Penularan Covid-19 yang kian meluas menuntut langkah progresif pemerintah demi menjaga keselamatan masyarakat. Karantina di wilayah sebaran virus korona baru perlu dipertimbangkan.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Penularan pandemi Covid-19 yang saat ini kian luas di Tanah Air menuntut langkah yang lebih progresif dari pemerintah untuk mengatasinya dengan keselamatan penduduk menjadi prioritas pertama. Salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan adalah melakukan karantina di wilayah yang menjadi pusat persebaran penyakit yang disebabkan virus korona baru itu. Namun, sebelum karantina dilakukan, perlu ada persiapan matang, terutama untuk menjamin kebutuhan dasar masyarakat.
Laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Jumat (27/3/2020), menyebutkan, jumlah total pasien positif Covid-19 mencapai 1.046 orang dengan 87 pasien di antaranya meninggal. Kasus ini tersebar di 28 provinsi dengan kasus
tertinggi dilaporkan di DKI Jakarta (598 kasus), Jawa Barat (98 kasus), Banten (84 kasus), dan Jawa Timur (66 kasus).
Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, bertambahnya angka kasus positif menunjukkan pembatasan sosial dan imbauan menjaga jarak belum berjalan maksimal.
Melihat kondisi itu, sejumlah pihak merekomendasikan adanya karantina yang lebih agresif di wilayah yang jadi sumber wabah Covid-19, seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Dalam rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo, Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) meminta adanya karantina wilayah secara selektif sebagai opsi penanganan Covid-19. Sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, karantina wilayah merupakan langkah menutup wilayah terjangkit Covid-19.
Karantina wilayah dilakukan minimal 14 hari di provinsi pusat penyebaran Covid-19. Selain bisa memutuskan rantai penularan penyakit itu, karantina wilayah ini juga memudahkan negara menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit, seperti sumber daya manusia, alat pelindung diri, dan fasilitas lain.
”Kami menyarankan ada karantina wilayah karena anjuran melakukan pembatasan sosial tidak efektif,” kata Guru Besar yang juga Dekan Fakultas Kedokteran UI Ari Fahrial Syam, di Jakarta, kemarin.
Karantina wilayah juga perlu dilakukan untuk mencegah arus mudik dari Jabodetabek ke daerah yang kini semakin deras. ”Jika tidak segera diatasi, arus mudik ini akan menyebabkan ledakan wabah di daerah-daerah dan tidak mampu lagi ditangani layanan kesehatan kita,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan, karantina wilayah akan membuat pelayanan medis bisa optimal. ”Layanan kesehatan lumpuh kalau arus wabah meledak di mana-mana,” ungkapnya.
Menurut Ketua Umum IDI Daeng M Faqih, jumlah pasien Covid-19 harus ditekan karena kapasitas tenaga medis dan fasilitas kesehatan terbatas.
Rekomendasi serupa disampaikan para ahli kesehatan dalam pembahasan strategi mengatasi Covid-19 dengan melibatkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Sekretaris Kabinet pada 16 Maret 2020. Mereka yang turut membahas itu antara lain Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto dan Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia Akmal Taher.
Akmal Taher berpendapat, kebijakan pembatasan sosial untuk mencegah penularan Covid-19 masih lemah. Perlu sanksi tegas bagi masyarakat untuk membatasi pergerakan orang dalam wilayah dan antarwilayah.
Wakil Direktur Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, karantina wilayah akan membantu tenaga medis dan laboratorium melakukan penapisan dan perawatan pasien. Namun, kebijakan itu mesti diikuti dengan pemeriksaan masif dan penelusuran riwayat kontak dengan pasien. ”Semua laboratorium yang dirujuk kewalahan menganalisis sampel, apalagi stok reagen dan alat untuk swab menipis,” katanya.
Persiapan matang
Menurut Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan, jika karantina wilayah diberlakukan, harus ada persiapan untuk menjamin kebutuhan dasar warga, sistem rujukan dengan penjemputan pasien menuju rumah sakit, dan pengawasan ketat. Pemerintah harus memperhatikan keberlangsungan hidup awak bus dan pekerja terkait moda transportasi darat jika ingin menghentikan pengoperasian bus umum antarkota antarprovinsi.
Insentif dapat diberikan bagi pelaku usaha transportasi umum. ”Insentif bagi pemilik bus dapat berupa penundaan angsuran,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat Djoko Setijowarno.
Indef dalam kajian terbarunya mendorong urgensi karantina wilayah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef M Rizal Taufikurahman menekankan, meski akan memukul perekonomian daerah, perlindungan terhadap manusia lebih penting.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, karantina kewilayahan tidak bisa serta-merta dilakukan tanpa dibarengi aturan teknis. Karena itu, merujuk UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (PP) terkait pelaksanaan karantina kewilayahan.
”Menurut undang-undang, harus ada PP. Kalau nanti kita langsung, iya (karantina), melanggar undang-undang namanya, bisa digugat ke pengadilan,” ujar Mahfud. Payung hukum itu ditargetkan selesai pekan depan.