Wabah Covid-19 mulai memukul kondisi perekonomian di Aceh. Pemberlakuan jam malam hingga pengetatan aturan saat berjualan berdampak buruk pada pelaku usaha kecil menengah. Butuh langkah tepat pemda melindungi sektor ini.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Wabah coronavirus disease 2019 atau Covid-19 semakin memukul dunia usaha di Aceh. Pemberlakuan jam malam hingga pengetatan aturan saat berjualan berdampak buruk pada pelaku usaha kecil menengah. Butuh langkah tepat dari pemerintah daerah untuk melindungi sektor ini.
Hingga Senin (30/3/2020), lima warga Aceh positif terpapar Covid-19. Sebanyak 44 pasien dalam pengawasan (PDP) dan 620 orang dalam pemantauan (ODP). Seorang pasien positif dan seorang PDP meninggal dunia.
Miko Munte (30), pemilik warung kopi Rebbe Kupi di Banda Aceh, Provinsi Aceh, ditemui pada Senin (30/3/2020), telah memberhentikan lima pekerja sejak seminggu lalu. Penjualan yang turun drastis jadi penyebabnya.
Bila sebelumnya bisa mendapatkan Rp 1 juta per hari, kini hanya Rp 50.000-Rp 100.000. ”Hari ini, sejak pagi sampai sore, baru empat cup, Rp 40.000,” kata Miko.
Semenjak memberhentikan karyawan, warung dijaganya sendiri. Pelanggan tidak diperkenankan duduk di warung karena pesanan harus dibawa pulang. Pemberlakuan jam malam semakin membuatnya terpuruk.
Pemprov Aceh juga melarang warga beraktivitas di luar rumah pada malam hari mulai pukul 20.30 sampai 05.30 untuk mencegah penyebaran Covid-19. Malam hari adalah waktu di mana warga Banda Aceh kerap berkumpul di warung kopi. Aturan itu diterapkan pada 29 Maret hingga 29 Mei 2020.
Jacky (45), pemilik usaha jus buah dalam kemasan, juga terpukul. Banyak toko dan warung tempat dia menitip jus kini tutup. Dia terpaksa menurunkan jumlah produksi dan mengurangi karyawan. ”Namun, saya tetap produksi sampai kondisi tidak bisa produksi lagi,” ujar Jacky.
Pandemi Covid-19 juga membuat usaha pembuatan tempe ”Zoya Tempe” milik Basri di Kabupaten Aceh Besar tutup. Sebanyak 60 karyawan diberhentikan sementara waktu. Basri kesulitan mendapatkan bahan baku tempe karena kacang kedelai harus diimpor.
Biasanya, sehari dia membutuhkan 2 ton kedelai. Kini, ia hanya mendapat pasokan kurang dari separuhnya. Harganya juga naik, dari Rp 6.000 per kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram. Kondisi itu sangat merugikan. Apalagi, kini ia punya utang yang harus rutin dibayar ke bank.
”Kami berharap perbankan menunda pembayaran cicilan selama setahun sampai dunia usaha stabil,” katanya.
Kepala Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Aceh Mahdi Effendi menuturkan, pemberlakuan jam malam adalah kesepakatan bersama forum pimpinan daerah Provinsi Aceh. Kebijakan itu diambil untuk membatasi interaksi langsung sesama warga sehingga penyebaran virus korona dihentikan.
Pada siang hari, imbauan jaga jarak dan larangan keramaian juga diberlakukan. Pasar Atjeh di Banda Aceh ditutup sementara dan sebagian masjid telah menghentikan sementara pelaksanaan shalat berjemaah.
Kami berharap perbankan menunda pembayaran cicilan selama setahun sampai dunia usaha stabil.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Rustam Efendi menuturkan, imbauan jaga jarak dan pemberlakuan jam malam untuk memutuskan rantai penyebaran Covid-19. Namun, dampak dari pembatasan interaksi sosial itu rentan berimbas pada transaksi ekonomi.
Rustam mengatakan, pemerintah harus menyelamatkan pelaku UMKM dengan memberikan bantuan sembako, modal penyangga dengan bunga ringan, dan menunda pembayaran cicilan pinjaman bank. Bantuan uang tunai dan sembako sangat mendesak.
”Bantuan itu harus diutamakan untuk keluarga miskin dan tidak berpenghasilan tetap. Jika tidak, warga akan sulit bertahan dalam aturan yang dibuat pemerintah,” kata Rustam.
Bantuan tunai dan sembako mendesak. Bantuan itu harus diutamakan untuk keluarga miskin dan tidak berpenghasilan tetap. Jika tidak, warga akan sulit bertahan dalam aturan yang dibuat pemerintah.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh Syahrul mengatakan, pemberlakuan jam malam mengingatkan Aceh pada masa darurat militer dan darurat sipil ketika konflik bersenjata tahun 2000-an.
Syahrul mengingatkan aparat keamanan untuk tidak menindak warga yang melanggar jam malam dengan cara kekerasan dan tidak manusiawi. ”Jangan sampai trauma masa konflik kembali muncul,” kata Syahrul.