Cerita wartawan Kompas di Kalimantan Selatan saat diamuk gelombang laut usai meliput tambak udang di Kotabaru. Pulang lebih sore karena harus mengumpulkan bahan liputan membuatnya menghadapi gelombang tinggi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Februari 2020 lalu, saya memenuhi undangan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan untuk meliput percontohan budidaya udang windu organik di Kabupaten Kotabaru, yang berjarak 305 kilometer dari Banjarmasin. Dalam liputan itu, ada pengalaman menegangkan selama 30 menit diamuk gelombang laut.
Efek guncangan di speed boat masih terbawa hingga ke kamar hotel, Kamis (20/2/2020). Meskipun sudah lewat beberapa jam, tangan kiri saya belum berhenti bergetar. Semua benda yang dipegang dan diangkat dengan tangan kiri ikut bergetar. Saya seperti menderita parkinson saja.
Tangan kiri saya sepertinya belum move on dari guncangan gelombang akibat cukup lama dan kuat memegang besi pada sisi kiri speed boat. Selama perjalanan pulang dari lokasi tambak udang windu Desa Pantai, Kecamatan Kelumpang Selatan ke Kotabaru, saya berpegangan terus pada besi speed boat karena laut tidak lagi bersabahat seperti waktu perjalanan pergi.
”Saya cukup sering bolak-balik naik speed boat dari Kotabaru ke Desa Pantai. Namun, baru kali ini kena ombak besar,” kata Untung Torang, Konsultan Pengembang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Kantor Perwakilan BI Kalsel, ketika speed boat yang kami tumpangi merapat ke dermaga taksi speed boat Empat Serangkai, Kotabaru, pukul 14.15 Wita.
Di speed boat bermesin 40 PK itu, saya duduk di baris depan, tepat di samping Pak Untung. Beliau di tengah, saya di sebelah kiri, dan motorisnya di sebelah kanan. Di baris belakang, duduk empat orang. Satu laki-laki dari BI Kalsel, dan tiga perempuan dari Dinas Perikanan Kabupaten Kotabaru. Total ada tujuh orang di speed boat kecil itu.
”Untung saja, kita cepat balik. Kalau agak sore, mungkin gelombangnya lebih besar lagi,” ujar sang motoris. Wajah motoris pun tidak lagi terlihat serius seperti waktu masih di tengah laut. ”Asal tidak ada yang menangis saja, itu sudah cukup bikin tenang,” katanya.
Sang motoris mengaku pernah merasa kalut ketika membawa penumpang melewati gelombang besar seperti yang baru kami lewati. Di antara penumpangnya waktu itu ada yang menangis dan minta balik ke dermaga. Padahal, posisi speed boat sudah di tengah laut. Mau balik atau maju terus sama saja jauhnya. Ia pun memutuskan untuk maju terus.
Kali ini, enam penumpangnya tidak ada yang cengeng di tengah laut sehingga motoris masih bisa tenang melintasi laut yang tidak lagi tenang. Walaupun tidak cengeng, semuanya sangat tegang. Perjalanan pulang dari Pantai ke Kotabaru selama lebih kurang 45 menit dibuat sport jantung selama hampir 30 menit.
Dijamu
Hari itu, kami bertolak dari dermaga taksi speed boat Empat Serangkai, Kotabaru sekitar pukul 08.00 Wita. Laut masih tenang dan angin juga berhembus pelan. Dalam waktu 30 menit, kami sudah sampai ke lokasi tambak udang windu organik di Desa Pantai. Lokasi tambak tepat di tepi sungai yang bermuara langsung ke laut.
Sepanjang perjalanan pergi, saya masih bisa memotret maupun merekam video dengan gawai dan kamera. Saya benar-benar menikmati perjalanan naik speed boat setelah bertahun-tahun lamanya tidak pernah naik speed boat kecil seperti itu.
Tiba di lokasi tambak, saya turut menengok penyiapan lahan tambak untuk budidaya udang windu secara organik. Saya juga mengikuti dialog Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kotabaru Zainal Arifin dan Camat Kelumpang Selatan Siti Sarah dengan para petambak. Liputan itu terasa eksklusif karena hanya saya satu-satunya wartawan yang diajak.
Untuk menjamu rombongan pemerintah yang datang, petambak pun memanen udang, kepiting, dan ikan bandeng dari tambak. Semua hasil tambak yang masih segar itu langsung diolah. Sekitar pukul 11.30 Wita, semua naik ke pondok milik Beddu (48), petambak yang juga Ketua Kelompok Petambak Cahaya Benur Desa Pantai untuk makan siang.
Jamuan makan siang di pondok tepi tambak benar-benar istimewa. Hidangannya adalah udang, kepiting, dan bandeng. Lauknya melimpah dan sungguh nikmat. Saya akhirnya bukan makan nasi dengan lauk udang dan kepiting, tetapi makan udang dan kepiting dengan lauk nasi, karena lebih banyak mengambil lauk daripada nasi. Saya tidak mencicipi bandeng karena memang kurang suka.
Saya makan cukup lahap siang itu karena sebelumnya hampir tidak pernah menemukan hidangan hasil tambak segar seperti itu. Saya tidak ragu menyantap udang dan kepitingkarena kebetulan tidak alergi dengan makanan itu dan masih belum takut dengan kolesterol. ”Ayo pak, tambah lagi,” kata ibu-ibu yang menghidangkan.
Diempas
Setelah makan siang, rombongan kepala dinas dan camat langsung balik dengan speed boat masing-masing. Pak Untung sebenarnya juga mengajak langsung balik, tetapi saya minta waktu untuk wawancara dengan Randam Purnomo (32), instruktur pelatihan budidaya udang organik, terlebih dahulu. Saya menyiapkan tulisan profil Randam untuk rubrik sosok Kompas.
Setelah mewawancarai dan memotret Randam dengan beberapa angle, saya pun menyatakan siap untuk balik. Ketika kami bersiap balik, tuan rumah tiba-tiba kembali menghidangkan minuman kopi dan teh serta kue. Saya pun harus mencopot sepatu dan naik ke pondok lagi untuk menghabiskan segelas kopi hitam.
Pukul 13.30 Wita atau satu jam setelah rombongan sebelumnya balik, kami baru bertolak dari lokasi tambak. Kami tidak langsung menyeberang ke Kotabaru, tetapi menyeberang ke Desa Pantai terlebih dahulu untuk mengambil titipan. Setelah itu, speed boat kami baru menyeberang ke Kotabaru melintasi laut yang mulai bergelora.
Speed boat yang kami tumpangi mulai diempas-empas gelombang ketika bertolak dari Desa Pantai. Angin juga berhembus cukup kencang. Saya pun mulai memegang besi di samping dengan tangan kiri dan menahan topi yang dikenakan dengan tangan kanan. Karena gelombang dan angin makin kuat, saya akhirnya mencopot topi dan fokus berpegangan pada besi.
”Wah, ombaknya besar ini,” kata Pak Untung. ”Ini belum seberapa kalau dibandingkan bulan lalu (Januari),” kata sang motoris. Pak Untung tertawa mendengar ucapan motoris. Saya pun ikut tertawa agar sedikit rileks.
Kami berkali-kali berteriak ketika speed boat yang terus melaju terempas kuat dan cipratan air laut mengenai wajah kami. Laut benar-benar sudah bergelora. Jalan speed boat tak mulus lagi. Motoris harus membanting setir ke kanan dan ke kiri untuk melewati gelombang besar.
Saya melihat sang motoris cukup cekatan menghadapi gelombang tinggi. Meski begitu, saya tetap was-was karena di speed boat itu tidak ada jaket pelampung. Seandainya speed boat itu terbalik atau pecah dihantam ombak, maka bisa-bisa pulang tinggal nama.
Hampir 30 menit, saya dibuat sport jantung di laut Kotabaru. Walaupun cuma 30 menit, tetapi terasa seperti berjam-jam. Bahkan, efeknya masih dirasakan hingga beberapa jam kemudian. Kenikmatan udang dan kepiting hari itu ternyata harus dibayar dengan pengalaman diamuk gelombang.