Perempuan di Lahan Gambut Tetap Produktif di Tengah Pandemi
Para perempuan yang mengelola dan menjaga lahan gambut di Kalimantan Tengah tetap berupaya produktif di tengah pandemi. Mereka bekerja dari rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Transmigran di Desa Gandang Baru, Kabupaten Pulang Pisau sudah mengolah kopi di tanah gambut sejak mereka datang pada tahuan 1982. Kopi Liberika menjadi salah satu jenis paling banyak ditanam, meski saat ini sebagian besar diganti karet dan sawit oleh generasi penerusnya.Kondisi serba terbatas pada masa pandemi Covid-19 tak menghalangi para perempuan yang mengelola dan menjaga lahan gambut di Kalimantan Tengah untuk tetap produktif. Selain tetap bekerja menghidupi keluarga, mereka juga terlibat aktif dalam gerakan menghalau wabah.
Di Desa Gandang Barat, Kabupaten Pulang Pisau, sekelompok ibu petani kopi liberika (Coffea liberica) justru mendapat lonjakan pesanan dari kondisi biasa. Pesanan datang dari kota kecamatan dan desa-desa sekitar.
Iin Darmawati (45), salah satu ketua kelompok petani kopi liberika di desa tersebut menjelaskan, biasanya mereka hanya mengirim produk kopi keluar Kabupaten Pulang Pisau. Namun, di tengah pandemi ini, banyak kafe dan warung kopi di Kota Palangkaraya tutup sehingga pesanan berkurang. Pesanan justru meningkat dari desa-desa tetangga dan kota kecamatan sekitar.
Biasanya, mereka hanya memproduksi 15 bungkus dengan ukuran satu bungkus sebanyak 60 gram kopi. Namun, kali ini mereka mampu memproduksi 20 sampai 25 bungkus kopi liberika dengan label Kopi Sahep Gambut. Harganya Rp 6.000 per bungkus.
Pesanan kopi justru meningkat dari desa-desa tetangga dan kota kecamatan sekitar.
Sebelumnya, mereka didampingi oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) RI dan lembaga Kemitraan dalam pengembangan pengolahan lahan gambut tanpa bakar. Di desa itu, setidaknya terdapat 100 pohon kopi di lahan seluas sekitar 2,5 hektar.
Kurnia, fasilitator Desa Gandang Barat dari Kemitraan menjelaskan, pada situasi pandemi ini, terdapat pengurangan jam kerja dan jumlah pekerja di rumah produksi mereka. Biasanya dalam sehari, satu kelompok yang berisi lima sampai enam orang bekerja di rumah produksi, tetapi kini kini hanya dua orang. Sisanya, beberapa proses produksi sebisa mungkin dikerjakan di rumah.
”Protokol kesehatan dari pemerintah tetap dijalankan, tetapi masih produktif. Sebelum pandemi mereka memproduksi 10 kilogram per hari, sekarang pun hanya kurang sedikit saja,” kata Kurnia.
Tak hanya di Desa Gandang Barat, para perempuan di Kelurahan Bahaur Basantan pun juga tetap produktif. Mereka saat ini tetap memproduksi minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO).
Agus Triawan, supervisor lapangan dari kemitraan, menjelaskan, di kelurahan tersebut proses pembuatan VCO tak lepas dari peran perempuan. Sebelumnya, mereka bekerja di rumah produksi yang dibangun BRG di kelurahan itu, kini karena situasi wabah Covid-19 mereka tetap bekerja di rumah masing-masing.
”Ibu-ibu diupah harian untuk mengupas kelapa, sekarang ini ada sekitar tiga hingga enam ibu-ibu yang masih bekerja,” kata Agus.
Mereka juga terkendala pada distribusi karena banyak mobil travel yang bekerja sama dengan mereka berhenti beroperasi karena sedikitnya penumpang.
Agus menjelaskan, meskipun pesanan banyak, tantangan kali ini bagi mereka, yakni untuk mendapatkan botol kemasan. Selain itu, mereka juga terkendala pada distribusi karena banyak mobil travel yang bekerja sama dengan mereka berhenti beroperasi karena sedikitnya penumpang.
”Sebelum pandemi, ibu-ibu dan semua orang yang bekerja di rumah produksi sudah dilengkapi dengan APD (alat pelindung diri) karena ini kan jenis makanan dan minuman jadi kebersihan jadi nomor satu, selain kesehatan,” kata Agus.
Dari data BRG, persebaran Desa Peduli Gambut (DPG) pada 2020 mencapai 58 desa, 22 kecamatan, di enam kabupaten di Kalimantan Tengah. Selain itu, terdapat 27 kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang diprakarsai oleh perempuan dengan jumlah anggota mencapai 373 orang perempuan di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau dampingan BRG dan Kemitraan.
Mereka masuk dalam program restorasi gambut khususnya di bidang revitalisasi ekonomi. Mereka memanfaatkan lahan gambut untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi dengan pengelolan gambut tanpa membakar.
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Safitri mengungkapkan, para perempuan di sekitar kawasan lahan gambut terlibat dan menjadi kader kunci dalam sekolah lapang yang diselenggarakan BRG di sejumlah daerah dampingan. Kebun contoh pada sekolah lapang tersebut kemudian menyediakan sumber pangan sehat dan imunitas bagi masyarakat di tengah krisis ekologi dan kesehatan saat ini.
”Perempuan dan ekonomi kreatif juga tidak bisa dipisahkan, produk kerajinan berbasis anyaman purun, kain tradisional dengan pewarna alami, menjadi arena partisipasi perempuan di desa gambut,” kata Myrna.
Myrna menjelaskan, di tengah pandemi ini perempuan juga terlibat aktif dalam siaga Covid-19. Mereka jadi penggerak pola hidup bersih dan sehat, bahkan di beberapa desa perempuan ikut ambil bagian dalam membuat masker dan jamu.
”Kebijakan kerangka pengaman sosial BRG memastikan pelaksanaan restorasi gambut tidak menyimpang dari tujuan awalnya dan memperhatikan tata kelola program yang baik, dampak pada hak, akses dan kehidupan masyarakat terutama kelompok yang rentan, seperti perempuan, anak, dan kelompok miskin,” ujar Myrna.