Jejaring Jahitin Terus Memotong dan Menjahit untuk Hadapi Korona
Jahitin.com, usaha rintisan di Sidoarjo, Jawa Timur, mendorong produksi massal masker kain yang layak untuk pencegahan pandemi virus korona dengan mengoptimalkan jejaring penjahit dan sukarelawan se-Indonesia.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
Pada awal Maret, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama warga positif terjangkit virus korona galur baru. Masker medis amat langka dan harga terlalu mahal. Inisiatif pun bermunculan dari warga.
Kondisi ini membuat gelisah Asri Wijayanti (24), pendiri Jahitin.com, usaha rintisan penghubung penjahit rumahan dengan pelanggan jasa pembuatan busana. Alumni Universitas Brawijaya, Malang, ini mengetahui, negara-negara lain memproduksi atau memodifikasi masker kain untuk kebutuhan tim medis dan warga selama penanganan pandemi. Di Indonesia berarti bisa diterapkan untuk melindungi lebih banyak orang dari penularan virus korona.
Asri mencari dan membaca literatur tentang sejauh mana masker kain dapat menghambat penularan. Ternyata bisa diandalkan meski dalam kondisi darurat karena masker medis nyaris tiada.
Di sisi lain, modal sosial bangsa Indonesia adalah mau kerja sama ketika menghadapi ”musuh bersama”, yakni virus korona. Untuk itu, Jahitin membuka penggalangan dana di Kitabisa.com untuk pembuatan masker kain. Selain itu, mendorong gerakan #sayaambilperan #100jutamaskerchallenge melalui media sosial untuk mengoptimalkan jejaring penjahit sekaligus membuka kemitraan dengan sukarelawan.
”Jahitin meriset bagaimana membuat masker kain yang layak, mencoba membuatnya sampai bagus, dan menetapkan pola sekaligus tata cara membuatnya,” kata Asri ditemui di kediamannya di Sidoarjo, Rabu (15/4/2020). Mereka kemudian mencoba pembuatan masker itu ke sejumlah penjahit untuk memastikan bahwa produk bisa dikerjakan banyak orang. Ternyata para penjahit mampu mengerjakan masker kain sesuai pola yang ditetapkan Jahitin.
Selanjutnya, Jahitin mendorong kembali gerakan #sayaambilperan #100jutamaskerchallenge untuk menjaring sukarelawan. Dari hampir 500 sukarelawan yang sudah tergabung sampai saat ini, menurut Asri, terdiri atas tiga kelompok. Pertama, sukarelawan jahit atau bersedia menjahitkan masker kain dengan model dari Jahitin. Kedua, donor kain untuk kemudian dibuatkan produknya oleh Jahitin. Ketiga, donor dana untuk pembelian kain dan membayar upah jahit masker kain.
Jahitin juga menjual masker kain secara dalam jaringan, luar jaringan, dan pemesanan. Pembeli membayar Rp 50.000 untuk lima masker kain, tetapi hanya mendapat tiga buah. Yang dua masker akan disumbangkan untuk tim medis atau kelompok masyarakat yang memerlukan. ”Buy one help one atau beli satu beri satu bagi yang membutuhkan,” kata Asri.
Disambut
Dormis, penjahit asal Kodaka, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, yang dihubungi dari Surabaya, mengatakan, dirinya bersama beberapa penjahit setempat pernah mendapat pelatihan dari Jahitin serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada September 2019. ”Ibu Asri meminta kami membuatkan masker seperti pola yang dikirim olehnya dan ternyata kami bisa,” katanya.
Menurut Dormis, masker kain itu awalnya dibuat dari sisa kain katun. Hasilnya ada yang dipakai sendiri, dibagikan ke tetangga, dan ada yang diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Sumba Barat sebagai contoh. ”Masker dari pola Ibu Asri lebih sulit dibuat, tetapi bagus sekali dan disukai. Kami selalu siap jika diminta membuatkan sesuai pola dari Jahitin atau permintaan pemberi kain. Dalam sehari saya bisa membuat 50-80 masker kain bersama anak saya,” ujarnya.
Apakah diberi upah? ”Iya kami diberi upah oleh pemerintah atau pemberi kain. Untuk masker kain dengan pola dari Jahitin karena lebih sulit dibuat, harganya juga lebih tinggi, tetapi bagus sekali,” kata Dormis.
Dihubungi terpisah, Stefani dari Palembang, Sumatera Selatan, mengatakan, perusahaannya ingin membantu penanganan pandemi dengan kalangan penjahit rumahan untuk produksi masker kain. ”Saya dapat polanya dari Jahitin dan kami perbanyak untuk dibuat oleh mitra penjahit. Produknya kami bagikan untuk masyarakat dan kelompok yang membutuhkan,” katanya.
Di Palembang, menurut Stefani, ada 13 penjahit yang difasilitasi untuk membuat masker kain dengan pola dari Jahitin. Seorang penjahit dapat membuat sampai 100 masker kain dalam sehari. Penjahit mendapat upah, sedangkan bahan disuplai oleh donor. Produk biasanya diserahkan kembali ke donor untuk kemudian didistribusikan sesuai dengan kepentingannya.
Kolaborasi
Jahitin mencatat ada hampir 500 sukarelawan gerakan #sayaambilperan dari 95 kabupaten/kota di Indonesia. Jahitin sedang dalam proses mengirim paket pembuatan masker kain. Paket berisi benang, jarum, kain katun, pola, dan masker kain yang sudah jadi. Dengan demikian, nantinya masker kain ini bisa diproduksi sebanyak mungkin di daerah masing-masing untuk masyarakat atau tim medis selama penanganan pandemi virus korona.
”Kami berhasil menjalin kerja sama dengan perusahaan ekspedisi barang yang bersedia menggratiskan pengiriman paket ini ke relawan dan mitra di Jawa dan Bali. Untuk pengiriman ke luar Jawa, karena perusahaan itu belum ada jaringannya, kami bermitra dengan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki daerah pendampingan di sana,” kata Asri.
Selain masker kain, Jahitin juga membuat hazmat atau busana pelindung diri dari bahan spunbond. Pemerintah Kota Surabaya meminta pengerjaan 28 hazmat. Kalangan alumnus Universitas Indonesia telah mengirim spunbond dengan harapan bisa diproduksi 2.000 hazmat. ”Nyalakan Cahaya (gerakan sosial) juga meminta kami buatkan hazmat 3.000 buah dan sedang kami kerjakan,” ujar Asri.
Jahitin saat ini sedang membuat pola hazmat, contoh produk, dan tata caranya. Paket ini kemudian akan dibagikan kepada jejaring penjahit dan sukarelawan Jahitin.
Harapannya, seperti masker kain, hazmat dapat dibuat di masing-masing daerah. Dengan begitu, daerah dapat memenuhi kebutuhan masker kain dan hazmat tanpa harus selalu menunggu ketersediaannya di Jawa.