Analisis Sensor di Australia, Dentuman Misterius Diduga dari Anak Krakatau
Suara dentuman pada Jumat malam pekan lalu masih menjadi bahan kajian penelitian. Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara melakukan analisis data sensor ”infrasound” di Australia. Diduga dentuman dari Gunung Anak Krakatau.
Oleh
Wilibrordus Megandika Wicaksono
·3 menit baca
BANJARNEGARA, KOMPAS — Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara, Jawa Tengah, menggunakan data sensor infrasound di Australia untuk menganalisis suara dentuman yang terjadi pada Sabtu (11/4/2020) dini hari. Hasilnya, suara yang terdengar di wilayah Jakarta dan sekitarnya tersebut diduga berasal dari aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK).
Kepala Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie, saat dihubungi dari Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (16/4/2020), mengatakan, pihaknya melakukan analisis seismo-acoustic dengan memanfaatkan data sensor infrasound milik CTBTO (Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty Organization) yang ada di Pulau Cocos, Australia.
”Dari hasil pengolahan data itu dapat diperoleh beberapa informasi yang cukup menarik, yakni serangkaian erupsi vulkanik telah terjadi di GAK sejak 10 april 2020,” kata Setyoajie.
Setyoajie menambahkan, catatan itu tidak cukup menjustifikasi apakah dentuman tersebut disebabkan oleh erupsi GAK. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis terhadap sampel rekaman video dari warganet untuk memperoleh waktu kejadian terdengarnya dentuman.
”Cukup banyak laporan waktu kejadian dentuman dari masyarakat. Namun, secara umum, berkisar Sabtu (11/4) pukul 00.00-02.00 pagi. Perbedaan catatan waktu ini bisa jadi disebabkan oleh perbedaan jarak antara sumber dentuman dengan posisi pengamat serta dinamika atmosfer setempat,” paparnya.
Menurut Setyoajie, kecepatan rambat gelombang suara di atmosfer berkisar 340 meter/detik sehingga suara membutuhkan waktu untuk mencapai lokasi yang jauh. ”Beberapa daerah yang cukup jauh jaraknya dari GAK justru mendengar suara dentuman itu dengan jelas,” katanya.
Hal ini, tambah dia, bisa jadi disebabkan level background noise (kebisingan) yang menurun secara drastis. Ini terkait pembatasan aktivitas manusia sebagai dampak Covid-19. Tahapan selanjutnya, kata Setyoajie, adalah mencari korelasi antara suara dentuman tersebut dengan erupsi GAK. Untuk itu, dilakukan analisis tambahan pada data infrasound dengan menerapkan filter frekuensi.
”Tujuan penerapan filter frekuensi ini adalah agar fokus pada range (jangkauan) frekuensi rendah, termasuk juga meminimalkan background noise yang kadang menyebabkan sinyal tersaturasi, seperti microbaroms. Microbaroms adalah gelombang frekuensi rendah yang dihasilkan akibat interaksi gelombang permukaan samudra dengan lapisan atmosfer,” katanya.
Setyoajie menyebutkan, dari hasil analisis ini, BMKG Banjarnegara meyakini bahwa suara dentuman yang terdengar warganet disebabkan oleh aktivitas vulkanik GAK. ”Ini mengingat dentuman tersebut masih masuk dalam range waktu kejadian erupsi GAK itu,” katanya.
Sebelumnya, seperti diberitakan Kompas.id (11/4/2020), letusan Gunung Anak Krakatau yang terjadi Jumat (10/4/2020) malam disinyalir tidak berkaitan dengan dentuman yang terdengar di Jakarta dan sekitarnya hingga Sabtu dini hari. Kala itu, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar menyatakan, pihaknya belum bisa mengorelasikan antara Gunung Anak Krakatau dan suara dentuman yang terjadi di Jakarta.
Meski terjadi erupsi hingga dini hari, Rudy menyatakan, aktivitas Anak Krakatau tidak menimbulkan dentuman keras yang terdengar hingga ratusan kilometer. Dia berujar, suara yang terdengar dini hari di kawasan Jabodetabek, seperti yang dibicarakan warganet, bukan berasal dari gunung tersebut. Pasalnya, jarak antara Anak Krakatau ke Jabodetabek lebih dari 100 kilometer. Di Pos Pemantauan Pasauran, Banten, juga tidak terdengar dentuman.
Jadi, kami memastikan suara dentuman tersebut tidak bersumber dari aktivitas gempa tektonik.
Hal senada dikemukakan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono. Saat itu, dia menyatakan, dentuman tersebut tidak berkaitan dengan aktivitas bumi di sekitar wilayah tersebut. Meskipun terjadi gempa di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB, magnitudo yang tercatat hanya sebesar M 2,4 sehingga tidak berdampak pada warga.
Rahmat berujar, hasil pemantauan BMKG juga tidak menunjukkan adanya aktivitas gempa tektonik dengan kekuatan signifikan di daerah Jabar, DKI Jakarta, dan Banten hingga Sabtu pukul 06.00 WIB.
”Gempa di Selat Sunda juga tidak memiliki kekuatan signifikan. Jadi, kami memastikan suara dentuman tersebut tidak bersumber dari aktivitas gempa tektonik,” ujarnya.