Keprihatinan pada kondisi tenaga medis yang berjuang di garda terdepan dengan keterbatasan APD melahirkan gerakan kemanusiaan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
Atas nama keprihatinan, gerakan membantu tenaga medis terus bergeliat di Makassar, Sulawesi Selatan. Mahasiswa, wartawan, warga, pengusaha, hingga aparat keamanan bersatu padu mengambil peran tersebut. Dukungan, rasa terima kasih, dan penghormatan kepada tenaga medis meleburkan segala sekat. Mereka bersatu melawan pandemi Covid-19.
Sepekan sebelum Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengumumkan kasus pertama positif Covid-19, sukarelawan mahasiswa Fakultas Teknik Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, telah memulai gerakan melawan Covid-19. Di laboratorium kampus, mereka memulai aksi dengan membuat cairan pembersih tangan.
Cairan ini dibagikan gratis kepada warga, kalangan kampus, hingga petugas fasilitas kesehatan. Saat itu, pembersih tangan nyaris sama langkanya dengan masker. Tak sekadar memproduksi cairan pembersih tangan, puluhan mahasiswa ini juga memproduksi cairan disinfektan.
Mereka mengenakan jas hujan seadanya, sebagian tanpa APD.
Sejak 19 Maret, mereka mulai berkeliling ke sejumlah tempat di Makassar untuk menyemprotkan disinfektan. Pada malam tanggal itu pula, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama di Sulsel.
”Saat berkeliling menyemprotkan disinfektan ke puskesmas di Makassar, mahasiswa saya menemukan fakta betapa memprihatinkan kondisi APD (alat pelindung diri) petugas di puskesmas. Mereka mengenakan jas hujan seadanya, sebagian tanpa APD. Padahal, mereka adalah petugas di tingkat bawah yang pertama kali menerima pasien,” kata Zakir Sabara, Dekan FTI UMI, Senin (13/4/2020).
Kondisi ini, berikut foto-foto, diunggah Zakir di sebuah grup Whatsapp Alumni Program Profesi Insinyur. Tak disangka, unggahan ini disikapi para anggota grup dengan gerakan bersama.
Dalam sekejap, dana pun terkumpul. Hasilnya adalah 12 bal kain atau cukup untuk menghasilkan 669 potong baju hazardous materials (hazmat), pelindung tenaga medis saat menangani pasien Covid-19.
Selebihnya, saya dapat bantuan lagi hingga jumlahnya hampir 1.000 lembar hazmat.
Persoalan selanjutnya adalah mencari penjahit. Lagi-lagi, nasib baik berpihak. Penjahit yang dihubungi Zakir juga ingin berbuat sesuatu. Dia memberi harga Rp 30.000 untuk setiap lembar pakaian. Katanya, itu sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih kepada para tenaga medis.
”Dana yang terkumpul ternyata lumayan dan masih ada kelebihan. Namun, kami tak lagi mendapat kain. Lalu, saya menghubungi kenalan di Bandung yang memproduksi hazmat dan memesan 100 lembar. Ternyata, dia ikut prihatin dan menyumbang 100 lembar lagi. Untuk 100 lembar yang saya pesan, diberi potongan harga 50 persen juga. Selebihnya, saya dapat bantuan lagi hingga jumlahnya hampir 1.000 lembar hazmat,” kata Zakir.
Dana yang masih tersisa kemudian digunakan lagi untuk membuat pelindung wajah dan masker kain. Jumlah pelindung wajah yang bisa diproduksi mencapai 500 buah dan masker sebanyak 1.000 lembar.
Niatan membantu itu berjalan demikian mulus. Zakir menambahkan, di kampus, ada saja yang mengirim bantuan alkohol untuk produksi pembersih tangan atau bahan lain untuk disinfektan. ”Ada yang 10 liter, 60 liter, semua kami terima dan produksi. Semua kami bagikan gratis,” katanya.
Sejak awal, Zakir tak membuka donasi. Alasannya, semua orang terdampak pandemi. Namun, gerakan mahasiswa yang setiap hari berkeliling membagikan cairan pembersih tangan dan menyemprotkan disinfektan itu menggerakkan banyak pihak untuk ikut mengulurkan tangan.
Organisasi seperti Perhimpunan Tionghoa, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulsel, Polsek Panakkukang, dan pramuka pun turut berpartisipasi. Gerakan ini kemudian menjadi besar.
Sejak dimulai pada 19 Maret, aktivitas menyemprotkan disinfektan yang dilakukan mahasiswa FTI UMI hampir tak pernah berhenti. Setiap hari, mereka berkeliling puskesmas, rumah sakit, perkantoran, fasilitas umum, hingga permukiman di zona merah Covid-19 di Makassar.
Pada Sabtu-Rabu (18-22/4/2020), tim sukarelawan mahasiswa FTI UMI bahkan mulai berkeliling ke daerah Maros dan Gowa untuk melakukan penyemprotan di sejumlah rumah sakit dan puskesmas. Maros dan Gowa adalah dua kabupaten penyangga Makassar yang juga memiliki banyak kasus Covid-19.
Perihal tenaga medis yang tanpa APD atau mengenakan APD seadanya juga diunggah Zakir di sebuah grup Whatsapp. Di grup itu, sejumlah petinggi Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, dan wartawan menjadi anggotanya. Wartawan kemudian lebih aktif menanggapi unggahan itu.
Hari itu juga, organisasi wartawan, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Sulsel, dan Perhimpunan Jurnalis Indonesia, membentuk forum bernama Jurnalis Peduli Kemanusiaan (JPK).
Dalam dua hari, sejumlah dana dari para wartawan terkumpul. Tak menunggu waktu, 31 lembar baju hazmat dipesan di Bandung. Belum lagi pesanan tiba, donasi kembali terkumpul. Sebanyak 100 lembar kembali dipesan. Gerakan ini seolah memanggil orang-orang lain yang ikut peduli untuk berdonasi. Ada yang mendonasikan uang, masker, atau perlengkapan lain.
”Memang kecil kalau melihat jumlahnya, tapi setidaknya kami ikut berbuat. Tak elok dan tak adil rasanya membiarkan tenaga medis berjuang sendiri,” kata A Ahmar, salah seorang penggerak JPK yang juga redaktur di media daring Celebes Online.
Ada pula sejumlah jurnalis perempuan yang bergerak dengan cara berbeda. Mereka tergabung dalam Komunitas Jurnalis Berbagi. Setiap hari, mereka membuat ratusan paket makanan bergizi untuk dibagikan kepada petugas kesehatan di puskesmas hingga rumah sakit. Belakangan, makanan juga diberikan kepada kaum papa yang terpuruk ekonominya akibat pandemi.
”Selanjutnya, kami akan mengumpulkan bahan kebutuhan pokok untuk membantu orang-orang kurang mampu yang terimbas pandemi. Kami sedang berupaya,” kata Andi Ajramurni, wartawan The Jakarta Post.
Bencana dalam bentuk pandemi kali ini kembali menunjukkan bahwa Indonesia tak kekurangan orang baik. Kondisi tenaga medis yang menjadi garda terdepan dan berjuang bertaruh nyawa di tengah keterbatasan APD telah menyentuh rasa kemanusiaan banyak orang. Mereka melebur jadi satu untuk melawan pandemi.