Polres Flores Timur Tetapkan Sembilan Tersangka Kasus Pembunuhan Perebutan Tanah di Adonara
Kepolisian Resor Flores Timur menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan terkait perebutan tanah di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Kepolisian Resor Flores Timur menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan terkait perebutan tanah di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Satu tersangka dari suku Kwaelaga dan delapan orang dari suku Lama Tokan, Desa Sandosi, Flores Timur. Proses hukum adat tetap diupayakan sehingga kasus itu tidak terulang lagi di antara warga dan suku-suku lain yang memiliki ikatan kekerabatan.
Kepala Kepolisian Resor Flores Timur Ajun Komisaris Besar Denny Abrahams yang dihubungi di Larantuka, Sabtu (28/3/2020), mengatakan, polisi tetap memproses kasus ini secara hukum. Laporan keluarga korban dari suku Kwaelaga agar proses ini terus berjalan sampai tuntas. Pelapor tidak mau kasus ini diproses secara adat.
”Sudah sembilan orang kami tetapkan sebagai tersangka. Delapan orang dari suku Kwaelaga, dan satu orang dari suku Lama Tokan. Mereka sedang ditahan di Polres Flores Timur secara terpisah,” kata Abrahams. Proses pemeriksaan terhadap sembilan tersangka masih berlangsung. Jika tidak ada halangan, dalam waktu dekat kasus ini segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Larantuka.
Sudah sembilan orang kami tetapkan sebagai tersangka. Delapan orang dari suku Kwaelaga, dan satu orang dari suku Lama Tokan. Mereka sedang ditahan di Polres Flores Timur secara terpisah.
Mereka adalah petani lahan kering, juga pekerja serabutan. Perebutan tanah di antara dua suku itu sudah berlangsung sejak 1980. Kasus ini sudah beberapa kali dilaporkan ke Pemkab Flores Timur, tetapi penyelesaiannya belum mencapai kata sepakat.
Kasus pembunuhan akibat perebutan tanah itu terjadi pada 5 Maret 2020, 6 orang tewas, terdiri dari 4 orang dari suku Kwaelaga dan 2 orang dari suku Lama Tokan. Dua suku itu berada di dalam satu desa, yakni Sandosi. Mereka tinggal bersebelahan di desa itu.
Kasus ini berawal dari suku Lama Tokan pergi menanam anakan jambu mete dan kelapa di lahan sengketa di wilayah pesisir. Seusai menanam, mereka menghidupkan api di lokasi sambil membakar rerumputan dan umbi-umbian.
Pada saa itu suku Kwaelaga tiba di lokasi yang sama, lengkap dengan parang dan tombak panjang. Mereka meminta agar anakan pohon yang baru ditanam itu segera dicabut karena lokasi itu juga milik suku Kwaelaga. Namun, permintaan itu ditolak suku Lama Tokan. Mereka malah meminta suku Kwaelaga mencabut sendiri anakan yang sudah ditanam itu.
Kedua pihak beradu argumentasi mengenai kepemilikan sah lahan itu. Sementara kedua pihak masing-masing membawa senjata tajam berupa parang dan tombak panjang. Perang antarkedua pihak pun tidak terhindarkan. Perang itu tidak seimbang karena jumlah anggota suku Lama Tokan lima orang dibandingkan suku Kwaelaga sebanyak 10 orang orang. Korban di pihak Kwaelaga dua orang dan Lama Tokan empat orang.
Bagi masyarakat suku Lamaholot (Flores Timur, Lembata, dan Alor), mencabut anakan tanaman yang sudah ada di dalam tanah sama dengan mencabut nyawa manusia. Lubang kosong yang terbuka itu akan terus meminta pengganti, yakni nyawa manusia sampai tujuh turunan. Pelaku pencabutan akan menjadi korban selama tujuh turunan, kecuali dilakukan upacara adat untuk mengatasi hukuman itu.
Perdamaian secara adat
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang dari Adonara Flores Timur, Karolus Kopong Medan, mengusulkan agar dilakukan perdamaian secara adat di antara kedua pihak yang bertikai dalam perebutan tanah di Sandosi. Proses adat itu melibatkan seluruh elemen masyarakat dari desa itu, dan suku-suku lain di sekitar Desa Sandosi, yang masih memiliki hubungan saudara dengan kedua suku.
”Kami khawatirkan putusan pengadilan kembali memicu rasa tidak puas anggota keluarga dari kedua suku yang bertikai. Ini bakal melahirkan konflik baru. Kasus itu pun tidak akan pernah selesai,” kata Kopong Medan.
Ia mengusulkan agar sebelum putusan pengadilan berlangsung, tokoh adat kedua pihak melakukan rekonsiliasi secara adat. Sebaiknya dilakukan ritual adat di antara kedua pihak sebagai pengikat keputusan adat. Ketika putusan pengadilan terjadi, tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan.
Pemkab Flores Timur dan tokoh agama turut berperan mendorong rekonsiliasasi adat ini. Kedua pihak ini juga bertugas menyelesaikan sengketa tanah itu sehingga tidak lagi terjadi perebutan di masa depan. Jumlah enam korban jiwa itu sudah cukup sebagai peringatan dari anak-cucu kedua suku itu di masa depan.