Bertahan dengan Perisai Usang
Upaya pemberantasan Covid-19 di Indonesia ibarat ironi. Di satu sisi petugas medis mesti memutar otak untuk mengatasi keterbatasan alat pelindung diri. Di sisi lain, APD dijual bebas dengan harga mahal di sejumlah toko.
Tak ada pilihan bagi tenaga medis Rumah Sakit Umum Daerah dr Soeselo, Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, selain bertahan dengan menggunakan kembali masker yang telah digunakan. Segala cara ditempuh untuk melindungi diri dalam menangani wabah Covid-19 meski harus bertahan dengan perisai usang.
Dengan menggunakan lemari yang di dalamnya dipasang alat penyinaran khusus untuk sterilisasi, tenaga kesehatan rumah sakit di Tegal ini secara mandiri membuat alat untuk mensterilkan masker N95. Dengan cara ini, mereka tetap dapat memberikan perlindungan diri untuk menjalankan tugasnya menangani pasien dalam pengawasan.
Direktur RSUD dr Soesela, Guntur Muhammad Taqwin, mengatakan, RSUD itu per Jumat (24/4/2020), merawat 3 pasien Covid-19, 5 pasien dalam pengawasan (PDP), dan 9 orang dalam pemantauan (ODP). Saat ini, pihak rumah sakit masih membutuhkan sarung tangan panjang, masker N95 medis, penutup kepala pakai, serta baju operasi.
Semua alat pelindung diri (APD) itu dibutuhkan petugas medis yang merawat pasien di ruang isolasi. PDP dirawat di ruang isolasi dan ditangani oleh setidaknya 15 perawat dan dokter yang bekerja bergantian dalam tiga giliran tugas sehari.
”Untuk N95, kami reuse. Kami sterilkan. Kami menggunakan lemari untuk mensterilkannya dengan sinar sekian biar panas atau dijemur dipanaskan. Untuk mencegah penularan, 1 masker N95 digunakan oleh 1 tenaga medis saja,” katanya dalam panggilan video, 6 April 2020.
Untuk memenuhi perlengkapan APD bagi tenaga medis, rumah sakit ini harus tambal sulam. Sebelumnya, pada akhir Maret lalu, beberapa tenaga medis di rumah sakit ini hanya dapat menggunakan jas hujan karena baju APD berupa coverall hanya tersisa sembilan potong, sementara saat itu ada 12 tenaga medis yang menangani PDP.
Begitu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah kembali memperoleh pasokan perlengkapan APD, pihak RSUD dr Soesela baru bisa memenuhi perlengkapan APD tenaga medisnya. Sekarang, cadangan baju APD yang tersisa ada 140 potong. Jumlah itu hanya cukup untuk seminggu karena baju itu sekali pakai saja. Padahal, masih ada PDP yang harus dirawat hingga lebih dari seminggu.
”Kami memperkirakan masih dibutuhkan 20 potong baju APD lagi karena baju ini, kan, sekali pakai,” ujar Guntur.
Guntur pun mengaku, masih membutuhkan masker bedah tiga lapis untuk para tenaga medis. Di tengah pandemi Covid-19, masker menjadi sangat dibutuhkan untuk melindungi seluruh tenaga medis dari penularan virus korona. Apalagi kasus Covid-19 di Indonesia, jumlahnya terus bertambah setiap hari dan telah menyebar ke 34 provinsi.
Sementara untuk kacamata google, tameng wajah (face shield), dan sepatu bot masih dapat digunakan ulang dengan cara disterilkan. Untuk tameng wajah, beberapa plastik perisainya sudah buram sehingga harus dibuang karena mengganggu penglihatan tenaga medis saat bertugas.
Menurut Guntur, tidak mudah bagi pihak rumah sakit untuk memenuhi perlengkapan baju APD karena perlengkapan itu langka sehingga hanya dapat mengandalkan bantuan dari Pemprov Jateng. Ada kalanya pula, ia juga menggunakan baju APD bantuan dari masyarakat.
Ironis
Ikhtiar para tenaga medis di RSUD Soesela ini seperti elegi di tengah medan perang. APD ini tersedia dalam jumlah banyak di kios-kios apotek rakyat; toko obat di Pasar Pramuka, Jakarta; maupun toko-toko di pasar daring. Harganya sudah menjulang tinggi.
Bak panen di musim paceklik, deretan toko di Pasar Pramuka saling berlomba-lomba memamerkan berbagai macam perlengkapan APD. Kotak-kotak masker tiga lapis sekali pakai disusun di atas lemari etalase toko mereka. Cukup menggiurkan bagi yang membutuhkan. Namun, hati langsung dibuat ciut ketika mengetahui harganya.
”Masker (satu kotak) isi 50 lembar, Rp 470.000. Itu masker Sensi. Gak boleh kurang (harganya),” kata seorang pedagang di Toko Obat Tulus, Pasar Pramuka, yang tetap sibuk menghitung pesanan belanjaan yang baru diterimanya.
Pedagang itu mengaku masih memiliki stok lima kotak masker merek Sensi dan ia mempersilakan jika semuanya mau diborong. ”Sisanya tinggal lima dus (kardus). Enggak apa dibeli semua, yang penting harganya (cocok),” kata pedagang itu, dengan tetap berkutat pada buku dan kalkulator di tangannya.
Masuk lagi ke dalam Pasar Pramuka, ditemukan beberapa toko juga memasang contoh baju APD model coverall warna putih, lengkap dengan sepatu bot di depan tokonya.
Salah satunya ditemukan pada Toko Arkha Medika. Pedagang di toko ini menawarkan satu set perlengkapan APD komplet dengan harga Rp 1,6 juta, yang terdiri dari baju APD, masker N95, sepatu bot, perisai wajah, dan sarung tangan medis.
Pedagang itu pun mempersilakan pelanggan membeli perlengkapan baju APD itu secara eceran. Ia tak menerapkan persyaratan khusus, meski perlengkapan APD yang dijualnya itu semua adalah kebutuhan tenaga medis, bukan kebutuhan masyarakat umum, termasuk masker N95 yang kini dibutuhkan tenaga medis yang langsung menangani pasien Covid-19, PDP, maupun ODP.
”Untuk masker N95, satuan (satu lembar), Rp 175.000,” ucapnya.
Jika ingin membeli satu kotak masker N95 isi 20 lembar, Toko Maila di pasar itu menawarkan harga Rp 3,5 juta. ”Kalau masker bedah merek Sensi, Rp 485.000 per kotak isi 50 lembar,” ucap pedagang di toko itu.
Padahal, sebelum wabah Covid-19, satu kotak masker 3 lapis merek Sensi dijual seharga Rp 30.000. Sementara masker N95 medis, sebelum terjadi wabah, jarang beredar di pasaran.
Namun kini, masker N95 untuk kepentingan pertukangan pun turut dijual dan oleh pedagang disamaratakan dengan masker N95 medis. Harganya yang semulanya berkisar Rp 10.000-Rp 15.000 per lembar, kini dijual Rp 175.000. Adapun harga masker N95 medis selama ini memang mahal, yakni di atas Rp 200.000 per lembar.
Di pasar daring, perlengkapan APD medis ini juga marak diperjualbelikan oleh banyak toko. Untuk harganya sedikit lebih murah dibandingkan Pasar Pramuka, tetapi belum termasuk ongkos kirim. Masker tiga lapis merek Sensi di Toko SuriaMart dijual seharga Rp 438.000 per kotak isi 50 lembar.
Masker N95 seri 8210 untuk pengelasan, di Toko Haikal, dijual Rp 2,8 juta per kotak isi 20 lembar atau Rp 140.000 per lembar. Padahal di PT Datascrib, salah satu penyalur masker N95, menjual masker seri ini dengan harga sekitar Rp 12.000 per lembar.
Pasrah
Kelompok-kelompok masyarakat yang membantu menyediakan perlengkapan APD bagi tenaga medis hanya bisa pasrah terhadap ulah para pedagang ini. Project Indonesia, organisasi sosial yang beranggotakan para dokter gigi alumni Universitas Trisakti, Jakarta, terpaksa memenuhi kebutuhan perlengkapan APD medis dengan berbelanja di Pasar Pramuka.
Sejak Maret, Project Indonesia telah menghimpun bantuan untuk membagikan perlengkapan APD ke berbagai fasilitas pelayanan kesehatan ke 200 wilayah di Indonesia. Perlengkapan APD yang didonasikan itu terdiri atas baju APD medis hasil produksi konfeksi kecil, baju bedah, masker N95, masker bedah tiga lapis, kacamata google, perisai wajah, termasuk sarung tangan medis.
Drg Ruth Amigia, salah satu anggota Project Indonesia, mengungkapkan, pihaknya terpaksa memenuhi kebutuhan donasi untuk perlengkapan APD medis ke Pasar Pramuka dan toko daring karena perlengkapan itu tak ditemukan di apotek maupun alat kesehatan lainnya.
”Sangat disayangkan bahwa harga APD saat ini semakin mahal karena banyaknya penimbun. Kami pun terpaksa berbelanja di Pasar Pramuka meskipun harganya sangat tinggi,” katanya.
Padahal berdasarkan data ketersediaan bahan baku di Kementerian Perindustrian, bahan baku untuk masker tiga lapis tergolong terbatas. Sebab, masker ini harus dilengkapi dengan lapisan meltblown yang berfungsi yang menyaring, dan di Indonesia hanya ada 1 perusahaan yang memproduksinya, yakni PT Multi Spunindo Jaya.
Selama ini produksi masker di Indonesia memang besar, yaitu 130 juta lembar per bulan dari 23 produsen. Namun, menurut Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam, sebelum wabah Covid-19 pada umumnya produsen itu menggunakan bahan baku impor dibandingkan menyerap bahan baku dalam negeri.
Namun, lanjutnya, sekarang ini telah ditemukan produsen-produsen yang memproduksi bahan baku masker, yakni polypropylene spunbond dan meltblown. Jumlahnya ada 14 perusahaan, salah satunya PT Multi Spunindo Jaya yang menjadi satu-satunya produsen meltblown. ”Perusahaan-perusahaan ini siap menyuplai kebutuhan kita,” jelasnya.
Ulah pedagang juga menyulitkan masyarakat. Produk sanitasi tangan berupa hand sanitizer, contohnya. Sejak Indonesia dilanda wabah Covid-19 pada awal Maret lalu, produk ini lenyap di pasaran. Menyusul berbagai macam produk antiseptik dan disinfektan, termasuk cairan pemutih pakaian yang dapat diolah menjadi disinfektan, juga ikut menghilang di pasaran. Padahal produk-produk itu dibutuhkan masyarakat untuk menjaga kebersihan, salah satu cara melindungi diri dari penularan virus korona.
Seperti halnya perlengkapan APD, produk-produk ini juga hanya muncul di toko-toko di Pasar Pramuka dan pasar daring. Harganya pun melonjak tinggi. Hand sanitizer merek Antis, contohnya, di Pasar Pramuka ditawarkan seharga Rp 50.000 per botol isi kurang dari 50 mililiter. Padahal dalam kondisi normal, produk itu dijual sekitar Rp 10.000 per botol.
Cairan antiseptik merek Dettol ukuran 245 ml yang dalam kondisi normal dijual sekitar Rp 60.000, di Pasar Pramuka dan toko di pasar daring dijual seharga lebih dari Rp 125.000 per botol.
Iklan produk antiseptik Dettol yang dipasang di pasar daring pun menjadi sasaran kekecewaan warga net. Lewat kolom komentar, warga net menyampaikan bahwa produk antiseptik Dettol kini tak ditemukan di pasaran dan hanya tersedia di toko-toko daring dengan harga selangit.
Salah satunya diungkapkan @rockmanhackim, ”Jangan ngiklan doang tapi produk mu nggak ada di masyarakat. Ada juga harganya mehong (mahal)”. Komentar ini pun memperoleh respons dari warga net lainnya @desakkesumadewi84, ”Benar. Tiba-tiba stok kosong nih produk di semua supermarket”.
Kompas telah berusaha mengonfirmasi PT Reckitt Benckiser Indonesia selaku pengelola produk Dettol di Gedung Artha Graha, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Namun saat didatangi, perusahaan itu sudah tak lagi berkantor di Gedung Artha Graha, dan kini belum diketahui keberadaan kantornya.
Saat Kompas mendatangi kantor pengelola produk Antis di Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, untuk konfirmasi, juga tak memperoleh tanggapan. Pihak Antis hanya meminta nomor telepon Kompas dan berjanji akan menghubungi, tetapi sampai saat ini Kompas belum dihubungi.
Bagi warga yang harus bekerja di luar rumah selama wabah ini, cairan antiseptik ataupun cairan sanitasi ini sangat dibutuhkan. Yunanto (37), salah satu pengemudi ojek daring contohnya, membutuhkan cairan sanitasi untuk membersihkan setiap barang maupun makanan yang dia antar untuk konsumen. Karena di berbagai supermarket produk pembersih tangan tak lagi tersedia, ia hanya bisa memanfaatkan semaksimal mungkin donasi hand sanitizer dari kelompok-kelompok masyarakat.
”Saya setiap hari mengantar makanan kepada konsumen. Saya membutuhkan hand sanitizer supaya makanan yang saya antar tetap steril dan saya pun tidak tertular virus korona,” katanya.
Di tengah tak tersedianya hand sanitizer yang telah memiliki izin edar, Kompas menemukan hand sanitizer tanpa izin edar diperjualbelikan di salah satu apotek di Duren Sawit, Jakarta Timur. Salah satunya hand sanitizer merek QC yang dijual Rp 35.000 per botol. Selain tak ditemukan informasi izin edar dan perusahaan yang memproduksi, di botol itu juga tak tersedia informasi bahan yang digunakan, termasuk volumenya.
Pelayan apotek itu mengaku, ia memperoleh produk itu dari salah satu sales. ”Ini produk dari sales. Saya juga tidak tahu siapa yang produksi,” kata pelayan apotek itu.
Sejauh ini Kepolisian Negara RI memang telah menindak sejumlah spekulan yang menimbun produk antiseptik maupun perlengkapan APD medis. Namun, upaya itu belum menunjukkan perubahan terhadap ketersediaan perlengkapan APD dan produk sanitasi lainnya di masyarakat.
Sebaliknya, berdasarkan pengamatan Kompas, sejumlah pihak melakukan kebijakan secara mandiri untuk mengontrol distribusi produk hand sanitizer maupun cairan pemutih pakaian yang dapat digunakan sebagai bahan baku disinfektan.
ransmart, contohnya, melakukan pembatasan terhadap pembelian cairan pemutih pakaian sebanyak dua botol per orang. Sementara di supermarket lain masih membebaskan jumlah pembelian untuk produk pemutih pakaian sehingga mengakibatkan produk itu selalu habis diborong pembeli maupun spekulan.
Kompas untuk telah berusaha menghubungi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri maupun Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, terkait perlengkapan APD medis maupun produk sanitasi yang kini dikuasai pedagang tertentu. Namun, kedua lembaga itu, hingga tulisan ini diturunkan, belum memberikan konfirmasi.
Tidak semestinya di tengah wabah Covid-19 ini ada pihak-pihak tertentu yang menangguk keuntungan dengan menguasai perlengkapan APD dan produk sanitasi, sementara tenaga medis yang ada di garis depan harus berjibaku dengan perlengkapan APD yang minim. Jika memang wabah Covid-19 membutuhkan kerja sama seluruh pihak, kalangan yang mencari untung dari bencana ini juga harus diberantas dengan tuntas.