Desa adat di Bali bukan sekadar benteng tradisi dan budaya. Kala pandemi Covid-19, Pemerintah Provinsi Bali juga menjadikannya benteng untuk menangkal penyebaran penyakit itu.
Oleh
Cokorda Yudistira MP
·4 menit baca
Desa adat di Bali bukan sekadar benteng tradisi dan budaya. Kala pandemi Covid-19, Pemerintah Provinsi Bali juga menjadikannya benteng untuk menangkal penyebaran penyakit itu.
Pada Minggu (26/4/2020) pagi, anggota Satgas Gotong Royong Covid-19 Desa Adat Padangsambian, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar, berkumpul di balai desa. Bendesa atau Kepala Desa Adat Padangsambian I Made Suparman (67) ada di tempat itu didampingi Ketua Satgas I Made Kadek Arta. Mereka bersiap membagikan beras, telur ayam, dan mi instan kepada warga.
Tujuan pertama adalah ke Banjar Adat Balun, satu dari 14 banjar adat di wilayah Desa Adat Padangsambian. Bantuan diberikan melalui pengurus banjar adat dengan dikawal pecalang atau petugas keamanan lokal. Sehari sebelumnya, satgas membagikan sekitar 3.000 masker.
”Pemberian bantuan sesuai kesepakatan sangkep (rapat desa),” kata Kelian (Kepala) Sabha (Lembaga Pertimbangan) Desa Adat Padangsambian I Nyoman Sujantara. Bantuan menggunakan anggaran pendapatan asli desa hasil dari badan usaha milik desa. Pelibatan semua desa adat di Bali yang berjumlah 1.493 desa efektif menangkal pandemi karena kuatnya ikatan sosial warga. Desa adat memegang teguh tradisi, hukum adat, dan kearifan lokal.
Ahli hukum adat dari Universitas Udayana, Bali, Wayan P Windia, menyatakan, desa adat lahir dan terbentuk secara perlahan di masyarakat Bali. Keterikatan warga desa adat bukan hanya tentang sekala atau urusan yang nyata, melainkan juga niskala atau keterikatan dengan tempat yang disucikan. Hal ini yang membuat ikatan sosial warga cukup kuat.
Sejak kasus Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Bali pada 11 Maret 2020, Gubernur Bali I Wayan Koster bersama Bendesa Agung, Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet dan Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengeluarkan surat edaran bersama tentang pelaksanaan ritual rangkaian upacara hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1942. Melalui imbauan yang diumumkan pada Selasa (17/3/2020), ruang bagi pelaksanaan ritual upacara tetap dibuka, tetapi membatasi keramaiannya guna mencegah penyebaran Covid-19.
Kami sepakat menutup desa dan menghentikan aktivitas pariwisata untuk sementara.
Sebelumnya, Gubernur Bali juga menerbitkan surat edaran yang isinya melarang kegiatan keramaian hiburan dan kegiatan yang melibatkan massa. Surat edaran direspons positif oleh semua desa, termasuk Desa Adat Penglipuran di Kabupaten Bangli. ”Meski saat itu belum ada kasus (Covid-19) di Bangli, dalam sangkep krama (rapat warga) adat tanggal 16 Maret, kami sepakat menutup desa dan menghentikan aktivitas pariwisata untuk sementara,” kata Bendesa Penglipuran I Wayan Supat.
Setelah Nyepi, Gubernur Bali kembali bertemu Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali pada 28 Maret. Mereka bersama-sama kembali mengeluarkan imbauan bersama agar desa adat terlibat dalam pencegahan Covid-19. Secara nyata, desa adat membentuk Satgas Pencegahan Covid-19.
Ketua Satgas Penanggulangan Covid-19 Bali yang juga Sekretaris Daerah Bali I Dewa Made Indra menyatakan, satgas di tingkat desa bertugas memberdayakan warga dalam mencegah penyebaran Covid-19. Mereka bergerak, baik dalam pendekatan sekala maupun niskala. Untuk mendukung gerakan itu, Gubernur menginstruksikan agar sebagian dana desa adat juga dipergunakan untuk penanganan dampak pandemi Covid-19.
Pelibatan desa adat dalam menjalankan program-program pemerintah sejatinya sudah berjalan sejak masa Orde Lama. Bahkan, pelibatan desa adat menonjol di masa Orde Baru, salah satunya dalam program Keluarga Berencana. ”Jika tidak melibatkan desa adat, biasanya program pemerintah itu tidak berhasil,” kata Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet.
Peran desa adat dalam pencegahan penyebaran Covid-19, misalnya, meneruskan imbauan pemerintah agar seluruh warga memakai masker ketika beraktivitas di luar rumah serta menjalankan pembatasan sosial, termasuk menghindari keramaian. Warga juga diimbau menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat.
”Melalui jalur komunikasi majelis desa adat, kami memastikan imbauan tersebut sampai hingga ke desa-desa yang belum terdampak Covid-19,” kata Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet. Wayan P Windia menilai, imbauan pemerintah itu bisa berjalan efektif hingga akar rumput karena pranata sosial di desa adat di Bali sudah terbangun sejak abad ke-5 Masehi dan semakin tertata mulai abad ke-10 Masehi.
Kelembagaan desa adat kian solid dengan pengakuan pemerintah melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Jika kemudian Bali dianggap mampu mengendalikan pandemi Covid-19 dibandingkan daerah lain, Windia berpendapat, ada kondisi yang berbeda di Bali. ”Secara logika, kondisi di Bali dalam pandemi Covid-19 ini dapat dinilai tidak masuk akal. Ada sesuatu yang lain yang turut mengendalikan kondisi di Bali. Sesuatu yang lain itulah yang disebut niskala di Bali,” ujarnya.
Dalam buku Bali Tempo Doeloe (2012) yang merupakan terjemahan dari buku yang disusun Adrian Vickers, Travelling to Bali: Four Hundred Years of Journeys (1994), Gregor Krause (1883-1960) menyebutkan, masyarakat Bali sangat hormat terhadap alam sekitar. Krause, fotografer dan penulis yang pernah menetap di Bangli pada 1912 juga menyebutkan, meski dewa-dewa tak terlihat, keberadaan-Nya jelas terasa bagi seluruh masyarakat Bali.
”Wong desaangertanin guminida batara (Masyarakat desa bekerja dan mengelola tanah, tetapi para dewalah pemiliknya),” tulis Krause mengutip peraturan adat desa. Pemerintah daerah dan desa adat memang menggerakkan segenap daya untuk menangkal Covid-19. Namun, kuasa di atas semesta diyakini menentukan keberhasilannya.