Anak Kebanggaan Keluarga Itu Direnggut Buaya
Serangan buaya kembali memakan korban di Sulawesi Tenggara. Konflik ruang satwa dan manusia akibat pembukaan lahan membuat masyarakat kecil begitu rentan menjadi korban.
Riswan (14) diterkam buaya di Sungai Poleang, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, ketika menyeberangi sungai untuk membantu sang ayah menggembala sapi. Anak kebanggaan keluarga itu pun meninggal. Konflik ruang antara buaya dan warga yang terus terjadi membuat masyarakat kecil begitu rentan menjadi korban.
Kamis (23/4/2020) pagi, Riswan dan Mahyudin (44), sang ayah, berangkat dari rumah di Dusun Lasirantang, Desa Teppoe, Kecamatan Poleang Timur, Bombana, menuju sungai. Di seberang sungai, sapi-sapi gembalaan mereka telah menunggu untuk diberi makan.
Menggembala sapi milik tetangga yang berpunya adalah pekerjaan utama keluarga ini. Saat musim tanam tiba, mereka juga mengurus sawah. Kedua pekerjaan itu memakai sistem bagi hasil.
Sekitar 4 meter sebelum tiba di seberang, seekor buaya melewati bapaknya.
Saat tiba di Sungai Poleang, mereka bersiap menyeberang. Sungai selebar 20 meter dengan kedalaman lebih dari 4 meter ini memang harus mereka lintasi untuk tiba di sawah sekaligus tempat menggembala.
Wawan, nama panggilan siswa kelas 1 MTS Al Istiqamah, Poleang Timur, ini mengambil dua kelapa kering sebagai pelampung membantunya berenang. Sang ayah menyusul di belakang. Mereka lalu berenang melintasi sungai utama di wilayah ini.
”Sekitar 4 meter sebelum tiba di seberang, seekor buaya melewati bapaknya. Panjang buayanya sekitar 5 meter. Lalu, tiba-tiba buaya itu gigit pundaknya Wawan dan langsung menyelam,” kata Ilham Sugandi (25), paman korban, saat dihubungi dari Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis siang.
Sang ayah, tutur Ilham, histeris dan berusaha menolong sang anak. Akan tetapi, setelah beberapa lama mencari, ia tidak berhasil menemukan Wawan. Mahyudin lalu berlari untuk memberi tahu tetangga dan keluarga.
Bersama keluarga dekat, mereka terus mencari sembari menunggu pertolongan datang. Setengah jam setelah Wawan diterkam, buaya tersebut muncul di permukaan, sekitar 200 meter dari lokasi awal. Tubuh Wawan ikut naik, tetapi tidak lagi berontak.
”Sampai siang ini, sudah empat kali buaya muncul. Buaya naik bawa Wawan, tetapi tidak mau dilepaskan. Bapaknya tidak mau putus asa terus mencari,” kata Ilham.
Berita itu cepat menyebar. Laporan pun tiba di Kantor SAR Kendari, yang lalu menurunkan tim untuk melakukan pencarian. Sejumlah unsur terkait juga turun membantu agar korban bisa segera ditemukan.
Kepala SAR Kendari Aris Sofingi menyampaikan, pihaknya menurunkan satu tim untuk melakukan pencarian. Tim turun dengan perahu karet, ambulans, dan pendukung pencarian lainnya. Meski demikian, hingga Kamis malam, korban tidak jua ditemukan.
Pencarian lalu dilanjutkan pada Jumat pagi dengan menurunkan tim yang dibantu sejumlah unsur terkait. ”Pada operasi hari kedua, pukul 10.45, korban ditemukan oleh tim dalam kondisi meninggal. Lokasi korban ditemukan di muara sungai yang berjarak sekitar 5 kilometer dari lokasi pertama. Kami telah menyerahkan jenazah ke pihak keluarga,” tutur Aris.
Kebanggaan
Wawan merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Ia adalah anak lelaki kedua dari pasangan Mahyuddin dan Yeli (35). Meski lebih kecil, ia rajin membantu sang ayah menggembala sapi setiap hari.
”Wawan ini yang paling rajin bantu orangtua. Bahkan, waktu sebelum libur sekolah, dia pergi kasih pindah sapi dulu baru ke sekolah. Jadi, setiap hari itu empat kali menyeberangi sungai, pagi dan sore,” tutur Ilham.
Selain rajin di rumah, Ilham menambahkan, Wawan juga dikenal aktif berkegiatan sebagai remaja masjid Dusun Lasirantang. Ia rutin mengikuti kegiatan dan selalu bertugas sebagai muazin. ”Dia bertugas azan setiap hari. Makanya, kami kehilangan betul dengan kejadian ini,” ucapnya.
Kepala Desa Teppoe Abdul Haris menuturkan, sosok Wawan terkenal rajin dan sering membantu orangtua. Korban setiap hari mengemban tugas keluarga dengan menggembala sapi atau membantu mencangkul dan menanam padi di sawah. ”Kebetulan Wawan juga keponakan saya, jadi kami semua merasa sangat kehilangan,” ucapnya.
Baca juga : Habitat Buaya di Sulawesi Tenggara Terganggu, Konflik dengan Manusia Marak
Konflik buaya dengan manusia di Desa Teppoe terhitung beberapa kali terjadi. Meski demikian, baru kali ini konflik membuat warga desa kehilangan nyawa. Desa Teppoe sendiri berada sekitar 20 kilometer dari sebuah lokasi penambangan emas di Bombana dan perkebunan tebu milik sebuah perusahaan besar. Sungai Poleang melintasi dua perusahaan skala besar ini.
Konflik buaya dengan masyarakat yang memakan korban jiwa terus terjadi dengan intensitas yang meningkat di Sultra. Sejak awal 2020, terhitung telah ada tiga kasus dengan tiga orang meninggal.
Pada awal Februari, serangan buaya membuat Afdal Setiawan (15) meninggal. Siswa kelas 1 SMP ini tewas diserang buaya setelah memancing di Kali Poropia, Kabupaten Konawe Selatan. Pada Minggu (9/2/2020), tim SAR menemukan jenazah Afdal yang hilang sehari sebelumnya. Afdal ditemukan sekitar 1,2 kilometer dari lokasi awal hilang setelah diterkam buaya.
Pada Januari, seorang warga di Kabupaten Buton Utara juga meninggal setelah diterkam buaya. Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, selama 2019, terjadi serangan buaya di sejumlah daerah. Sebanyak enam orang meninggal dan tiga orang lainnya luka. Serangan buaya terjadi di Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Buton Utara, Buton, dan Muna.
Berdasarkan catatan, semua korban jiwa dari serangan buaya adalah warga setempat yang beraktivitas di sungai. Korban diserang ketika mencuci, mencari kerang, memancing, atau sedang melintasi sungai.
Seperti juga konflik buaya dan manusia di sungai ini, masyarakat kecil yang lemah akan menjadi korban.
Ketua DPP Perkumpulan Tenaga Ahli Lingkungan Hidup Indonesia Sultra La Ode Ngkoimani menjelaskan, serangan buaya yang terus terjadi perlu dilihat dalam konteks kerusakan lingkungan dan konflik ruang yang terjadi. Konflik, seperti halnya bencana, akan membuat yang paling lemah menjadi korban.
”Dalam teori bencana, yang paling lemah akan menjadi korban terlebih dahulu. Seperti juga konflik buaya dan manusia di sungai ini, masyarakat kecil yang lemah akan menjadi korban. Terlebih, ketika aktivitas mereka setiap hari di sungai,” tutur Ngkoimani.
Ngkoimani menjabarkan, habitat buaya di sungai kemungkinan besar terganggu dengan banyaknya aktivitas manusia, pembukaan ruang, hingga kerusakan sungai. Hal itu membuat rantai makanan satwa itu di sungai menjadi terganggu. Khusus di Bombana, adanya aktivitas pendulangan emas di sungai membuat debit air sungai terganggu sehingga fungsi sungai juga berkurang. Terlebih, dengan pembukaan ruang untuk perkebunan skala besar yang baru beberapa tahun beroperasi.
Desakan pembangunan skala besar, tambah Ngkoimani, membuat fungsi dan ekosistem di sungai terganggu. Pembukaan perkebunan skala besar, pertambangan, hingga pengambilan pasir terus membuat daya dukung sungai turun.
Baca juga : Misteri Meningkatnya Serangan Buaya terhadap Manusia di Timor Leste
”Padahal, aturan pemerintah itu sudah jelas, pembangunan harus berjarak dari sungai. Perusahaan harus memiliki amdal (analisis dampak lingkungan) dan tidak merusak lingkungan. Hanya memang tidak ada pengawasan berarti. Pemerintah harus melihat kejadian berulang ini sebagai menurunnya fungsi sungai karena desakan pembangunan,” ucapnya.
Oleh karena itu, Ngkoimani mengharapkan, pemerintah dan otoritas terkait melihat hal ini sebagai peringatan untuk semua. Pengaturan zonasi pemanfaatan ruang di sungai menjadi hal yang penting untuk dilakukan.