Kengerian membayangi jika benar ada potensi penularan virus korona yang telah menjadi pandemi melalui kotoran mahkluk hidup yang turut mencemari sungai termasuk Bengawan Solo.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Tidak memanfaatkan air Bengawan Solo yang tercemar merupakan tindakan paling rasional yang bisa diambil oleh kalangan warga Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur, yang bermukim di kawasan muara sungai tersebut.
Mereka masih ingat pengalaman pahit akhir tahun lalu ketika Bengawan Solo tercemar limbah industri peternakan, tekstil, dan alkohol di Sukoharjo dan Surakarta (Solo), Jawa Tengah, yang merupakan bagian hulu tengah sungai ini.
“Kan jauh alirannya dari Solo sampai Gresik ternyata ya masih tercemar sehingga warga tidak mau memanfaatkannya untuk mencuci dan mandi,” kata Sutomo, warga Ujung Pangkah, membagi pengalamannya ketika ditemui pada Sabtu (7/3).
Dari Solo, sungai melewati wilayah Karanganyar, Sragen, Blora (Jateng) lalu wilayah Jatim yakni Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan bermuara di Gresik. Jarak pencemaran dari Solo ke Gresik sekitar 300 kilometer (Km) atau separuh dari panjang aliran Bengawan Solo yang 600 kilometer. Nyatanya, di hilir, air masih saja tercemar yakni amat keruh dan kehitaman dan berbau tak sedap.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik Mokhammad Najikh mengatakan, ketika air Bengawan Solo tercemar, meminta pemerintah desa di sepanjang aliran sungai itu untuk menginformasikan kepada warga agar tidak memanfaatkan air guna mandi dan mencuci. “Air dari Bengawan Solo tidak pernah dikonsumsi warga untuk minum dan memasak kecuali untuk mandi, mencuci, irigasi, dan tambak,” katanya.
Meski bisa diyakini warga tak mengkonsumsi air Bengawan Solo bukan berarti sungai ini tidak menimbulkan masalah kesehatan. Banjir karena Bengawan Solo meluap atau karena tanggul jebol seperti terjadi di Bojonegoro mengakibatkan kalangan warga terserang diare dan penyakit kulit.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi mengingatkan, perilaku masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan hidup memerparah pencemaran Bengawan Solo.
“Karakteristik pencemaran sungai-sungai di Jatim seperti di mana-mana yakni sumbernya industri dan domestik,” kata Prigi di Gresik saat dihubungi dari Surabaya, Rabu (25/3). Kader Brigade Evakuasi Popok (Kuapok) yang secara rutin memulung popok bekas di Sungai Brantas beberapa kali melebarkan wilayah operasi ke Bengawan Solo di Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik.
Di sepanjang Bengawan Solo juga ditemukan sampah popok. Dari penelitian yang telah dipublikasikan beberapa kali oleh Ecoton, popok perlu hampir 500 tahun untuk terurai secara alami. Padahal, popok yang terbuat dari bahan kimia dan mengendap di dasar sungai berpotensi mengeluarkan “racun” yang dapat mengubah ekosistem. “Salah satu bahan dalam popok adalah mikroplastik yang kami yakini berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup terutama manusia,” ujar Prigi.
Bagaimana jika dikaitkan dengan situasi terkini yakni potensi penularan virus korona yang telah menjadi pandemi melalui kotoran mahkluk hidup yang turut mencemari sungai termasuk Bengawan Solo? “Saya ngeri jika benar-benar terjadi akan seperti apa nasib manusia,” kata Prigi.
Selama ini, pemerintah terkesan lebih fokus dalam penanganan bencana akibat banjir Bengawan Solo melalui program pembangunan prasarana dan sarana. Misalnya, perbaikan tanggul jebol di Bojonegoro, pembuatan waduk-waduk dan dam-dam pendukung, dan rehabilitasi bantaran sungai melalui penanaman dan penataan.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak pernah mengatakan, aspek pencemaran sungai-sungai besar akan menjadi perhatian pemerintah. Jatim memerlukan dukungan pusat dan kabupaten/kota untuk menangani permasalahan sungai-sungai. Jatim amat berkepentingan mengingat dua sungai terpanjang di Pulau Jawa ada di provinsi berpenduduk 40 juta jiwa ini yakni Bengawan Solo dan Bengawan Brantas.
Namun, hingga kini, belum ada teknologi atau cara yang bisa diaplikasikan oleh pemerintah atau badan penanggungjawab pemeliharaan Bengawan Solo dan Sungai Brantas untuk menjamin kebersihan airnya sehingga amat digunakan oleh masyarakat.
Di sisi lain, sungai-sungai besar masih menjadi tulang punggung sebagian masyarakat untuk bergerak. Rakit atau perahu penyeberangan masih banyak dijumpai di Bengawan Solo dan Bengawan Brantas. Berita-berita tentang kecelakaan sarana itu sehingga menewaskan penumpangnya atau ada warga tenggelam saat beraktivitas di sungai juga masih terus ada. Dua pecan lalu, seorang ibu dan anaknya dari Desa Pucungarum, Bojonegoro, tewas akibat tenggelam saat beraktivitas di Bengawan Solo.