Berbekal sumber daya di desa, kaum perempuan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, melancarkan aksi menanam jahe merah tanpa membakar lahan. Efektif meminimalkan kebakaran, sekaligus menangkal ancaman korona.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Kemarau di era pandemi Covid-19 saat ini akan menjadi tantangan besar sekaligus peluang bagi petani kreatif di lahan gambut. Jika kabut asap muncul seperti tahun-tahun lalu, kondisi masyarakat Sumatera dan Kalimantan akan semakin tertekan. Demi mengantisipasinya, sejumlah petani mengambil langkah cerdas.
Berbekal sumber daya yang tersedia di desa, para petani perempuan di Desa Mandala Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, melancarkan penanaman rempah tanpa bakar lahan. Ide bermula dari sebuah rapat kecil-kecilan tahun lalu.
Mereka membahas rencana pengelolaan lahan bersama di atas gambut. Salah satu petani, Munihar (45), menawarkan budidaya jahe merah. Ide tersebut bukan karena ia mampu menerawang bakal terjadi lonjakan permintaan saat terjadi pandemi seperti saat ini. Ia hanya bermaksud menebarkan keterampilannya kepada kaum ibu mengolah penganan berbahan jahe.
Untuk mewujudkan rencana itu, Munihar menyisihkan pekarangan rumahnya sebagai demplot. Kotoran kambing dari kandang di samping rumah dimanfaatkan untuk penyubur tanah. Hasilnya ternyata memuaskan. Tujuh bulan kemudian, panen pertama menghasilkan lebih dari 100 kilogram jahe.
Kini, jahe merah menjadi primadona di Mandala Jaya. Gairah ibu-ibu bertambah seiring dengan meningkatnya harga jual di masa pandemi Covid-19. Tak hanya jahe, kunyit, temulawak, dan lengkuas juga terkerek harganya. ”Akhirnya, hampir semua petani di sini ikut menanam jahe dan teman-temannya,” ujar Munihar, Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Tunas Jaya, Jumat (17/4/2020).
Di Pasar Angso Duo Kota Jambi, misalnya, harga jahe merah terus melambung. Paling murah harganya Rp 80.000 per kg. Selama masa korona ini, banyak pedagang dan spekulan blusukan ke desa-desa penghasil jahe, termasuk Mandala Jaya.
Namun, para petani setempat bersiasat jitu. Rimpang jahe mereka olah menjadi beragam jenis penganan, mulai dari keripik jahe, enting-enting jahe, hingga permen jahe. Tak ketinggalan serbuk jahe kering sebagai bahan minuman bandrek. Tujuannya agar harga jual jahe semakin tinggi.
Setiap kali hasil panen jahe selesai diolah, tak butuh waktu lama habis terjual. Dalam dua hari habis terjual. ”Berapa pun kami buat, langsung laku keras,” ucap Mujiasih, petani lain. Enting-enting jahe bahkan telah diekspor ke Malaysia.
Tantangan besar
Di tengah gairah bertanam jahe, kebiasaan membakar lahan dan menabur penyubur berbahan kimia masih diterapkan puluhan tahun. Akhirnya, banyak lahan kian rusak. Akhirnya, ditinggalkan dan terbengkalai.
Kepala Desa Mandala Jaya Suhaimin menceritakan, masyarakat menyadari tantangan besar bertanam di atas gambut yang rusak itu. Demi memperkuat pengetahuan mengelola gambut tanpa bakar, sejak akhir tahun lalu para petani difasilitasi Badan Restorasi Gambut (BRG). Mereka membentuk kelompok peduli gambut dan mendapatkan materi di sekolah lapangan.
Budidaya jahe tanpa bakar lahan pun menarik perhatian pengurus desa. Peraturan desa (perdes) telah dibuat untuk melindungi kawasan gambut setempat. Perdes tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Gambut disahkan awal tahun ini. Dana sebesar Rp 40 juta dari APBDes, lanjut Suhaimin, dialokasikan untuk pemberdayaan kelompok peduli gambut, salah satunya untuk pembelian mesin produksi pupuk dan mesin pengolah lahan tanpa bakar.
Suhaimin mengatakan, aturan main menggarap gambut secara lestari diperketat. Salah satunya, ada larangan mengelola lahan dengan cara bakar. Sanksi pelanggaran itu berupa denda dalam jumlah yang disepakati bersama.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi sebagian daerah di Sumatera bagian tengah dan selatan rawan terbakar memasuki musim kemarau pada dasarian I-III Mei (Kompas, 9/4/2020). Puncak kemarau sebagian besar wilayah diperkirakan terjadi pada Agustus. Beberapa wilayah akan mengalami kemarau lebih kering.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Safitri berharap bencana kabut asap tak berulang tahun ini. Ia mengapresiasi upaya desa-desa yang semakin peduli akan kelestarian gambut. Kesadaran masyarakat untuk memulihkan gambut bahkan dilakukan dengan sejumlah terobosan. Kaum perempuan menjadi ujung tombak menuju pengelolaan gambut berkelanjutan.
Sejumlah dukungan terus diberikan. Selain membangun sekat kanal, sumur bor, dan embung, kini diperkuat sekolah lapangan hingga revitalisasi ekonomi warga berupa pengolahan pascapanen.
Pihaknya mendata, 143 desa telah memasukkan program pemulihan gambut dalam APBDes. Jika dijumlahkan, seluruh nilai alokasi APBDes tersebut mencapai Rp 16,1 miliar, menandakan kepedulian desa atas kelestarian gambut. Selain Mandala Jaya, sebagian desa lain juga telah menyiapkan payung hukum terkait perlindungan gambut. Jumlahnya sudah lebih dari 400 payung hukum.
Jika seluruh upaya itu terus diperkuat bersama-sama, pemulihan gambut bukan lagi mustahil. Ancaman kabut asap pun tinggal masa lalu. Semoga.