Sebelum ”Badai” di Wakatobi
Wisata di Wakatobi terus bersalin rupa dengan kekayaan alam, kultur, dan masyarakatnya. Dari bawah, warga berbenah agar ekowisata moncer dan berdampak luas. Tantangan di masa pandemi Covid-19 semakin beragam.
Tak melulu di dalam laut, wisata di Wakatobi terus bersalin rupa dengan kekayaan alam, kultur, dan masyarakatnya. Dari bawah, warga berbenah agar ekowisata moncer dan berdampak luas. Tantangan beragam, bahkan sebelum badai pandemi Covid-19 tiba. Perlu upaya ekstra agar sektor pariwisata ini membawa sejahtera kepada semua.
Selepas tengah malam, di sebuah balai bambu, La Asiru memangku gambus uzur. Jemarinya memetik pelan. Suara paraunya mengiris malam.
”Kaasina anantomoanne teolo tehantatooha…” Asiru menerjemahkan, ”Kasian kita laki-laki. Laut itu serupa lapangan besar. Laut itu tempat bermain yang sangat luas,” ucapnya, akhir Februari 2020, di Desa Kulati, Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Rambutnya putih. Kumis dan janggutnya juga. Tangan dan dahinya keriput seperti kulit jeruk. Ia disapa Pak Tua. Umurnya empat kali lipat dari gambusnya, 82 tahun pada tahun ini.
Baca juga: Wakatobi, Surga Wisata Laut dan Budaya
Serupa pengembara di lautan luas, hanya berteman gambus yang juga tua pada malam sepi, ia berdendang. Senandungnya berbaur dengan aroma lautan lepas yang berjarak sekitar 700 meter dari balai.
Laut bagi masyarakat Tomia dan Wakatobi pada umumnya, kata Asiru, adalah ladang pengharapan, juga tempat penghidupan. Dengan laut yang meliputi semua desa, kehidupan warga bergantung pada laut. Memancing, menjala ikan, dan melintasi lautan luas membawa hasil laut atau hasil bumi adalah pekerjaan utama. Seumur hidup bergantung pada laut.
Laut biru terbentang di Desa Kulati. Membawa angin dari Laut Flores yang luas, biru membentang hingga ke horizon. Pasir putih terhampar. Desa ini satu dari sekian desa di Pulau Tomia, satu dari empat pulau besar yang menjadi akronim Wakatobi, selain Wangi-wangi, Kaledupa, dan Binongko.
Baca juga: Ekonomi Pariwisata Sesudah Wabah Virus Korona
Bertahun-tahun karib dengan aktivitas pengeboman dan pengambilan hasil laut secara ilegal, perlahan warga berbenah. Desa Kulati berbenah menjadi wilayah yang karib dengan alam, seperti nenek moyang mereka. Lokasi penangkapan ikan dijaga baik, bahkan sejak 2014 ditetapkan adanya bank ikan, seperti yang dilakukan beberapa desa lain di Tomia.
Tidak hanya itu, warga desa mulai mengakrabi pariwisata. Sebuah resor yang dikelola orang asing yang masih berada di kawasan Tomia telah berdiri puluhan tahun. Warga tidak ingin wisata yang eksklusif dan pasti membutuhkan investor besar.
Tidak hanya menikmati alam, tetapi juga interaksi dengan masyarakat.
Ekowisata menjadi jawaban. Wisata berbasis kearifan alam dan keakraban bersama masyarakat. Di luar keindahan alamnya, warga desa ramah. Dan, jika beruntung, bisa mendengarkan kisah serta banyolan dari Pak Tua atau warga lainnya.
Nyong Tomia (30), tokoh pemuda desa, menuturkan, berdasarkan identifikasi warga, desa ini memiliki 12 potensi. Dari pemandangan alam, lokasi menyelam, hingga situs sejarah. Lokasi pantai pasir putih, tebing yang berbatas laut biru, bangkai kapal perang Jepang, jadi pilihan. Tentu tidak lupa beraneka makanan hingga keramahan warga desa.
”Kami ada paket dua hari satu malam, ada yang tiga hari dua malam. Tidak hanya menikmati alam, tetapi juga interaksi dengan masyarakat,” ucap Nyong yang juga koordinator Kelompok Poassa Nohada. Kelompok ini adalah kelompok pariwisata berbasis masyarakat. ”Kami ingin semua warga terlibat, termasuk kelompok ibu-ibu yang telah kami libatkan jika ada kegiatan dan kunjungan, dengan sistem giliran.”
Baca juga: Tugas Berat Kembangkan Pariwisata
Tantangan ekstra
Menurut Nyong, ekowisata berbasis kearifan leluhur menjadi hal yang digalakkan warga desa. Hanya saja, masih ada kendala memajukannya. Selain terbatas akses, ada permasalahan sampah plastik yang berdatangan dari laut, keterlibatan utuh masyarakat, hingga kunjungan wisatawan yang sangat minim.
Jika di Desa Kulati, Tomia, mengandalkan pantai dan kekayaan laut, di Desa Tampara Kaledupa, warga memulai ekowisata di hutan mangrove. Menjelajahi rimbunnya mangrove adalah tawaran bagi pelancong. Dua geliat ekowisata di Kulati dan Tampara ini didukung Yayasan Konservasi Alam Nusantara (The Nature Conservancy/TNC).
Hasanuddin (60), Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tampara, mengatakan, pemanfaatan mangrove sebagai lokasi wisata merupakan langkah awal meningkatkan geliat pariwisata di desa. Tutupan seluas 30 hektar jadi lokasi tepat dikembangkan.
”Kami juga menggagas adanya wisata buah dan wisata budaya. Potensi desa kami kembangkan sehingga setelah beraktivitas di laut, pengunjung mempunyai pengalaman berbeda di darat,” tuturnya.
Meski demikian, upaya ini memang butuh banyak perbaikan. Selain dukungan infrastruktur, juga perlu edukasi. Sebab, masyarakat belum menganggap pariwisata bisa menjadi tumpuan ekonomi baru.
Wakatobi dengan kekayaan alam berlipat memang mengesankan. Di lautnya, dengan 750 jenis dari total 850 jenis koral dunia, membuat khazanah pemandangan bawah airnya menakjubkan. Kekayaan itu belum termasuk jenis ikan dan ratusan jenis karang. Karang atol di Kaledupa sepanjang 48 kilometer merupakan karang atol terpanjang di dunia.
Tidak salah jika Wakatobi menjadi cagar biosfer dunia setelah ditetapkan menjadi Taman Nasional Laut sejak 1996. Saat ini Wakatobi juga menjadi satu dari 10 daerah prioritas pariwisata Indonesia.
Hanya saja, meski memiliki surga bawah laut, kehidupan di darat masyarakat di Wakatobi berbanding terbalik. Angka kemiskinan masih 2,9 persen pada 2018. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berada pada angka 2,5 persen.
Sementara itu, indeks ketimpangan atau rasio gini pada 2018 juga meningkat jadi 0,409. Ketimpangan tersebut semakin bertambah jika dibandingkan dengan periode Maret 2017 yang berada pada angka 0,394.
Riset Kasmiaty dan kawan-kawan dari Program Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor tahun 2016 menunjukkan, pariwisata, khususnya ekowisata, tidak membuat struktur nafkah masyarakat membaik secara keseluruhan. Penelitian ini mengambil sampel di Pulau Kapota dan Bajo Mola di Wangi-wangi.
”Aktivitas ekowisata dapat meningkatkan resiliensi ekonomi rumah tangga. Hal ini terlihat dari lapisan rumah tangga atas memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan menengah dan bawah. Lapisan atas memperoleh tambahan pendapatan dan melakukan rekayasa nafkah yang terkait dengan aktivitas ekowisata dibandingkan dengan kedua lapisan rumah tangga lainya sehingga menjadi lebih resilien,” tulis laporan itu yang dimuat dalam Jurnal Sosiologi Pedesaan.
Nadar, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wakatobi, menjabarkan, secara umum, masyarakat di Wakatobi mengalami transformasi seiring kian kuatnya sektor pariwisata. Sebagai masyarakat yang bermata pencarian sebagai nelayan dan pelaut serta baru mengenal sektor baru, pergeseran mulai terjadi.
Beberapa tahun ini, Nadar melanjutkan, sumbangan sektor pariwisata untuk penerimaan daerah meningkat. Pada 2019, sumbangsih sektor utama Rp 3 miliar, naik sekitar 3 persen dari tahun sebelumnya. ”Penerimaan asli daerah itu sekitar Rp 8 miliar dan 40 persennya disumbang pariwisata. Program pengembangan pariwisata terus digalakkan,” tuturnya.
Di satu sisi, memang terjadi tren penurunan pengunjung. Pada 2019, jumlah wisatawan pada angka 28.000, turun dari tahun sebelumnya yang 29.000 orang. Hal ini disebabkan tingginya harga tiket dan berkurangnya rute penerbangan.
Belajar dari masalah itu penting.
Oleh sebab itu, Pemkab Wakatobi berusaha menyelesaikan persoalan infrastruktur, sumber daya manusia, dan menggalakkan investasi. ”Kami berharap ketiga hal ini bisa makin baik. Apalagi Wakatobi menjadi daerah prioritas. Pariwisata tentu memberikan dampak banyak kepada masyarakat karena memiliki rantai ekonomi yang panjang,” katanya.
Geliat pariwisata di Wakatobi berusaha digalakkan, bahkan dari bawah. Tantangan menghadang, terlebih pada waktu pandemi virus yang merontokkan begitu banyak sektor. Sektor pariwisata juga luluh lantak meski dipertahankan mati-matian.
Hanya saja, seperti kata Pak Tua yang telah merentang jalan melewati berbagai badai, ”Belajar dari masalah itu penting. Bagi kami, tidak peduli dengan kelemahan karena dengan kerja keras kita bisa dapat semua itu.”