Salah satu produk andalan dari kotoran gajah adalah papan yang dibentuk dari serat-serat rumput yang masih tersisa di dalam kotoran gajah.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Kotoran gajah menumpuk di laboratorium konservasi di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (13/3/2020). Para peneliti di balai itu pun bersiap untuk mengolahnya menjadi barang yang mempunyai nilai ekologis, tentu juga ekonomi.
Peneliti Balitbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Aek Nauli, Wanda Kuswanda, menunjukkan beberapa produk yang dihasilkan dari kotoran gajah, seperti papan, kertas, dan kompos. Ada juga asap cair yang diolah dari sisa pakan gajah.
”Di Hutan Aek Nauli ini ada empat ekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) jinak yang dikelola untuk tujuan ekowisata. Gajah ini menghasilkan 200 kilogram kotoran setiap hari yang bisa diolah menjadi barang bernilai ekonomi dan bisa menyebarkan narasi konservasi kepada siapa pun,” kata Wanda.
Salah satu produk andalan dari kotoran gajah adalah papan yang dibentuk dari serat-serat rumput yang masih tersisa di dalam kotoran gajah. Penelitian untuk membuat papan itu cukup panjang dan masih terus dikembangkan agar lebih sempurna. Papan itu juga bisa dikembangkan untuk membuat meja, lemari, kursi, atau perabot lainnya.
Wanda pun menunjukkan papan berukuran 40 sentimeter x 40 sentimeter hasil dari kotoran gajah. Papan tersebut mirip seperti papan dari serbuk kayu, tetapi serat-serat rumput yang masih panjang tampak jelas di permukaannya. Papan itu pun cukup kuat sehingga bisa digunakan untuk berbagai keperluan.
Wanda mengatakan, penelitian dan pengembangan papan dari kotoran gajah dimulai sejak Balitbang LHK Aek Nauli menerima empat ekor gajah jinak pada 2017. Gajah itu dipelihara untuk tujuan konservasi dan ekowisata. ”Kotorannya menumpuk sehingga kami berpikir untuk memanfaatkannya,” ujarnya.
Pembuatan papan cukup sederhana. Kotoran gajah dicuci terlebih dahulu untuk memisahkan serat rumput yang masih tersisa di kotoran dengan bahan lainnya. Serat yang mirip rumput kering itu lalu direbus agar lebih bersih. Setelah itu, dicampur dengan bahan perekat, lalu dibentuk dengan mesin pres bertekanan tinggi dengan suhu lebih dari 100 derajat celsius.
Meskipun sederhana, pembuatan papan dari kotoran gajah itu merupakan hasil penelitian dan rekayasa alat yang cukup panjang. Penelitian dan pengembangannya dilakukan bersama teknisi penelitian dan perekayasaan, yakni Firman dan Pipin Mudiana.
Di tahap awal, papan yang dihasilkan mengembang meskipun sudah dipres. Bahan perekat pun terkadang keluar dari papan saat dipres dengan tekanan tinggi. ”Setelah kami lakukan penelitian lebih lanjut, kami mendapat hasil yang lebih baik seperti sekarang,” kata Wanda.
Produk lain yang dihasilkan dari kotoran gajah adalah kertas. Kertas itu juga diolah dari serat rumput. Setelah dibersihkan dan direbus, serat rumput dicacah menjadi lebih halus lalu dicampur dengan bubur kertas yang diolah dari kertas bekas. Bubur kertas itu lalu dibentuk kembali menjadi kertas-kertas baru dengan alat pencetak. Kertas itu saat ini digunakan untuk mencetak sertifikat dalam kegiatan Balitbang LHK Aek Nauli.
Sisa kotoran gajah yang tidak terpakai juga digunakan untuk pupuk kompos. Pembuatan dilakukan dengan cara biasa, yakni fermentasi selama lebih dari delapan minggu.
Menurut Wanda, potensi bahan baku dari kotoran gajah cukup banyak. Satu ekor gajah mengonsumsi 150-200 kilogram pakan setiap hari. Gajah di Aek Nauli digembalakan ke hutan pada siang dan saat malam diberi pakan pelepah sawit.
Setengah dari pelepah sawit yang diberikan kepada gajah juga tersisa setiap hari. Sisa pelepah sawit itu diolah menjadi asap cair yang bisa digunakan untuk pestisida alami, penyubur tanaman, pengawet kayu, dan antimikroba. Produk olahan dari kotoran dan sisa pakan gajah itu pun akan dijual sebagai suvenir di kawasan Ekowisata Aek Nauli.
Kepala Balitbang LHK Aek Nauli Pratiara mengatakan, produk dari kotoran gajah tersebut tujuan utamanya bukan untuk ekonomi saja. ”Produk ini untuk menyampaikan pesan konservasi kepada masyarakat agar melindungi gajah sumatera yang kondisinya saat ini sangat terancam punah,” katanya.
Penggunaan papan dan kertas dari kotoran gajah juga untuk menyampaikan pesan mengurangi penebangan pohon dari hutan. Ancaman kepunahan terbesar yang dihadapi gajah sumatera saat ini adalah kerusakan habitat.
Pratiara menjelaskan, konservasi gajah tersebut dilakukan dengan kerja sama Balitbang LHK Aek Nauli, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumut, dan Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic). Gajah sumatera sebagai subspesies dari gajah Asia secara spesifik dimasukkan dalam kategori kritis terancam punah pada November 2011, satu tingkat di bawah kategori punah.
Populasi gajah sumatera pada 2016 diperkirakan sekitar 1.700 ekor yang terjebak dalam beberapa kantong populasi kecil yang tidak cukup mendukung kehidupan gajah. Lebih dari 700 gajah sumatera pun diperkirakan mati dalam 10 tahun terakhir.
Salah satu upaya konservasi gajah sumatera adalah dengan membuat Kamp Konservasi Gajah Aek Nauli (ANECC) di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Aek Nauli yang mempunyai areal 1.900 hektar dengan ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut di dekat Danau Toba. Kawasan itu sekitar 15 kilometer dari kawasan pariwisata Parapat.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK Agus Justianto mengatakan, pengembangan gajah jinak di Aek Nauli berpeluang untuk meningkatkan perkembangbiakan gajah, pengawetan genetik, penelitian, dan ekowisata yang menjadi model untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan.
Model konservasi ekowisata yang mendekatkan gajah dengan kehidupan di habitat alami pun diharapkan bisa terus dikembangkan di banyak daerah di Indonesia.