Di Kota Malang, Polisi Tahan Mahasiswa Diduga Terkait Vandalisme
Tiga orang ditangkap Kepolisian Resor Kota Malang Kota, Jawa Timur, diduga terkait kelompok coret-coret dinding atau properti milik orang lain dengan kata-kata provokatif. Ketiganya terancam 10 tahun penjara
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Tiga orang ditangkap Kepolisian Resor Kota Malang Kota, Jawa Timur, karena diduga terkait kelompok vandalis yang mencoret-coret dinding atau properti milik orang lain dengan kata-kata provokatif. Ketiganya terancam hukuman 10 tahun penjara.
Hal itu dijelaskan Kepala Kepolisian Resor Kota Malang Kota Komisaris Besar Leonardus Simarmata dalam keterangan pers, Rabu (22/04/2020). Dalam kesempatan itu, ditunjukkan beberapa barang bukti dan kondisi tiga tersangka.
Tiga mahasiswa yang telat ditetapkan sebagai tersangka tersebut adalah MAA (20), warga Pakis Kabupaten Malang; SRA (20), buruh harian lepas asal Singosari Kabupaten Malang; dan AFF (22), mahasiswa asal Buduran Sidoarjo.
Polisi menangkap ketiganya berdasarkan keterangan sejumlah saksi serta setelah melakukan penyelidikan. Tiga orang tersebut ditangkap pada 19 April 2020 dan ditahan pada 20 April 2020.
Kejadiannya adalah perusakan properti atau dinding milik orang atau melakukan coret-coret di dinding dengan kata-kata berbau provokatif. (Leonardus Simarmata)
Menurut polisi, tiga orang tersebut memiliki peran berbeda-beda. MAA ditengarai merupakan inisiator, pembeli cat semprot, sekaligus pelaku pencoretan. SRA juga merupakan inisiator sekaligus pelaku penyemprotan. Adapun AFF adalah orang yang mengawasi saat aksi pencoretan berlangsung.
Polisi menunjukkan sejumlah barang bukti, yaitu ditemukannya mal/pola/cetakan untuk semprotan bertuliskan ”Tegalrejo Melawan”, sepatu, helm, dan cat semprot.
Ketiganya dinilai melakukan coret-coret di enam lokasi, yaitu Jalan Sunandar Priyo Sudarmo, Jalan LA Sucipto, pertigaan Jalan Tenaga, Jalan Ahmad Yani Utara, Jalan Jaksa Agung Suprapto, dan underpass Pintu Tol Karanglo. Pencoretan dilakukan dengan menggunakan cat semprot warna hitam pukul 00.00-04.00.
”Kejadiannya adalah perusakan properti atau dinding milik orang atau melakukan coret-coret di dinding dengan kata-kata berbau provokatif,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Malang Kota Komisaris Besar Leonardus Simarmata. Contoh tulisan ketiganya sebagaimana barang bukti yang ditemukan polisi adalah ”Tegalrejo Melawan”.
Aksi ketiganya dinilai melanggar Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka terancam hukuman 10 tahun penjara.
”Motif tindakan mereka adalah para pelaku merasa tidak terima dan memprovokasi masyarakat untuk melawan kapitalisme yang dirasa merugikan,” kata Leonardus.
Namun Leonardus mengelak memberikan keterangan lebih detail mengenai kelompok ketiganya. Saat ditanya lebih jauh apakah ketiganya terkait kelompok vandalis Anarko, Leonardus mengatakan, polisi masih menyelidiki. ”Itu sudah masuk materi penyidikan. Nanti kalau saya buka sekarang, kami malah salah. Itu masih berproses. Nanti akan kami buka semua,” katanya.
Menyalahi prosedur
Adapun di tempat terpisah, Jauhar dari LBH Surabaya selaku kuasa hukum tiga tersangka mengatakan bahwa dalam penangkapan ketiga orang di atas, polisi berlaku tidak demokratis, menangkap dan menahan tanpa prosedur, serta melanggar hak warga negara. Hal itu dinilai mencerminkan ketidakprofesionalan polisi sebagai penegak hukum.
”Polisi menangkap ketiganya hanya berbasis dugaan spekulatif, tanpa disertai bukti yang kurang jelas alias masih kabur. Ketiga orang itu dijemput dan hanya diberi tahu akan dijadikan saksi, pemberitahuan itu pun tanpa surat perintah. Ternyata saat sudah berada di Polresta, mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Ini salah satu hal yang menurut kami menyalahi prosedur,” kata Jauhar.
Saat ini, LBH Surabaya dan LBH Surabaya Pos Malang, menurut Jauhar, sedang mengupayakan pembebasan ketiga orang tersebut. ”Untuk awal, kami sedang mengupayakan penangguhan penahanan. Suratnya akan segera kami kirim,” kata Jauhar.
Menurut Jauhar, pada 19 April 2020 sekitar pukul 20.20, lima polisi mendatangi kediaman AFF di Sidoarjo. Menurut keterangan ayah AFF, tiga polisi tersebut bertugas di Malang dan dua lainnya merupakan polisi Sidoarjo. Saat dimintai surat penjemputan, polisi menunjukan surat yang tidak ada nama AFF sehingga AFF menolak menuruti permintaan tersebut.
”AFF akhirnya terpaksa mengikuti permintaan polisi pada pukul 20.45. Ia dibawa ke Polresta Malang. Sekitar pukul 23.00, polisi menggeledah kediaman nenek AFF di Tumpang (tempat AFF tinggal selama kuliah di Malang) untuk mencari barang-barang diduga terkait gerakan Anarko,” kata Jauhar.
AFF adalah aktivis pers mahasiswa di Universitas Negeri Malang, yang juga aktif sebagai Komite Aksi Kamisan (menyuarakan hak asasi manusia) dengan melakukan aksi diam di depan Balai Kota Malang setiap Kamis sore.
”Kedua pemuda lain, yaitu MAA dan SRA, ditangkap di rumahnya pada 20 April 2020. MAA dibawa polisi dari rumahnya sekitar pukul 04.00. Sementara SRA dijemput di rumahnya di Singosari pada pukul 05.00 oleh lima personel kepolisian yang tidak berseragam,” kata Jauhar.
Menurut Jauhar, MAA dan SRA juga sering mengikuti agenda Aksi Kamisan Malang.
”Ketiga pemuda itu diproses secepat kilat tanpa memperhatikan langkah-langkah hukum yang ada. Hal ini sangat bertentangan dengan asas keadilan. Sebab, mereka diperlakukan bak teroris dan berbahaya, padahal mereka kooperatif dan bekerja sama dengan baik. Apalagi, tuduhan yang disangkakan sangat samar,” kata Jauhar.
Menanggapi kritik dari LBH Surabaya tersebut, Leonardus Simarmata mempersilakan bagi siapa saja yang menilai kinerja polisi tidak benar untuk mengujinya. ”Silakan kalau mau mengatakan seperti itu, wadahnya di praperadilan. Monggo diuji saja kami,” katanya.
Jauhar mengatakan, saat ini pihaknya masih mengkaji lebih lanjut soal potensi melakukan praperadilan. ”Itu masih kami kaji lebih lanjut. Namun, untuk awal kami ingin mengajukan penangguhan penahanan terlebih dahulu,” katanya.