Pada 15 April 2011 atau sembilan tahun silam, pria Muslim asal Kota Cirebon, Jawa Barat, meledakkan bom bunuh diri di masjid Kepolisian Resor Cirebon Kota. Peristiwa ini mengusik toleransi di ”Kota Wali” Cirebon.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Pada 15 April 2011 atau sembilan tahun silam, pria Muslim asal Kota Cirebon, Jawa Barat, meledakkan bom bunuh diri di masjid Kepolisian Resor Cirebon Kota. Peristiwa ini mengusik toleransi di ”Kota Wali” Cirebon, sekaligus menandai tren baru terorisme di Tanah Air.
Bom meledak saat pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Adz-Dzikro, Markas Polres Cirebon Kota, pukul 12.20. Muhammad Syarif (32), pembawa bom, tewas. Sedikitnya 28 orang terluka. Serpihan logam, baut, dan paku menghunjam mereka. Pengajar IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, yang juga pegiat multikulturalisme, Marzuki Wahid, Rabu (15/4/2020), mengatakan, Syarif menandai target baru terorisme di Tanah Air, yakni aparat pemerintah, termasuk polisi.
Sebelumnya, pelaku teror mengincar musuh jauh, seperti Amerika Serikat dan sekutunya, seperti pada kasus bom Bali. Insiden itu menjadikan Cirebon darurat radikalisme. Meski Syarif telah tiada dan masjid yang diledakkan sudah direnovasi, Cirebon kini menjadi tempat persinggahan dan persemaian teroris.
”Hingga kini, sekitar 70 warga Cirebon dan sekitarnya tertangkap Densus 88 Antiteror,” kata Marzuki.
YF, warga Desa Bojong Lor, misalnya, diringkus tim Densus 88, Oktober 2019. Pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Cirebon yang bekerja sebagai tukang servis elektronik ini diduga akan melakukan pengeboman saat pelantikan Presiden Joko Widodo dan wakilnya, KH Ma’ruf Amin. Sama seperti Syarif, sasaran teror masih mengincar aparat pemerintahan.
Solahudin, peneliti Pusat Pengkajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, menilai, sebagian aksi terorisme menarget polisi demi membalas dendam. Alasannya, banyak teman pelaku teror diringkus polisi. Hal ini tidak terlepas dari paham organisasi teror Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang mengutuk para pengganti hukum Allah dan khilafah Islamiyah dengan demokrasi. Polisi dan aparat pemerintah dianggap termasuk dalam golongan ini.
Iman seseorang juga dianggap tidak sah tanpa melawan tagut, label setan kepada seseorang karena tidak menegakkan syariat. ”Kalau seseorang sudah mengikuti ajaran ini tetapi tidak mengafirkan orang kafir, ia termasuk kufur,” katanya. Berbagai praktik itu merupakan ciri radikalisme dan awal gerakan terorisme. Belakangan, jaringan yang berafiliasi kepada NIIS tumbuh subur.
Solahudin mencatat, pada 2015-2019, sebanyak 1.100 tersangka terorisme ditangkap Densus 88. Sebanyak 390 orang tertangkap pada 2018 dan sekitar 300 tersangka diringkus tahun berikutnya.
”Ini panen raya terorisme di Indonesia karena biasanya ada 60-100 penangkapan tersangka teroris per tahun,” ujarnya. Salah satu pemicunya ialah fatwa maut NIIS pada 2016. Kira-kira bunyinya seperti ini: jika pintu hijrah tertutup bukalah pintu jihad.
Hijrah yang dimaksud ialah berpindah ke Suriah untuk mendirikan pemerintahan khilafah. Namun, jika tidak bisa ke sana, pengikutnya diminta melakukan aksi teror yang dianggap jihad di Indonesia.
Modusnya pun kian sederhana agar memungkinkan pengikut NIIS melakukan teror. Jika tak bisa merakit bom, pelaku bisa memukul lawan dengan batu, menusuk menggunakan pisau, hingga meracuni. Salah satunya dalam penusukan Wiranto, Menko Polhukam saat itu, Oktober tahun lalu.
Ini panen raya terorisme di Indonesia karena biasanya ada 60-100 penangkapan tersangka teroris per tahun.
Menurut Solahudin, pelaku teror saat ini tidak mesti seperti Syarif yang menjadi aktivitas radikal terlebih dahulu. Banyak pelaku teror yang awalnya merupakan pengusaha, pejabat, bahkan pekerja migran Indonesia. Mereka tidak punya riwayat terjun dalam gerakan radikal. Kaya atau miskin, lulusan SMA bahkan universitas ternama, turut terlibat dalam terorisme.
”Alasan mereka ikut adalah narasi akhir zaman. NIIS mengklaim, akhir zaman sudah dekat dan pengikutnya akan selamat di bawah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi. Padahal, dia sudah tewas,” katanya.
Penyebaran paham terorisme salah satunya lewat media sosial. ”Hasil studi kami terhadap 75 narapidana terorisme, waktu mereka terpapar radikalisme hingga menjadi pelaku teror kurang dari satu tahun. Pemicunya, konten kekerasan di media sosial,” ujarnya.
Ini jauh lebih instan dibandingkan dengan yang dialami pelaku teror 2002-2010 di Indonesia. Mereka membutuhkan 5-10 tahun dari awal terpapar radikalisme hingga menjadi pelaku teror. Masa indoktrinasi hanya rutin sekali sepekan melalui pertemuan langsung. Sementara saat ini, paparan radikalisme melalui konten kekerasan dan intoleransi beredar luas di medsos 24 jam tanpa henti.
Di tengah ancaman itu, narasi kontraradikalisme terus dibangun di Cirebon. Salah satunya Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang bergerak pada isu keindonesiaan, kemanusiaan, dan keadilan. Fahmina mendirikan forum pemuda lintas iman (Pelita) sejak 2011. Hampir setiap tahun, Pelita membantu persiapan Natal hingga Ramadhan.
Hasil studi kami terhadap 75 narapidana terorisme, waktu mereka terpapar radikalisme hingga menjadi pelaku teror kurang dari satu tahun. Pemicunya, konten kekerasan di media sosial.
Maret lalu, Fahmina menggelar pelatihan kepada 16 pendamping dari berbagai organisasi kepemudaan terkait pemahaman radikalisme. Setiap pendamping akan menggerakkan 10 remaja di enam desa di Cirebon. Mereka mengidentifikasi potensi radikalisme dan mengaktifkan kegiatan sosial yang mengusung keberagaman.
”Bisa acara 17 Agustusan hingga tradisi mapag sri (menyambut panen padi). Kalau ada yang anti terhadap kegiatan itu, harus dicari alasannya. Kami memilih pemuda karena mereka mudah berbaur. Kami sudah melakukan ini sejak 2018 di lima desa lainnya,” ujar Direktur Fahmina Rosidin.
Rosidin meyakini, toleransi di Cirebon telah hidup berabad-abad silam. Warga Arab, Eropa, dan China hidup damai di Cirebon. Nama Cirebon bahkan berasal dari kata sarumban yang berarti ’tempat percampuran penduduk dari sejumlah daerah’. Keberagaman ini seharusnya tidak punah karena ledakan bom.