Kala dunia menunggu hadirnya obat Covid-19, masyarakat di pedalaman Jambi memilih bersandar pada kekuatan alam. Beragam bahan diolah menjadi obat dan vaksin alami.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Kala dunia menunggu hadirnya obat Covid-19, masyarakat di pedalaman Jambi memilih bersandar pada kekuatan alam. Beragam bahan diolah menjadi obat dan vaksin alami.
Warisan pengetahuan lokal yang hampir punah itu bangkit kembali di tengah pandemi. Banjir pesanan bahan obat membawa Raihina (54) menjelajah lebih jauh ke dalam hutan. Baru menjelang sore ia pulang dengan membawa seluruh bahan yang dicari.
Satu per satu daun, biji, kulit kayu, hingga akar-akaran disusun berbaris di teras rumahnya di Desa Jambi Kecil, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Jumlahnya lebih dari 50 jenis. Menurut Raihina, penyakit baru bernama Covid-19 yang tengah merebak di sejumlah wilayah itu turut mendatangkan kekhawatiran masyarakat setempat.
Apalagi, mereka ketahui penyakit yang bergejala batuk, demam, dan sesak napas itu dapat mematikan dalam hitungan hari. Dan, obatnya belum ada. Setiap warga pun berupaya membangun daya tahan tubuhnya lewat bahan-bahan tumbuhan. Ketika imunitas tubuh terjaga, penyakit mudah ditangkal. Jika mengalami gejala-gejala penyakit serupa virus korona, mereka langsung mendatangi Raihina.
Dengan ramuan tersebut, sakit kepala ataupun sakit perut dapat sembuh.
Bagi masyarakat setempat, peramu obat alami alias nyangnok, panggilan untuk dukun setempat, masih memiliki peranan besar di dusun. Pengetahuan yang dimiliki dalam meramu bahan tanaman obat juga telah terbukti khasiatnya. Raihina menceritakan pengetahuan meramu obat dari tumbuhan didapatnya dari sang nenek. Berpuluh tahun lamanya mereka bergelut dengan ratusan jenis bahan.
Ia pun sangat paham akan cara-cara pengolahannya. Dengan melihat wujud daun atau akarnya saja, sang peramu langsung mengetahui nama beserta manfaatnya. Di teras tersedia racikan yang terdiri dari daun tembesu, pulai, bengkal, bungur, memali, pepulut (jenis kayu lengkat), bebudi (sejenis mahang), kandis, sungkai, dan leban. Semua daun tersebut dilayukan di atas perapian.
Lalu, ditempelkan ke kening dan perut penderita. Dengan ramuan tersebut, sakit kepala ataupun sakit perut dapat sembuh. Ia lalu menumbuk sejumlah bahan yang telah dijemur tiga hari lamanya. Semua bahan kering itu akan mudah halus ditumbuk dalam lesung dengan menggunakan alu. Campurannya terdiri dari kunyit, kencur, jeringo bangle, lempuyang, temulawak, temu putih, temu kunci, dan jahe. Setelah halus, serbuknya diseduh dengan air panas untuk siap diminum.
”Itu bagus untuk daya tahan (tubuh). Kalau tubuh kuat, penyakit mudah ditangkal,” katanya. Sejak virus korona mewabah, pesanan ramuan tersebut bertambah banyak. Dengan sabar ia berupaya memenuhi kebutuhan pasiennya. Pemanfaatan tanaman obat pun kembali naik pamor di tengah merebaknya virus korona. Tak hanya di Jambi Tulo, komunitas adat Orang Rimba pun masih setia memanfaatkan beragam bahan yang tersedia dari Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
Begitu pula suku Talang Mamak di Ekosistem Bukit Tigapuluh, perbatasan Jambi dan Riau. Ada lagi masyarakat dusun tua di kaki Gunung Masurai, wilayah Serampas, Kabupaten Merangin. Mereka masih melakukan pengobatan dari bahan-bahan tumbuhan.
Peradaban kuno
Peneliti etnobotani Universitas Jambi, Bambang Hariyadi, menginventarisasi ada 131 jenis tumbuhan di wilayah adat Serampas yang dimanfaatkan sebagai bahan obat. Serampas adalah peradaban kuno yang masih bertahan menjalankan cara hidup tradisional hingga kini. Sebagian bahan obatnya pun tak jauh berbeda dengan yang dimanfaatkan oleh nyangnok.
Masyarakat Serampas memanfaatkan jenis-jenis tanaman obat yang tumbuh pada berbagai vegetasi di hutan tua, hutan sekunder, ataupun perladangan dan sawah. Meskipun masyarakat tinggal di sekitar kawasan hutan, tanaman yang paling banyak dimanfaatkan untuk obat berada di kawasan perladangan karena lebih terjangkau.
”Pemanfaatan tumbuhan untuk obat masih bertahan hingga kini,” katanya. Peneliti tanaman obat dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Ervizal Zuhud, dalam jurnalnya berjudul ”Potensi Hutan Tropika Indonesia Sebagai Penyangga Bahan Obat Alam Untuk Kesehatan Bangsa” menyebutkan, betapa kayanya keragaman jenis tumbuhan obat yang dimiliki hutan-hutan tropis negeri ini.
Khusus di Jambi saja, ia menginventarisasi ada 77 jenis yang tersebar di Taman Nasional Bukit Duabelas, 113 jenis di TN Kerinci Seblat, dan yang terbanyak di TN Bukit Tigapuluh, 317 jenis. Sebagian tanaman obat makin langka karena alih fungsi hutan. Persoalan lain karena eksploitasi besar-besaran. Itu dialami tanaman pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack).
Pasakbumi, yang telah digunakan sebagai bahan baku obat aprodisiak, kini banyak diperdagangkan untuk industri herbal melalui pasar gelap. Senada dengan itu, Raihina mengeluh sebagian jenis tumbuhan yang ampuh untuk pengobatan makin sulit didapatkan. Beberapa di antaranya telah langka. Misalnya saja tanaman kempas dulunya menghasilkan minyak untuk penghangat tubuh. Kini, tanaman itu sulit ditemukan.
Jika alih fungsi hutan tak kunjung terkendali, pemanfaatan tumbuhan obat turut terancam. Jangan sampai warisan kearifan lokal itu lenyap tanpa sempat kita sadari.