“Modale entok kabeh (modalnya habis semua). Mumet (pusing) mikirnya. Baru kali ini banjir dan merusak tanaman,” ujarnya sambil menunjukkan tanggul tanah yang sempat jebol akibat tak mampu menahan debit air Cisanggarung.
Oleh
abdullah fikri ashri
·4 menit baca
Ny Mulyana (50) termenung menatap bawang merah yang baru dipanen di Desa Tawangsari, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, awal Maret lalu, Sabtu (7/3/2020) sore. Lumpur sisa banjir tidak hanya menutup aroma bawangnya, tetapi juga membuatnya merugi. Pantura kian lama makin tak sedap bagi orang-orang yang sejak lama bergantung padanya.
Bawang merah yang biasanya berwarna merah menyala, bulat, dan besar dengan harga Rp 25.000 per kilogram kini hanya impian. Masih bagus kalau ada yang membeli hasil panennya Rp 20.000 per kg meskipun bentuknya kecil. Itu pun yang terselamatkan hanya 4 kuintal dari lahan 3.500 meter persegi.
”Biasanya, kalau normal, bisa dapat 5 ton bawang merah basah. Tetapi sekarang banyak yang enggak kelihatan karena di dalam lumpur. Puluhan hektar bawang merah dan cabai juga kena banjir,” ujar ibu tiga anak dan nenek empat cucu ini.
Menurut dia, petani merugi puluhan bahkan lebih dari Rp 100 juta akibat banjir. Jangankan mendapatkan klaim atas gagal panen, informasi asuransi tani program pemerintah saja Ny Mulyana enggak pernah mendengar.
”Modale entok kabeh (modalnya habis semua). Mumet (pusing) mikirnya. Baru kali ini banjir dan merusak tanaman,” ujarnya sambil menunjukkan tanggul tanah yang sempat jebol akibat tidak mampu menahan debit air Cisanggarung. Tawangsari yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, merupakan wilayah hilir Sungai Cisanggarung.
Ny Mulyana tak tahu penyebab bencana itu. Yang pasti, sebelum sampai ke daerah itu, luapan Sungai Cisanggarung yang berhulu di Kabupaten Kuningan, Jabar, melintasi berbagai pabrik di timur Cirebon. Di Pabedilan, misalnya, beroperasi pabrik sepatu.
Belum juga paham tentang pencegah banjir berulang, ia dan warga lainnya dihadapkan pada pembangunan 10.000 hektar kawasan industri 16 kecamatan di Cirebon, termasuk Tawangsari. ”Ada pabrik tah di sini? Embuh (enggak tahu) ya. Asal jangan banjir,” ujarnya.
Sesuai Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon 2018-2038, Pemkab Cirebon menyiapkan 10.000 hektar untuk industri. Ini melonjak dibandingkan Perda No 7/2011 tentang RTRW 2011-2031. Dalam Perda yang direvisi itu, kawasan industri hanya 2.000 hektar.
Munajat dari Forum Masyarakat Tawangsari yang menolak pembangunan industri mengatakan, banjir yang kerap terjadi merupakan alarm masifnya pembangunan industri di Cirebon timur. Apalagi, catatan Kompas, selama 2013-2018, rata-rata sebanyak 165 hektar lahan sawah di Cirebon beralih fungsi menjelma perumahan hingga pabrik.
Selain Tawangsari, Desa Tanjung Anom, Cilengkrang, Tonjong, Cilengkrang Girang di Kecamatan Pasaleman; Jatiseeng Kidul dan Ciledug Wetan (Ciledug); dan Babakan Losari Lor (Pabedilan) juga terkena banjir. Sekitar 10.000 warga terdampak.
Tawangsari menjadi daerah terakhir terdampak banjir. Kondisi itu diperparah rob karena mangrove yang dapat mengurangi intrusi air laut semakin terancam.
”Mangrove dibabat backhoe. Kami akan mengusulkan peraturan desa tentang perlindungan mangrove,” ujarnya.
Saat ini, pembangunan pabrik di wilayah timur Cirebon perlu dievaluasi terkait daya dukung lingkungannya. Pabrik pakan ternak, mi instan, sepatu, tempat penampungan batubara, hingga tiga pembangkit listrik tenaga uap telah dan sedang dibangun di daerah itu. Selain berlubang di beberapa titik, jalan pantura Cirebon timur juga berdebu batubara.
”Mengapa Pemkab Cirebon tidak fokus memberdayakan potensi desa dibandingkan menyiapkan lahan industri? Riset kami dengan sejumlah mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon, pendapatan potensial dari 2 hektar tambah per tahun itu mencapai Rp 163 juta atau Rp 13,5 juta per bulan” katanya. Upah Minimum Kabupaten Cirebon sekitar Rp 2,1 juta per bulan.
Tawangsari, yang berjarak lebih dari 30 kilometer dari Kota Cirebon, memiliki luas lahan 1.239 hektar. Luas tambak mencapai 876 hektar, sementara lahan bawang merah sekitar 240 hektar dengan produktivitas rata-rata 9 ton per hektar.
Harga bawang setempat bisa lebih mahal Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per kg dibandingkan desa lain karena kualitasnya. Selain petani bawang merah, sebagian besar penduduknya, dari total 7.946 jiwa, bekerja juga menjadi petambak.
Pemkab Cirebon memandang, kawasan industri diharapkan menumbuhkan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga setempat. ”Pengangguran di Cirebon peringkat 27 di Jabar. Artinya, urutan paling bawah. Rata-rata pendidikan warga hanya sampai kelas II SMP,” ujar Bupati Cirebon Imron Rosyadi.
Pada 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Kabupaten Cirebon mencapai 10,56 persen. Jumlah itu jauh di atas rata-rata TPT Jabar, yakni 8,17 persen.
Di pantura Indramayu, petambak di Desa Karanganyar, Kecamatan Pasekan, juga belum tahu soal rencana pemkab menyiapkan 20.000 hektar lahan industri. Itu tercantum dalam revisi Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Indramayu 2011-2031. Sebelumnya, kawasan industri hanya 2.000 hektar.
Sebelum itu, alih fungsi lahan pertanian juga sudah berlangsung. Periode 2008-2018, lahan pertanian menyusut dari 119.752 hektar menjadi 117.996 hektar. Alih-alih paham soal kawasan industri, petambak masih disibukkan dengan banjir yang menyapu bandeng dan udang di tambak akhir Februari lalu.
”Terakhir banjir di sini awal 2014. Sekarang, terjadi lagi. Puluhan hektar terendam. Padahal, kata orangtua dulu, banjir itu biasanya setiap delapan tahun,” kata Konarudin (43), petambak.
Bapak tiga anak ini kehilangan modal lebih dari Rp 12 juta untuk membudidayakan bandeng dan udang di tambak seluas 2,5 hektar. Jumlah itu belum termasuk ongkos pakan. Aliran air dari Bendungan Karet Bangkir hilirnya di daerah petambak sebelum ke laut.
”Saya pusing cari utang lagi. Lama-lama, bakul ambil tambak kita (saya) untuk lunasin utang. Semoga enggak ada banjir lagi,” kata Konarudin yang tidak mengasuransikan usaha tambaknya.
Berada di jantung Pulau Jawa tak lantas membuat pantura bahagia. Pundaknya kian renta menanggung hidup jutaan manusia di sekitarnya.