Harapan Baru Penegakan Hukum Kebakaran
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi mengabulkan gugatan perdata negara atas PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi menjadi sejarah baru.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi mengabulkan gugatan perdata negara atas PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi menjadi sejarah baru. Untuk pertama kalinya di Jambi hukuman diberikan maksimal menggunakan seluruh komponen biaya kerugian.
Putusan tersebut akan lebih memperkuat efek jera. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, dengan tuntutan senilai Rp 590,5 miliar. Gugatan terkait dengan kebakaran tahun 2015 yang menghanguskan 1.500 hektar areal budidaya perusahaan.
Perjalanan kasus itu tak mulus. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) awalnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tetapi ditolak. Hakim menyatakan, gugatan tak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) terkait kompetensi relatif bahwa kedudukan hukum perusahaan yang digugat bukan di Jakarta.
Baca juga : Jambi Perpanjang Status Siaga Darurat Karhutla
Tak putus sampai di situ, KLHK kembali mengajukan gugatan lewat jaksa penuntut umum Kejaksaan Tinggi Jambi, Agustus 2019. Setelah hampir satu tahun berproses, gugatan tersebut akhirnya membuahkan hasil.
Ini menjadi sejarah baru sebab untuk pertama kali perusahaan digugat dengan menggunakan seluruh komponen kerugian.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi mengabulkan seluruh isi tuntutan dalam gugatan. Putusan tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim Viktor Togi Rumahorbo didampingi hakim anggota Partono dan Srituti Wulandari, Senin (13/4/2020). Dalam putusannya, hakim menyatakan perusahaan bertanggung jawab mutlak (strict liability) atas kerugian lingkungan yang timbul sebagai akibat kebakaran di lahan kebunnya.
PT ATGA selaku tergugat kemudian dihukum membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp 160,09 miliar. Perusahaan juga harus membayar seluruh komponen biaya pemulihan lingkungan kepada negara senilai Rp 340,4 miliar. Dengan demikian, total yang harus dibayarkan Rp 590,5 miliar. Putusan itu menuai apresiasi banyak pihak.
”Ini menjadi sejarah baru sebab untuk pertama kali perusahaan digugat dengan menggunakan seluruh komponen kerugian. Lebih istimewanya, majelis hakim mengabulkan,” ujar Bambang Hero Saharjo, saksi ahli KLHK dan juga pakar kebakaran hutan dan lahan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Kamis (16/4).
Menurut Bambang, perhitungan kerugian pada gugatan-gugatan terdahulu belum maksimal. Biasanya hanya memakai sebagian komponen, seperti kerusakan ekologis, kerugian ekonomis, pemulihan, dan pengaktifan fungsi ekologis.
Namun, sejak 2019, seluruh komponen dimasukkan dalam gugatan. Selain komponen itu, ditambahkan pula komponen biaya verifikasi, biaya revegetasi, biaya pengawasan pemulihan, dan biaya memperbaiki sistem hidrologis yang rusak. Seluruh komponen kerugian tersebut sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Baca juga: PT ATGA Divonis Bayar Kerugian Karhutla Rp 590 Miliar
”Baru sejak tahun lalu seluruh komponen ini dimasukkan lengkap dalam gugatan,” katanya.
Dalam perkara PT ATGA, tuntutan ganti kerugian materiil mencakup kerugian ekologis bernilai Rp 112,17 miliar dan kerugian ekonomis bernilai 47,9 miliar. Adapun tuntutan membayar komponen pemulihan mencakup biaya pemulihan senilai Rp 366 miliar, biaya untuk mengaktifkan fungsi ekologis yang hilang Rp 13,46 miliar, dan biaya pembangunan atau perbaikan sistem hidrologi di lahan gambut Rp 18 miliar. Ada lagi biaya verifikasi sengketa lingkungan hidup Rp 86 juta dan pengawasan pelaksanaan pemulihan sebesar Rp 2,9 miliar. Majelis hakim mengabulkan seluruh komponen biaya tersebut.
Juru bicara PT ATGA, Andi Suwandi, menyebut kebakaran pada 2015 tak berasal dari areal kebun perusahaan, tetapi ada lompatan dari api dari hutan lindung gambut di sebelahnya. Namun, menanggapi putusan hakim, ia menyatakan masih perlu mempelajarinya.
Wujud keadilan
Putusan majelis hakim dinilai Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani sebagai wujud keadilan bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Putusan juga menunjukkan penerapan prinsip in dubio pro natura, di mana hakim mendahulukan keberlangsungan lingkungan hidup dan perlindungan masyarakat dalam mengambil keputusan. Ada pula prinsip kehati-hatian dalam mengadili perkara menggunakan pasal pertanggungjawaban mutlak.
”Putusan ini menjadi penting karena karhutla merupakan kejahatan luar biasa,” katanya.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK Jasmin Ragil Utomo telah mengajukan gugatan kepada 17 perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan. Sembilan di antaranya telah berkekuatan hukum tetap. Total nilai gugatan mencapai Rp 1,15 triliun.
Selain itu, ada 77 perusahaan yang dikenai sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, 16 perusahaan dibekukan izinnya, dan 3 lainnya dicabut izinnya.
Putusan ini menjadi penting karena karhutla merupakan kejahatan luar biasa
Kebakaran lahan dan hutan tahun 2015 menimbulkan kabut asap pekat yang menutup sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan hampir 5 bulan lamanya. Tahun itu merupakan masa-masa paling kelam bagi masyarakat.
Besarnya dampak karhutla dicatat dalam laporan kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 yang dikeluarkan Asia Foundation dan Perkumpulan Skala. Laporan berjudul ”Di Balik Tragedi Asap” menyebut asap memapar sekitar 60 juta orang.
Jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mencapai lebih dari 600.000 orang. Korban nyawa mencapai 24 orang saat terjebak di lokasi kebakaran dan warga yang mengidap ISPA.
Selain penderita ISPA yang terdata 10.133 kasus, Kementerian Kesehatan menyatakan, jumlah penderita pneumonia 311 kasus, asma (415), iritasi mata (689), dan iritasi kulit (1.850).
Persoalan kebakaran hutan dan lahan juga membebani keuangan negara. Sesuai data Bank Dunia, dana yang harus digelontorkan untuk membiayai pelayanan kesehatan selama kabut asap terjadi mencapai Rp 2,1 triliun.
Dari laporan itu pula terungkap bahwa masyarakat ingin meninggalkan daerah yang terdampak kabut asap. Namun, hanya warga yang secara ekonomi mampu mengevakuasi keluarganya keluar dari wilayah yang terpapar kabut asap kebakaran hutan dan lahan.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Rudi Syaf menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan menjadi semacam penyakit kronis yang sulit diobati.
Sistem peradilan selama ini belum efektif menjerat pelaku kejahatan pembakaran hutan dengan hukuman maksimal, atau bahkan memasukkan unsur kerugian lingkungan ke dalamnya. Bahkan, tak banyak pula yang menyentuh langsung korporasi, apalagi sampai menjatuhkan sanksi denda.
Tantangan Indonesia ke depan adalah memastikan seluruh putusan hukum benar-benar dijalankan. Sudah sepatutnya kita lebih serius mencegah kebakaran hutan dan lahan. Demi kelestarian lingkungan dan kesinambungan kehidupan umat manusia.