Pagar deretan rumah di salah satu kompleks perumahan di Cipageran, Kota Cimahi, Jawa Barat, tertutup rapat, Selasa (14/4/2020) siang. Namun, pintu solidaritas warga terbuka lebar.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·4 menit baca
Pagar deretan rumah di salah satu kompleks perumahan di Cipageran, Kota Cimahi, Jawa Barat, tertutup rapat, Selasa (14/4/2020) siang. Namun, pintu solidaritas warga terbuka lebar. Mereka bahu-membahu menolong warga yang menjalani isolasi mandiri karena positif terjangkit Covid-19.
Sejak sepekan sebelumnya, warga urunan menyediakan makanan untuk M (45), warga yang terinfeksi virus korona baru. Warga memasak makanan dan diantar setiap pagi ke rumah M yang tinggal bersama empat anggota keluarganya. Kepedulian warga itu tetap mengikuti protokol kesehatan. Tidak ada kontak fisik antara warga dengan M dan keluarganya. Warga yang mengantar makanan wajib menggunakan masker dan sarung tangan.
Solidaritas kemanusiaan di Cipageran menembus batas-batas perbedaan. M merupakan umat Kristen yang tinggal di lingkungan yang mayoritas Muslim. ”Membantu sesama tidak memandang suku dan agama. Di tengah pandemi korona ini, sepatutnya kita saling menguatkan tanpa mempersoalkan perbedaan,” ujar Pedi Suhaedi (53), warga setempat.
Warga membantu secara sukarela. Mulai dari berdonasi uang hingga menyumbang bahan makanan. Mereka berkomitmen untuk membantu M dan keluarganya selama menjalani isolasi mandiri.
Pemahaman baru
Akan tetapi, komitmen itu tidak datang begitu saja. Sebab, warga sempat panik karena belum memahami cara penyebaran dan perawatan pasien Covid-19. Apalagi, kabar M terjangkit Covid-19 menyebar cepat dari mulut ke mulut. Kondisi permukiman yang padat membuat warga kian khawatir akan penyebaran virus.
Kami jadi paham Covid-19 menular lewat droplet.
”Sejumlah warga panik. Ada yang minta M langsung dibawa ke rumah sakit. Ada juga yang mau pindah rumah,” ujarnya. Pedi bersama tokoh masyarakat lain menenangkan warga. Setelah memastikan M positif Covid-19 dari puskesmas setempat, mereka berdiskusi untuk mencari solusi. Saran dari Dinas Kesehatan Cimahi tentang penyebaran Covid-19 dan metode perawatan pasien menjadi acuan. Warga jadi tahu, tidak semua pasien positif Covid-19 harus dirawat di rumah sakit. Apalagi jika pasien tidak bergejala sakit.
”Kami jadi paham Covid-19 menular lewat droplet. Warga diminta menjaga jarak, menggunakan masker, dan menerapkan pola hidup bersih. Orang positif Covid-19 tidak perlu dikucilkan,” ujar Pedi. Warga lalu sepakat meminta M tetap beraktivitas di rumah. Namun, warga membantu memenuhi kebutuhan makan M dan keluarganya.
Protokol kesehatan dijalankan di perumahan itu. Galon air dan sabun tersedia di setiap gang. Tukang sayur, pengantar tabung gas, dan pendatang lain wajib mencuci tangan. Warga diwajibkan memakai masker saat beraktivitas di luar rumah. Adapun warga yang baru datang dari daerah episentrum Covid-19, seperti DKI Jakarta, mengisolasi diri secara mandiri selama 14 hari.
Sejumlah warga perumahan juga menjalani tes cepat atau rapid test Covid-19. Hasilnya, semua negatif Covid-19. Walakin, hal itu tidak membuat mereka terlena. Protokol kesehatan tetap dijalankan. Covid-19 tidak bisa disepelekan karena semua orang punya potensi tertular,” ujar Dedi.
Tanpa diduga, solidaritas kemanusiaan di Cipageran menyebar luas. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengapresiasi kepedulian warga yang membantu pasien positif Covid-19. ”Kerukunan antartetangga sangat baik. Kegotongroyongan seperti ini yang harus terus digaungkan. Kalau ada pasien isolasi mandiri, bukan dikucilkan, tetapi (tetangga) kanan kirinya menolong,” ujar Presiden di Jakarta, Senin (13/4).
Dukungan tetangga membuat pasien senang. Itu membangun mentalnya sehingga yakin sembuh.
Apresiasi dari Presiden menambah semangat warga untuk terus bersolidaritas meskipun sebelumnya mereka tidak menyangka akan mendapatkan apresiasi itu. ”Kami bersyukur diapresiasi Presiden. Tidak ada bayangan akan seperti ini. Semua warga ikhlas menolong,” ujar Yuli Setyo Indartono, tokoh setempat.
Menurut Yuli, dukungan dari tetangga sangat penting bagi pasien Covid-19. Tidak hanya bantuan materi, tetapi juga menguatkan mental untuk berjuang melawan sakit. ”Dukungan tetangga membuat pasien senang. Itu membangun mentalnya sehingga yakin sembuh,” ujar dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung tersebut.
Meski tidak bertemu secara fisik, saban hari Yuli berkomunikasi dengan M melalui sambungan telepon. Dia kerap menanyakan kondisi kesehatan M dan keluarganya. ”Kondisi kesehatannya sangat baik. Tidak ada yang mengeluhkan sakit. Pak M juga selalu berterima kasih atas kepedulian warga,” ujarnya.
Solidaritas warga tidak berhenti hanya untuk M. Mereka sadar, bukan cuma pasien Covid-19 yang perlu bantuan. Ekonomi warga, khususnya pekerja informal, yang turut ambruk dihantam wabah Covid-19, juga perlu dibantu. Senin siang, mereka menyalurkan bantuan kebutuhan pokok kepada 88 keluarga yang ekonominya terdampak Covid-19. Mayoritas penerima justru warga di luar kompleks.
Tidak saling kenal bukan alasan untuk tidak peduli. Mereka menyadari, rezeki orang lain mungkin saja mengalir dari kantong mereka. ”Banyak warga di luar kompleks bekerja sebagai buruh harian lepas. Saat pandemi, sejumlah proyek pembangunan berhenti. Mereka kehilangan pekerjaan. Kami membantu semampunya,” ujarnya.
Yuli mengajak semua pihak bergotong royong menghadapi penyebaran Covid-19 yang menjadi bencana nasional. Dia berharap penolakan terhadap pasien dan jenazah pasien Covid-19 tidak terjadi lagi karena akan menambah kesedihan. Menjelang sore, terik masih menyengat di Cipageran.
Suasananya sepi karena kebanyakan warga beraktivitas di dalam rumah. Kepedulian warga di sana menjadi setitik harapan melawan pandemi Covid-19 yang belum mereda.