Anak Muda Bandung Lawan Korona
Ancaman pandemi Covid-19 yang dipicu virus korona baru tak membuat kerja bersama anak muda di Jawa Barat sirna. Semua berperan dengan cara masing-masing agar berguna bagi sesama.
Ancaman pandemi Covid-19 yang dipicu virus korona baru tak membuat kerja bersama anak muda di Jawa Barat sirna. Semua berperan dengan cara masing-masing agar berguna bagi sesama.
Rifqi Taufiqurrohman (18) misalnya. Hatinya tak bisa menolak ketika mengetahui Provinsi Jawa Barat membuka perekrutan sukarelawan Covid-19. Jiwa mudanya tak ingin diam di rumah. Ia ingin berbagi peran meringankan beban semua kalangan di tengah pandemi.
Sejak tiga hari lalu, ia resmi menjadi runner di sukarelawan Covid-19 Jabar. Tugasnya mendata dan membantu pengecekan kesehatan peserta uji cepat Covid-19 di Bandung. ”Kebetulan sudah beberapa kali jadi relawan di berbagai acara. Namun, kali ini memang paling menantang,” kata mahasiswa perguruan tinggi swasta di Bandung ini, Jumat (3/4/2020).
Rifqi tak memungkiri awalnya ada kekhawatiran. Penularan Covid-19 tak mudah diprediksi. Namun, dibekali standar operasional keamanan dan kesehatan, ia yakin semuanya bakal baik.
Saat bertugas, misalnya, ia dibekali masker hingga sarung tangan. Selepas pendampingan, Rifqi harus mencuci semua barang yang dikenakan. Jaga jarak dengan orang di sekitarnya wajib dilakukan selama menjadi sukarelawan.
”Penting menjaga kesehatan. Daya tahan tubuh paling utama,” katanya.
Panggilan menjadi sukarelawan juga sulit ditolak Faza Iza (18), mahasiswa PTN di Bandung. Kali ini, ia ingin bermanfaat di tengah pandemi. Terlibat dalam kesukarelawanan Covid-19 Jabar adalah pengalaman pertamanya sebagai sukarelawan.
”Sebisa mungkin berguna bagi banyak orang,” ucap Faza, runner di salah satu titik uji cepat Covid-19 di Bandung. Content and Community Officer Jabar Digital Service (JDS) Aldy Febrian mengatakan, sejak dibuka 30 Maret 2020, minat masyarakat menjadi sukarelawan Covid-19 sangat tinggi.
Hingga Jumat siang, ada 1.777 pendaftar. JDS bertugas mengelola aktivitas kesukarelawanan ini, mulai dari seleksi hingga penempatan di Jabar. Menurut Febri, formasi yang dibuka terbagi dua, medis dan nonmedis. Medis meliputi perawat, dokter, analis, hingga pengambil spesimen.
Sementara sukarelawan nonmedis seperti media dan publikasi, runner, serta tim logistik. Sejak dua hari lalu, beberapa sukarelawan membantu tes masif di Bandung. ”Kami berharap kerelawanan ini menjadi energi baik untuk menjalin kerja bersama antarsemua pihak menghadapi Covid-19,” kata Febri.
Jejak panjang
Kerja bersama untuk kualitas kesehatan lebih baik tak kali ini saja. Di Bandung, ibu kota Jabar, kisahnya panjang, sejak tahun 1741, ketika Tatar Bandung baru dihuni manusia. Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Dulu menuliskan, Kopral Arie Top bersama tiga rekannya menjembatani Tatar Bandung menjadi daerah beradab.
Mengubahnya dari tanah buangan menjadi penghasil uang berkat perusahaan penggergajian kayu. Perhatian pejabat Hindia Belanda pun lantas tertuju ke sana. Dari sarang malaria menjadi perkotaan yang berkembang hingga kini. Tahun 1850-an, giliran Franz Wilhelm Junghuhn, penjelajah keturunan Jerman, berkolaborasi dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Charles Ferdinand Pahud de Mortanges.
Mereka sepakat mengembangkan kina di Lembang. Kina adalah obat malaria, penyakit mematikan kala itu. Hasilnya memuaskan. Bandung tercatat sebagai raksasa penghasil kina. Tahun 1896 didirikan pabrik kina di Bandung. Sebelum Perang Dunia II pecah, sekitar 90 persen kina dunia dari Bandung.
Bukan hanya orang asing yang peduli kualitas hidup masyarakat. Ada RAA Martanegara, Bupati Bandung 1893-1918, yang mengupayakan gaya hidup sehat lewat infrastruktur. Ia dibantu warga lokal serta pendatang Jawa Timur dan Jawa Tengah yang tiba seiring pembukaan jalur kereta Bandung-Surabaya.
Beberapa karya bersama itu adalah saluran air bersih, jalan aspal, penggantian atap ilalang rumah dengan genteng bersirkulasi udara lebih baik. Achmad Sunjayadi dalam Pariwisata di Hindia Belanda menyebut, awal 1880-an, rumah di Kota Bandung masih dari ijuk dan alang-alang. Dengan ragam pertimbangan lain, penguasa kala itu kian ingin memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung awal abad ke-20.
Sejak abad ke-17, Batavia dihajar kolera, malaria, disentri, dan flu spanyol. Bahkan, meski tak ikut membangun, pada era Martanagara, ”Instituut Pasteur” didirikan di Bandung tahun 1895 yang berfungsi mengatasi penyakit tropis. Kini bernama Bio Farma, fasilitas itu telah menjadi produsen vaksin ternama.
Secuil arti
Sekarang, tantangan kolaborasi itu hadir lagi. Covid-19 giliran mengancam. Gubernur Jabar Ridwan Kamil berharap keinginan kerja bersama terus hidup. Kepedulian pada sesama tak boleh mati di tengah pandemi. Ia menilai semua berjalan sesuai harapan, seperti pemberian alat pelindung diri, ventilator, dan bahan pokok.
”Bencana ini tanggung jawab bersama. Cepat lambatnya (selesai), tergantung kerja sama kita,” ujar Kamil. Lewat ramai suara mesin jahit, Arifin (33) dan rekan penjahit menjawab panggilan itu. Mengamalkan keahlian menjahit demi menjaga kualitas kesehatan masyarakat lewat pembuatan masker gratis.
”Kami targetkan 10.000 lusin atau 120.000 masker berbahan kain chief value cotton antibakteri. Kami sudah bagikan ke 600 orang dan selanjutnya setiap hari kami bagikan,” kata Arifin di kawasan Ujungberung.
Ia dibantu 30 penjahit di Kota dan Kabupaten Bandung. Mayoritas adalah penjahit yang kehilangan pekerjaan akibat wabah. Masing-masing diupah Rp 250.000 per hari. Tak ada yang tahu pasti kapan badai berakhir. Semua bisa ambil bagian memeranginya.