Alih Fungsi Lahan dan Buruknya Perencanaan Memperparah Banjir Pantura
Banjir yang melanda wilayah pantai utara Jawa Barat sepanjang awal tahun ini tidak hanya disebabkan tingginya curah hujan. Alih fungsi lahan dan buruknya perencanaan memperparah banjir di kawasan tersebut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
Banjir yang melanda wilayah pantai utara Jawa Barat tidak hanya disebabkan tingginya curah hujan. Alih fungsi lahan dan buruknya perencanaan memperparah banjir di kawasan tersebut.
Di pantura, banyak sawah beralih fungsi menjadi permukiman, industri, dan infrastruktur lainnya, seperti jalan tol. Imbasnya, daya dukung lingkungan melemah sehingga banjir semakin sering terjadi.
Selain itu, drainase tidak berfungsi dengan baik sehingga menghambat membuat aliran air. ”Jadi, penyebab banjir di pantura merupakan kombinasi curah hujan tinggi, alif fungsi lahan, dan saluran air yang tidak optimal,” ujar pakar hidrologi dari Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, di Bandung, Jabar, Kamis (27/2/2020).
Menurut data Badan Pusat Statistik, sawah di Jabar pada 2015 seluas 912.794 hektar. Jumlah itu menyusut dibandingkan tahun 2005 seluas 925.900 hektar.
Chay mengatakan, selain sebagai lahan pertanian, sawah juga berfungsi menjadi parkir air saat musim hujan. Karena luas sawah terus berkurang, tempat menampung air semakin sedikit sehingga memperbesar potensi banjir.
Menurut Chay, pembangunan infrastruktur tidak boleh mengabaikan potensi bencana. Oleh sebab itu, penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR) wajib mempertimbangkan faktor hidrologi di sekitarnya. ”RDTR yang buruk berpotensi menyebabkan banjir. Jadi harus direncanakan dengan baik tanpa menyampingkan dampak dari pemanfaat lahannya,” ujarnya.
Selain sebagai lahan pertanian, sawah juga berfungsi menjadi parkir air saat musim hujan.
Chay menuturkan, alih fungsi lahan di bagian tengah Jabar juga dapat memicu banjir di pantura. Sebab, sejumlah sungai yang mengalir ke pantura, seperti Cimanuk dan Citarum, berhulu di kawasan tersebut.
”Banjir di pantura akan semakin parah jika terjadi rob. Untuk mengatasi hal ini, perlu dibangun polder dan memaksimalkan penggunaan pompa,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Meiki W Paendong mengatakan, aspek daya dukung lingkungan sering terlupakan dalam mengembangkan pantura menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Padahal, tanpa lingkungan yang baik, roda ekonomi juga akan terganggu.
”Kalau terjadi banjir, operasional industri akan terganggu. Hal ini bisa memicu kerugian besar. Jadi, faktor lingkungan juga harus diprioritaskan untuk menunjang pusat pertumbuhan ekonomi itu,” ujarnya.
Meiki menuturkan, perencanaan pengembangan kawasan di pantura buruk. Oleh sebab itu, dia menyarankan penyusunan RDTR dengan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) benar-benar diterapkan, bukan sebatas formalitas.
Saat ini di Jabar sedang dibangun Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi). Pemerintah juga merencanakan pembangunan Tol Cileunyi-Garut-Tasikmalaya (Cigatas) untuk memperlancar akses ke selatan Jabar.
Pembangunan infrastruktur itu diyakini akan melahirkan pengembangan kawasan ekonomi baru sehingga memicu pembangunan perumahan dan bangunan komersil lainnya. Meiki mengingatkan agar RDTR di kawasan itu dikaji secara matang sehingga beban pembangunan tidak melebihi daya dukung lingkungannya.
”Jangan karena dekat jalan tol lalu langsung dimanfaatkan untuk membangun perumahan. Namun harus dikaji kecocokan kontur tanahnya, ketersediaan air, dan pengendalian potensi banjir,” ujarnya.