fisik. Ini jadi evaluasi bagi kami untuk mendorong kedisiplinan jaga jarak fisik,” kata Steaven.
Sementara itu, Kepala Biro Pemerintahan Pemprov Sulut Jemmy Kumendong mengatakan, pemprov sudah menyusun Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2020 tentang Optimalisasi Pencegahan Penyebaran Covid-19. Warga diimbau mengenakan masker dan mengurangi kegiatan di kerumunan.
”Kalau ada warga yang tidak mengindahkan, kami akan segera tindak dengan tegas. Tindakan tegas itu tentu bukan hanya dari pemprov, melainkan juga gugus tugas penanganan Covid-19 di setiap kabupaten dan kota yang wajib menangani pelanggaran warganya,” kata Jemmy.
Perkataan Jemmy menunjukkan skenario ideal pencegahan Covid-19. Namun, Kamis sore itu, Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Manado punya rencana lain. Mobil pikap dinas lewat di depan Pasar Tuminting, dan para petugas sibuk membagi-bagikan nasi kotak. Tak ayal, warga pun berkerumun berebut kotak-kotak nasi gratis itu.