Ratusan Warga NTT di Perantauan Kesulitan Pulang Kampung
Menyusul penolakan berlayar kapal milik PT Pelni dan ASDP di Nusa Tenggara Timur, ratusan warga NTT di perantauan sulit kembali ke kampung halaman. Mereka meminta pemerintah provinsi meninjau kembali kebijakan itu.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Menyusul penolakan berlayar kapal milik PT Pelni dan ASDP di Nusa Tenggara Timur, ratusan warga NTT di luar sulit masuk daerah asal masing-masing. Mereka berharap pemerintah provinsi meninjau kembali kebijakan penutupan kapal Pelni dan ASDP tersebut. Di Sape, Nusa Tenggara Barat, puluhan warga Flores tertahan karena kapal rute Sape-Labuan Bajo tidak beroperasi.
Koordinator Aliansi Mahasiswa Makassar (Almasar) Nusa Tenggara Timur Markus Kari, dihubungi di Makassar, Kamis (16/4/2020), mengatakan sangat menyayangkan kebijakan Pemprov NTT melarang kapal Pelni dan feri beroperasi di perairan daerah itu sejak Selasa, 14 April. Kebijakan ini penting untuk mencegah penyebaran Covid-19 di NTT, tetapi di lain pihak sangat merugikan masyarakat NTT di perantauan.
Dengan demikian, mahasiswa tidak bisa kembali ke daerah asalnya.
Jumlah mahasiswa asal NTT di Makassar saat ini sekitar 1.000 orang. Ini belum termasuk mereka yang bekerja di pusat perbelanjaan, sopir angkot, tukang ojek, serta pekerja di warung makan dan restoran.
Sekitar 200 mahasiswa asal NTT di Makassar dikembalikan tiketnya oleh agen tiket Pelni di Makassar. ”Dengan demikian, mahasiswa tidak bisa kembali ke daerah asalnya,” kata Markus Kari.
Para mahasiswa itu berasal dari Alor, Kota Kupang, Lembata, Flores Timur, Sikka, Nagekeo, Ngada, dan Ende. Mereka hendak pulang kampung karena kesulitan biaya hidup di perantauan.
Ia meminta kebijakan pemerintah untuk memulangkan mereka yang sudah memiliki tiket Pelni. Dengan membiarkan mereka bertahan dalam keterbatasan di perantauan membuat warga NTT itu semakin terpuruk.
Pengembalian tiket ratusan mahasiswa itu sangat mengecewakan calon penumpang.
Para mahasiswa itu ingin berada bersama orangtua dan anggota keluarga lain, di tengah pandemi Covid-19. Kesulitan yang sedang mereka hadapi adalah biaya kos bulanan, makanan sehari-hari, biaya listrik dan air minum, obat-obatan, dan uang pulsa. Mereka sudah berdiam di dalam kos atau rumah sewaan satu bulan terakhir, setelah pemerintah mengumumkan semua kegiatan massal dibatalkan sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Solusi terbaik, mahasiswa pulang kampung asal bersama orangtua. Apalagi, penyebaran virus korona belum jelas kapan berakhir.
Ia mengatakan, jika ada di antara mahasiwa itu terinveksi Covid-19 di perantauan, atau orangtua di NTT terinveksi kasus itu, tidak sembuh, mereka tidak saling bertemu sampai selama-lamanya. Untuk itu, Pemprov NTT sebaiknya mengizinkan warga NTT pulang kampung karena NTT saat ini belum memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Ikut prosedur
Jika para mahasiswa ini pulang, mereka tetap mengikuti prosedur penanganan Covid-19, yakni karantina 14 hari. Selama masa 14 hari itu, mereka akan berstatus sebagai ODP dan harus dipantau Gugus Tugas Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 provinsi dan kabupaten/kota.
”Jika tidak, pemprov harus memiliki kebijakan lain membantu mahasiswa yang sedang kesulitan biaya hidup. Kami ini warga NTT yang sedang menempuh pendidikan di perantauan. Suatu saat, kami juga kembali membangun NTT,” kata Kari.
Sementara itu, di Sape, NTB, sekitar 40 warga Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur tertahan di Pelabuhan Sape karena semua feri dan sejenisnya yang selama ini melayani rute Labuan Bajo-Sape dilarang berlayar oleh Pemprov NTT. Mereka datang dari Bali melalui jalan darat menuju beberapa kabupaten di Flores.
Yody (34), salah satu dari para penyeberang, meminta Bupati Manggarai Barat memberi kesempatan kepada mereka yang telah menyeberang dari Denpasar menuju Sape, Bima, NTB, untuk melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo. Mereka mengaku tidak mungkin balik ke Denpasar karena di Denpasar penjagaan sangat ketat bagi warga dari luar.
”Kami minta Pemprov NTT memberi kelonggaran bagi kami yang sudah memiliki tiket di tangan untuk melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo, Flores. Kami tidak memiliki keluarga di Sape untuk menampung kami puluhan orang ini dalam kurun yang lama,” tutur Yody.
Mereka adalah pencari kerja dan mahasiswa yang selama ini berada di Denpasar Bali. Mereka memutuskan pulang kampung setelah penyebaran Covid-19 makin meluas di Bali sehingga mereka terpaksa istirahat di kamar kos dan tidak bekerja.
Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Marius Jelamu mengatakan, pemprov tidak akan membiarkan kapal Pelni masuk NTT selama masa pandemi Covid-19 ini belum usai. Alasannya, hampir sebagian penumpang kapal Pelni terinveksi Covid-19, termasuk anak buah kapal.
Juru bicara Gugus Tugas Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 ini mengatakan telah meminta pimpinan asosiasi mahasiswa dan warga NTT yang ada di Makassar mengirim jumlah mereka yang ada di sana, baik mahasiswa maupun warga NTT yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Pemprov NTT akan berkoordinasi dengan Pemprov Sulawesi Selatan mencari solusi mengatasi persoalan yang dihadapi mahasiswa dan warga NTT. ”Mengenai warga Manggarai dan Manggarai Barat yang tertahan di Dermaga Sape, pemprov sedang berkoordinasi dengan Pemkab Manggarai Barat mengangkut mereka ke Labuan Bajo,” ujar Jelamu.