Serapan Minim dan Kualitas Rendah Picu Harga Jagung di Lampung Anjlok
Harga jual jagung petani Lampung merosot. Serapan pabrik yang minim serta rendahnya kualitas hasil panen dinilai sebagai penyebab. Petani khawatir harga jagung akan semakin anjlok saat panen raya.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Meski belum memasuki masa panen raya, harga jual jagung petani di Lampung sudah merosot. Saat ini harga jagung berkisar Rp 1.800-Rp 2.500 per kilogram, jauh di bawah kondisi saat panen akhir 2019 yang mencapai Rp 4.000 per kilogram. Selain serapan industri yang minim, kondisi ini juga dipengaruhi rendahnya kualitas hasil panen.
Di sentra produksi jagung Kabupaten Lampung Selatan, Kamis (16/4/2020), harga jagung di tingkat petani berkisar Rp 2.300-Rp 2.500 per kilogram (kg). Sementara di Lampung Timur, harga jagung lebih rendah lagi, yakni Rp 1.800-Rp 2.100 per kg.
Tanaman diserang hama ulat sehingga isi bonggol jagung tidak merata dan ukuran jagung yang dihasilkan lebih kecil. Kadar air juga tinggi karena sering hujan. (Restu-petani jagung)
Restu (30), petani jagung di Desa Kalisari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, menuturkan, harga jagung saat ini lebih rendah dibandingkan musim panen sebelumnya pada Desember 2019. Saat itu, harga jagung lebih dari Rp 4.000 per kilogram.
Menurut dia, selain minimnya industri yang menyerap jagung di daerah tersebut, rendahnya harga itu dipengaruhi kualitas tanaman. ”Tanaman diserang hama ulat sehingga isi bonggol jagung tidak merata dan ukuran jagung yang dihasilkan lebih kecil. Kadar air juga tinggi karena sering hujan,” kata Restu di sela-sela kesibukannya membersihkan kebun jagung yang baru dipanen dua hari lalu.
Menurut dia, cuaca yang tidak menentu juga membuat petani kesulitan mengeringkan jagung hingga kadar airnya 15 persen. Petani tidak punya solusi karena mereka tidak mempunyai oven pengering. Kondisi itu membuat petani terpaksa menjual jagung dengan harga rendah.
Selain itu, petani juga harus menunggu 2-3 hari agar jagungnya terserap pabrik. Pasokan jagung yang melimpah tak sebanding dengan kapasitas produksi pabrik. Apalagi, sejumlah pabrik yang menyerap jagung petani mulai membatasi jam operasi selama pandemi Covid-19.
Pasokan jagung yang melimpah tak sebanding dengan kapasitas produksi pabrik. Apalagi, sejumlah pabrik yang menyerap jagung petani mulai membatasi jam operasi selama pandemi Covid-19.
Kondisi ini membuat petani yang belum panen khawatir harga jagung akan semakin anjlok. ”Saya sudah keluar modal Rp 3 juta, belum tahu apakah bisa balik modal karena harga jagung sedang jelek,” kata Sawab (67), petani di Desa Bumisari, Natar, Lampung Selatan.
Iskandar selaku Ketua Gabungan Kelompok Tani Tuoh Pemuko, Kecamatan Jabung, Lampung Timur, menuturkan, harga jagung yang rendah membuat nasib petani semakin terpuruk di tengah pandemi Covid-19. Rendahnya harga itu membuat keuntungan yang diperoleh petani tipis, hanya berkisar Rp 500.000-Rp 800.000 per musim. Bahkan, petani bisa merugi jika harga semakin anjlok.
Kondisi ini, kata Iskandar, dapat membuat sejumlah petani yang kekurangan modal beralih ke tanaman singkong. Pasalnya, modal tanam singkong jauh lebih rendah, hanya sekitar Rp 3 juta per hektar, sedangkan jagung bisa mencapai Rp 6 juta per hektar.
Sementara itu, petani padi sejumlah sentra pertanian di Lampung juga mulai memasuki masa panen rendeng. Saat ini, harga jual gabah kering panen di tingkat petani berkisar Rp 4.600-Rp 5.200 per kilogram. Harga itu lebih tinggi dibandingkan harga pembelian pemerintah Rp 3.700 per kilogram.
Poniran (60), petani padi, menuturkan, tanaman padinya sempat terendam banjir saat musim hujan pada Februari 2020. Beruntung, genangan air hujan itu dapat langsung disedot dengan pompa sehingga tidak membuat petani gagal panen. Dari lahan 0,5 hektar miliknya, Poniran mendapat sekitar 3 ton gabah.