Pendataan warga penerima bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 rentan memicu masalah. Jumlah warga yang diusulkan menerima bantuan tidak sebanding dengan kuota yang disetujui pemerintah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pendataan warga penerima bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 rentan memicu masalah. Jumlah warga yang diusulkan menerima bantuan tidak sebanding dengan kuota yang disetujui pemerintah.
Selain itu, waktu penyaluran bantuan yang tidak serentak juga rawan menyebabkan kecemburuan sosial.
”Permasalahannya hampir semua warga ingin didata (penerima bansos), tetapi tidak mungkin semuanya dapat,” ujar Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Jawa Barat Dede Kusdinar saat dihubungi dari Bandung, Selasa (28/4/2020).
Pandemi Covid-19 berdampak pada berbagai aspek sehingga memukul perekonomian masyarakat, terutama sektor informal. Akibatnya, banyak warga kehilangan sumber penghasilan sehingga sangat mengharapkan bantuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, bantuan pemerintah di setiap program terbatas. Imbasnya, tidak semua warga akan menerima bansos.
”Misalnya, dalam satu desa terdapat 1.000 rumah tangga. Mungkin yang mendapat bantuan hanya 100-200 rumah tangga. Jadi, tidak bisa semuanya,” ujarnya.
Dede mendorong pemerintah desa memaksimalkan dana desa untuk memberikan bantuan kepada warga. Bentuknya beragam, mulai dari bantuan langsung tunai hingga proyek padat karya.
”Desa harus mampu mengelola ini (dana desa). Sumber-sumber bantuan mesti dioptimalkan,” ucapnya.
Buruknya pendataan penerima bansos juga membuat sejumlah kepala daerah pusing. Mereka rawan menjadi sasaran protes warga yang membutuhkan bantuan.
Di Desa Gelaranyar, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Cianjur, misalnya, semula terdata 115 rumah tangga untuk mendapatkan bansos dari Pemprov Jabar. Namun data sasaran bansos yang ditetapkan hanya 15 rumah tangga.
”Yang membingungkan tidak ada penjelasan sama sekali (pengurangan data penerima bansos). Sejauh ini warga yang diajukan belum tahu namanya terhapus,” ujar Kepala Desa Gelaranyar Jenal.
Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyampaikan terdapat sembilan pintu bantuan kepada warga terdampak Covid-19. Pertama adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan yang kedua program Kartu Sembako.
Pintu bantuan ketiga merupakan bantuan sembako dari Presiden Joko Widodo. Penerimanya warga di Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi yang berjumlah sekitar 450.000 rumah tangga.
Desa harus mampu mengelola ini (dana desa). Sumber-sumber bantuan mesti dioptimalkan.
Pintu bantuan keempat adalah bantuan uang tunai dari Kementerian Sosial serta yang kelima bersumber dari dana desa. Warga berstatus kepala keluarga yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pengangguran akan diakomodasi lewat pintu bantuan keenam, yaitu kartu prakerja.
Sementara pintu ketujuh merupakan bansos dari Pemprov Jabar sebesar Rp 500.000 per keluarga dalam bentuk uang tunai dan sembako.
Dua pintu bantuan lainnya bersumber dari pemerintah kabupaten/kota dan gerakan kemanusiaan pembagian makanan atau nasi bungkus. Dalam rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo melalui konferensi video, Senin (27/4/2020), Kamil mengusulkan agar penyaluran bansos lewat satu pintu agar pembagiannya lebih efektif.