Beban Pantura Tak Diimbangi Daya Dukung Lahan dan Tata Ruang
Guru Besar Ilmu Lingkungan Undip Sudharto P Hadi menjelaskan, banjir di pantura terjadi karena saat curah hujan tinggi, air yang mengalir di permukaan, yakni air larian, tak dapat meresap sempurna ke dalam tanah.
Oleh
GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·3 menit baca
Buruknya daya dukung lahan dan perencanaan tata ruang yang semrawut menyebabkan bencana banjir terus melanda pesisir pantai utara Pulau Jawa. Beban pembangunan infrastruktur, permukiman, dan industri yang terpusat di pantura tak diimbangi tata kelola hidrologi yang baik.
Pakar hidrologi Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Robert Kodoatie, di Kota Semarang, Rabu (26/2/2020), mengatakan, banjir di pesisir utara, seperti Pekalongan, Kendal, Demak, dan Pemalang, dipicu penataan tata ruang yang buruk. Ia menyoroti aturan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) daerah yang tak memasukkan unsur tata kelola air.
”Jika aliran air dari gunung ke laut jadi pertimbangan, dampak banjir bisa ditekan. Namun, saat merancang RTRW, pemerintah tidak melihat keberadaan air yang secara alami mengalir dari gunung ke laut berdasarkan siklus hidrologi. Yang kena getahnya adalah wilayah di dataran rendah,” ujarnya.
Robert berpendapat, RTRW di setiap wilayah semestinya ditinjau ulang dan dibuat bersinergi. Aturan RTRW setiap daerah harus berkaitan, semisal Kota Pekalongan dengan daerah di atasnya, yakni Kabupaten Pekalongan.
Sekitar 80 persen wilayah Kota Pekalongan, beberapa hari terakhir terdampak banjir. Pada Selasa kemarin, sekitar 1.400 warga masih bertahan di pengungsian.
Banjir di pantura, termasuk Pekalongan, kata Robert, juga terjadi karena banyak perubahan tata guna lahan. Lingkungan sekitar daerah aliran sungai (DAS) yang dulu merupakan hutan, daerah resapan, kini berubah menjadi permukiman. Akibatnya, debit air sungai naik 5-10 kali lipat saat terjadi hujan.
Guru Besar Ilmu Lingkungan Undip Sudharto P Hadi menjelaskan, banjir di pantura terjadi karena saat curah hujan tinggi, air yang mengalir di permukaan, yakni air larian (run off), tidak dapat meresap sempurna ke dalam tanah. Dia juga tidak sependapat dengan pihak-pihak yang menyalahkan siklus banjir tahunan.
Menurut dia, justru karena selalu berulang, semestinya persiapan dan penanganan banjir dapat disiapkan lebih matang. Banjir di pantura disebut cukup pelik karena dipicu banyak faktor, mulai dari kondisi lingkungan di daerah hulu yang sudah rusak hingga naiknya permukaan air laut sejalan dengan penurunan muka tanah. Kondisi ini diperparah tata ruang yang buruk di daerah perkotaan.
Penanganan jangka pendek yang bisa dilakukan yakni pengerukan sungai atau normalisasi, serta pembersihan saluran drainase, dan penanganan sampah. Untuk penanganan yang bersifat jangka menengah, Sudharto mendorong perbaikan tata ruang di kawasan hulu. Selain itu, juga bisa dilakukan pembangunan dam atau bendungan, danau atau waduk buatan, serta penerapan konsep sumur resapan (biopori) di permukiman kota.
Adapun penanganan jangka panjang, dia mendesak pemerintah memperbaiki aturan tata ruang dan menggunakan ruang sesuai peruntukannya. Salah satunya dengan memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH). Dia mencermati, banyak kota di Indonesia, termasuk di pesisir utara, justru gencar merevisi tata ruang daerah untuk mempermudah pembangunan permukiman dan industri.
”Alih fungsi lahan perumahan dan industri yang cepat ini tidak diimbangi penerapan tata ruang yang baik. Akhirnya banjir terus terjadi,” ujarnya.