Penolakan pemakaman jenazah pasien terkait Covid-19 terus berulang. Kali ini semakin mengoyak rasa kemanusiaan karena menimpa seorang perawat yang berada di garda terdepan penanganan kesehatan di masa pandemi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Kepala daerah, tokoh agama, hingga ahli kedokteran berulang kali bersuara senada, pengurusan dan pemakaman jenazah terkait virus korona aman selama dilaksanakan sesuai dengan protokol. Sayang, pemberian stigma dan penolakan masih terjadi. Ironisnya, menimpa mereka yang berada di garda terdepan penanganan kesehatan.
Belum genap dua pekan penolakan pemakaman jenazah dengan indikasi Covid-19 di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, berlalu, hal serupa terjadi. Sekelompok warga menolak pemakaman jenazah di tempat pemakaman umum Sewakul, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Kamis (9/4/2020).
Sungguh miris, karena yang hendak dimakamkan ialah jenazah salah seorang perawat RSUP Dr Kariadi, Semarang. Ia meninggal di tengah perjuangannya merawat pasien positif Covid-19. Pengurusan jenazah telah sesuai dengan protokol, tetapi penolakan warga membuat ambulans akhirnya berbalik arah.
”Akhirnya dimakamkan di pemakaman keluarga RSUP Dr Kariadi, Bergota (Kota Semarang), Kamis sekitar pukul 19.00. Adanya penolakan menjadi keprihatinan dan kekecewaan kami, perawat di Indonesia,” ujar Ketua DPW Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jateng Edy Wuryanto, Jumat (10/4/2020).
Saat pandemi Covid-19, kata Edy, para perawat berjuang dengan mempertaruhkan jiwa raga demi melayani masyarakat. Bahkan, mereka rela berjuang dengan kondisi alat pelindung diri seadanya. Namun, respons yang didapat seperti di Ungaran Barat, sangat menyakitkan.
Kendati demikian, ia meminta hal itu tak menjadi alasan untuk mengendurkan pelayanan bagi masyarakat. ”Saya meminta perawat tetap memberikan pelayanan terbaik dengan ikhlas dan tanggung jawab serta moral tinggi. Sesuai dengan doktrin dan sumpah profesi perawat,” kata anggota Komisi IX DPR itu.
Para perawat di Jateng diminta mengenakan pita hitam di lengan kanan selama satu minggu ke depan hingga 16 April 2020.
Ia pun menginstruksikan para perawat di Jateng mengenakan pita hitam di lengan kanan selama satu minggu ke depan hingga 16 April 2020. Itu sebagai bentuk penghormatan tinggi atas komitmen dan dedikasi yang ditunjukkan sang pahlawan kemanusiaan.
Pemberian stigma bagi perawat dan tenaga medis telah beberapa kali terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Jateng. Ada yang tempat kosnya dihindari warga. Bahkan, beberapa anggota keluarga perawat ikut dijauhi masyarakat yang merasa takut tertular.
Wakil Bupati Semarang Ngesti Nugraha, saat memberikan keterangan pers, Jumat, menuturkan, jenazah sebenarnya hendak dimakamkan di TPU Sewakul. Namun, terjadi kesalahpahaman. Di tengah musyawarah, keluarga akhirnya memutuskan jenazah dimakamkan di Kota Semarang.
Ia berharap kejadian itu menjadi yang pertama dan terakhir. Pemkab Semarang pun kini tengah menyiapkan pemakaman tak hanya khusus terkait Covid-19, tetapi juga umum. ”Kami harapkan masyarakat ikut mendukung dan bersama-sama saling membantu,” katanya.
Ketua RT 006 Dusun Sewakul, Purbo, meminta maaf atas kejadian itu. ”Khususnya warga Ungaran dan perawat, saya meminta maaf. Itu terjadi dengan cepat. Saya sebagai RT hanya menyampaikan aspirasi dari warga saat itu,” ujarnya.
Literasi dan edukasi
Sosiolog Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fulia Aji Gustaman, mengatakan, insiden yang terus terulang ini menandakan minimnya tingkat literasi tentang Covid-19 di tengah masyarakat. Orang-orang yang paham memiliki peran penting untuk terus mengedukasi masyarakat.
Bagaimanapun, lanjut Aji, manusia merupakan makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Rasa solidaritas serta tepo seliro atau toleransiperlu dikedepankan dalam menyikapi berbagai hal yang terjadi di tengah pandemi. Juga, rasa kemanusiaan.
Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi hingga tingkat dasar dan secara sistematis hingga tingkat RT, bahkan keluarga.
Menurut dia, perawat selama ini telah berjuang dalam merawat orang sakit, termasuk terkait Covid-19. ”Maka, perlu digunakan hati dan logika dalam berpikir. Bagaimana untuk bisa saling memahami dan mengerti,” katanya.
Dalam hal ini, pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi hingga tingkat dasar serta secara sistematis hingga tingkat RT, bahkan keluarga. Dengan demikian, segala hal terkait wabah Covid-19 bisa dipahami secara utuh dari pusat hingga tingkat kecil dalam masyarakat.
Mengenai insiden-insiden penolakan ini, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo meminta warga untuk mengedepankan rasa kemanusiaan. Ia menekankan, pengurusan jenazah Covid-19 telah dilakukan dengan standar yang aman, baik dari segi agama maupun medis. Mulai dari penyucian secara syariah, dibungkus kantong plastik tak tembus air, hingga dimasukkan peti.
Ganjar berharap, kejadian di Kabupaten Semarang menjadi yang terakhir. ”Jangan ada lagi penolakan jenazah, apalagi seorang perawat yang seharusnya kita hormati atas jasanya sebagai pahlawan kemanusiaan. Dia adalah pejuang karena mengambil risiko besar,” ujarnya.
Mewakili warga Jateng, ia pun meminta maaf kepada para perawat, dokter, dan tenaga medis. Menurut dia, saat ini adalah waktunya bersama-sama berjuang melawan virus korona baru penyebab Covid-19.
Ia juga berpesan kepada pihak yang mengurus pemakaman pasien Covid-19 untuk berkomunikasi terlebih dulu dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat setempat. Sering kali kabar bohong menjadi pemecah belah masyarakat.
Dokter forensik RSUP Dr Kariadi, RP Uva Utomo, mengatakan, dalam penanganan jenazah, pihaknya mengikuti pedoman Kementerian Kesehatan. Pedoman itu dibuat melalui penelitian serta untuk keselamatan petugas, keluarga, ataupun lingkungan sekitar.
”Pemulasaraan jenazah betul-betul kami laksanakan hati-hati. Kami mengikuti syariat agama. Setelah diberi cairan klorin, lalu dimandikan dan diwudukan dengan air mengalir. Lalu, diberi klorin lagi, kemudian dilapisi bahan kedap air atau plastik, tiga lapis. Lalu, dimasukkan ke peti yang benar-benar rapat,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, syariat Islam selama ini mewajibkan umat Islam menghormati jenazah sesama manusia. Dalam konteks jenazah yang beragama Islam atau siapa pun, harus ditangani dengan penuh penghargaan (Kompas.id, 1/4/2020).
”Selama pihak rumah sakit menangani sesuai prosedur, seperti jenazah yang sudah dibungkus plastik saat pemakaman. Saat diantar ke pihak keluarga, jenazah tidak perlu lagi dibuka. Kemudian, jenazah dishalatkan, diantar ke pemakaman dengan penuh penghargaan seperti jenazah pada umumnya. Kita doakan dan semoga kita pun mendapat pahala ketika mengantar jenazah mereka,” jelas Said.
Sosialisasi dan edukasi akan pemahaman tentang bagaimana menyikapi situasi di tengah pandemi menjadi pekerjaan rumah bersama. Sikap gotong royong yang disertai nilai-nilai kemanusiaan perlu terus dikedepankan demi memerangi bersama virus ini.