Pengaruh Iklim terhadap Covid-19
Faktor cuaca dan iklim masih kecil kemungkinan menjadi penyebab utama berhentinya wabah Covid-19 di waktu-waktu mendatang. Namun, pengaruh cuaca dan iklim juga tidak bisa diabaikan.

Warga berolahraga dan berjemur di perkampungan padat di bantaran Kali Ciliwung, Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, Minggu (5/4/2020). Di tengah ancaman pandemi Covid-19, warga yang tinggal di kampung padat berusaha tetap bugar dengan berolahraga dan berjemur di pagi hari. Meski demikian, upaya menjaga jarak sosial agak sulit dilakukan karena kepadatan lingkungan tempat tinggal.
Warga yang hidup di tempat beriklim hangat diasumsikan lebih lambat terinfeksi virus korona tipe baru. Namun, tanpa diimbangi dengan pencegahan perluasan wabah, seperti pembatasan sosial, tes massal, dan kapabilitas rumah sakit, pandemi Covid-19 tetap mengancam.
Dari sejumlah penelitian, human coronaviruses biasanya menyebabkan gejala demam saat kondisi dingin, yaitu bulan Desember hingga April. Sementara saat suhu menghangat pada musim panas, masa hidup virus berkurang dan mulai menunjukkan gejala melemah.
Mempertimbangkan kondisi alam, maka penyebaran virus korona baru cenderung melemah saat memasuki musim kemarau, April-Agustus 2020. Hal ini karena suhu udara terbuka dan kelembaban meninggi. Pengurangan awan memengaruhi cuaca, di saat suhu maksimum bisa mencapai 36 derajat celsius, dengan kelembaban tetap tinggi sepanjang tahun.
Dari sejumlah penelitian, human coronaviruses biasanya menyebabkan gejala demam saat kondisi dingin.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau di wilayah Nusantara akan dimulai April 2020. Kondisi kering sepenuhnya dominan di seluruh Indonesia pada Juni hingga Agustus 2020.
Baca juga : Tantangan Maskapai Dunia Hadapi Pandemi Covid-19
Kondisi iklim Indonesia cenderung menguntungkan di tengah pandemi Covid-19. Kondisi suhu harian pada umumnya yang berkisar 23-29 derajat celsius, dengan kelembaban relatif 75-87 persen, kurang mendukung virus korona bertahan lama di udara terbuka.
Namun, situasi terkini di Indonesia cenderung kurang sesuai dengan asumsi tersebut. Setidaknya, hingga 9 April 2020, tercatat 2.956 jiwa positif terinfeksi dan 240 jiwa meninggal akibat Covid-19 di Indonesia.
Baca juga : Ekonomi Pariwisata Sesudah Wabah Virus Korona

Berdasarkan data Ourworldindata per 4 April 2020, penambahan dua kali lipat jumlah kematian terjadi dalam durasi tujuh hari di Indonesia. Sementara rasio kematian menempati posisi teratas di Asia Tenggara (9,13 persen).
Fenomena tersebut menggambarkan cuaca dan iklim hanya memberikan faktor pendukung, bukan faktor penentu jumlah kasus infeksi. Sementara itu, dinamika sosial masyarakat terlihat lebih berperan dalam hal perluasan wilayah yang terkena wabah. Faktor-faktor lain seperti pembatasan perjalanan, jarak sosial dan fisik, tes massal, dan ketersediaan rumah sakit, turut menentukan seberapa besar mortalitas wabah ini mampu dibendung di Indonesia.
Selain itu, ada faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terinfeksinya seseorang. Salah satu penyebab utama kerentanan infeksi adalah kualitas sistem kekebalan tubuh tiap individu. Setidaknya ada dua golongan yang rentan, yaitu orang dengan penyakit bawaan dan kelompok lanjut usia.
Baca juga : Simpati untuk Garda Terdepan
Pola musim
Sebuah studi tentang empat jenis virus korona oleh Centre for Infectious Disease dari University of Edinburgh, yaitu HCoV-229E, HCoV-HKU1, HCoV-NL63, dan HCoV-OC43, mengungkap pola musiman yang cenderung sama dengan virus influenza.
Tiga jenis virus korona (HCoV-HKU1, HCoV-NL63, dan HCoV-OC43) menyebabkan infeksi pada periode Desember hingga April saat musim dingin dan melemah saat musim panas. Sementara HCoV-229E lebih sporadis.
Baca juga : Ketika Semua Harus Dilakukan di Rumah

Pedagang tetap membuka lapak jualannya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada hari pertama diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus korona baru, Jumat (10/4/2020). Pandemi Covid-19 ini menyebabkan omset pedagang pasar turun.
Pola penyebaran virus SARS juga mirip. Lingkungan yang mendukung infeksi berada di suhu dan kelembaban rendah. Suhu ideal yang dibutuhkan adalah 22-25 derajat celsius dengan kelembaban relatif sebesar 40-50 persen.
Demikian pula virus MERS Coronavirus, yang menginfeksi area Timur Tengah pada 2012, memiliki kestabilan masa hidup dalam suhu sekitar 20 derajat celsius, dan kelembaban 40 persen. Tiga negara pusat endemik adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Jordania.
Wabah Covid-19 hingga kini menunjukkan preferensi untuk kondisi dingin dan kering, setidaknya terwakili dari pusat-pusat pandemi di seluruh dunia. Meski demikian, perlu dicatat bahwa virus juga menginfeksi warga yang tinggal di wilayah yang lembab dan panas.
Baca juga : Jiwa Raga Sehat, Covid-19 Lenyap
Tiga studi ilmiah tentang Covid-19 yang mengambil kasus di seluruh dunia turut menunjukkan kecenderungan penyebaran di dunia. Studi pertama tentang ”Role of meteorological conditions in Covid-19 transmission on a worldwide scale” (2020) menunjukkan hubungan antara virus dengan suhu, kecepatan angin, dan kelembaban relatif.
Studi kedua, ”Preliminary evidence that higher temperatures are associated with lower incidence of COVID-19, for cases reported globally up to 29th February 2020” (2020), menjelaskan bahwa suhu panas terkait dengan rendahnya angka insiden virus korona.

Seorang wanita berjalan melintasi pesan-pesan ucapan terima kasih yang terdapat di luar Rumah Sakit Mount Sinai, Manhattan, New York, Amerika Serikat, Selasa (7/4/2020). Ucapan dari warga itu ditujukan kepada pekerja rumah sakit yang telah berjuang di garis depan dalam menghadapi Covid-19.
Studi ketiga, ”Spread of SARS-CoV-2 Coronavirus likely to be constrained by climate (2020), menunjukkan area yang bersuhu sedang dan beriklim dingin paling rentan terinfeksi, diikuti wilayah kering. Sementara wilayah tropis cenderung rendah terinfeksi.
Di luar ketiga studi di atas, ada pula penelitian para ilmuwan di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Penelitian itu menyimpulkan, mayoritas penularan virus korona terjadi di daerah dengan suhu rendah, antara 3 dan 17 derajat celsius.
Penelitian lain yang dilakukan di 430 kota dan distrik di seluruh China, 21 kota di Italia, serta 51 kota lain di seluruh dunia mengungkap habitat ideal virus korona, yaitu berada di posisi lintang tinggi (30-50) derajat Lintang Utara), dengan temperatur antara 8-10 derajat celsius dan kelembaban relatif 60-90 persen.
Semua studi saat ini masih bersifat pemodelan komputer yang digunakan untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi di tahun-tahun mendatang. Apabila dalam perkembangannya wabah Covid-19 menunjukkan pola musiman, maka statusnya dapat turun dari pandemik ke endemik.

Pola wilayah
Setiap jenis virus memiliki periode wabah dengan dukungan pengaruh interaksi antara agen penyakit, inang, dan lingkungan. Oleh karena itu, pengamatan periode wabah dan proses infeksi virus selalu melibatkan ketiga aspek tersebut.
Faktor lingkungan menggambarkan faktor eksternal yang mendukung perkembangan virus dan bakteri, seperti cuaca dan iklim. Setidaknya ada dua parameter utama iklim yang berpengaruh pada masa hidup organisme, termasuk virus, yaitu temperatur dan kelembaban.
Demikian pula dengan upaya memahami karakter virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19. Karena pandemi baru berlangsung empat bulan, pengamatan terkait kondisi cuaca dan iklim masih membutuhkan waktu yang lebih lama hingga terlihat pola yang jelas.
Saat ini, pendekatan yang digunakan para ahli menggunakan data kasus kumulatif harian dan kematian yang tersebar di seluruh dunia. Berdasarkan pengamatan dasbor infeksi seluruh dunia oleh Johns Hopkins University, terlihat bahwa titik-titik sentral penyebaran memusat di negara-negara beriklim subtropis meski hampir semua negara di dunia sudah melaporkan kasus infeksi.
Hingga 4 April 2020, WHO mencatat total kasus infeksi mencapai 1,05 juta jiwa dengan kematian sebanyak 56.985 jiwa. Jika diklasifikasikan berdasarkan region, Eropa mencatat jumlah kasus paling tinggi sebanyak 582.379 kasus.
Urutan kedua di region Amerika dengan 278.598 kasus, diikuti Pasifik bagian barat (110.213 Kasus), Timur Tengah (65.710 Kasus), Asia Tenggara (6.528 kasus). Afrika menjadi region paling sedikit terinfeksi, dengan 4.997 kasus. Area lainnya disebut dengan wilayah teritorial, sejumlah 2.498 kasus.
Walau sebaran kasus sudah mulai menunjukkan pola tertentu, diperlukan pendekatan lebih komprehensif. Tetapi, ada beberapa petunjuk dari jenis virus korona lain yang lebih dulu menginfeksi manusia dan memiliki pola musim.

Umat kristiani beristirahat di bawah pohon setelah mengikuti perayaan Jumat Agung, di Soweto, Afrika Selatan 10 April 2020.
Karakter virus
Virus korona telah teridentifikasi sebagai patogen bagi manusia sejak era 1960-an. Hingga kini ada tujuh jenis virus korona yang menginfeksi manusia, yaitu HCoV-OC43, HCoV-KHU1, HCoV-229E, HCoV-NL63, SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2.
Virus korona memiliki lapisan minyak yang dikenal dengan lipid bilayer dengan susunan protein luar seperti duri mahkota. Lapisan minyak tersebut memiliki sensitivitas terhadap perubahan suhu.
Saat kondisi dingin, lapisan minyak mengeras seperti lemak daging saat didinginkan sehingga mampu melindungi materi RNA di dalamnya. Sebaliknya, lapisan itu akan meleleh atau melemah saat suhu meningkat. Penjelasan tersebut mampu sedikit menjelaskan keterkaitan virus korona dengan kondisi iklim.
Fakta pendukung lainnya adalah suhu rata-rata virus di permukaan benda. Suhu ideal untuk virus dapat bertahan hidup di permukaan benda adalah 21 derajat celsius.
Faktor cuaca dan iklim masih kecil kemungkinan menjadi penyebab utama berhentinya wabah Covid-19 di waktu-waktu mendatang.
Virus korona dapat bertahan di permukaan baja dan karet silikon selama 5 hari, sementara di permukaan plastik bisa mencapai 6 hari. Khusus aluminium dan lateks hanya 8 jam. Lebih dari suhu 21 derajat celsius, masa hidup virus akan berkurang setengahnya.
Pengenalan karakteristik patogen baru tersebut telah mencapai tingkat genetik dan mengidentifikasi fitur kunci dari virus korona yang terletak di bagian permukaan. Fitur kunci permukaan virus menjelaskan mengapa laju infeksi terhadap manusia sangat cepat dan menyerang organ pernapasan.
Protein di permukaan virus yang berbentuk mahkota mampu mengikat membran sel inang. Proses pengikatan membran sel dipicu rilis sejenis enzim dari sel inang yang disebut furin. Keberadaan furin banyak ditemukan di paru-paru, hati, dan usus kecil.
Faktor cuaca dan iklim masih kecil kemungkinan menjadi penyebab utama berhentinya wabah Covid-19 di waktu-waktu mendatang. Namun, pengaruh cuaca dan iklim juga tidak bisa diabaikan sebab keberadaan virus tak mungkin hilang sepenuhnya. Artinya, selama musim kemarau dan waktu-waktu mendatang, publik tetap harus waspada. (Litbang Kompas)