Di balik jeruji besi, tuberkulosis seakan bebas berkeliaran. Penyakit yang berujung kematian itu dimanjakan dengan kelebihan kapasitas penghuni, minimnya saluran udara, dan kebiasaan buruk hidup para tahanan.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Di balik jeruji besi, tuberkulosis seakan bebas berkeliaran. Penyakit yang berujung kematian itu dimanjakan dengan kelebihan kapasitas penghuni, minimnya saluran udara, dan kebiasaan buruk hidup para tahanan.
Ancaman kuman Mycobacterium tuberculosis itu mendorong Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Cirebon dan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon rutin menggelar pemeriksaan tuberkulosis dan HIV. Seperti siang itu, Kamis (12/3/2020), pemeriksaan dilakukan di Auditorium Adang Hamara LP setempat, Gintung, Cirebon, Jawa Barat.
Sebanyak 200 warga binaan LP yang berseragam tahanan warna biru tua turut serta. Mereka mengikuti sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat lalu mengisi formulir terkait tuberkulosis. Bagi yang merasa punya gejala, seperti batuk tiga minggu atau lebih, batuk berdarah, dan mengalami penurunan berat badan drastis, harus mengikuti pemeriksaan dahak.
”Khawatir juga saya dengan penyakit ini (tuberkulosis). Teman di samping saya sering batuk-batuk,” ucap Amos R Hutapea (52), sambil menunjukkan cairan dahaknya dalam tabung kecil. Sampel itu bakal dibawa ke laboratorium rumah sakit setempat untuk mengetahui apakah Amos positif tuberkulosis atau tidak.
Warga Jakarta itu berharap hasilnya negatif. Namun, kondisi penjara yang ia huni lima tahun terakhir rentan memicu tuberkulosis. Di dalam sel yang luasnya sekitar 36 meter persegi, Amos tinggal bersama 15 warga binaan lainnya. ”Tempatnya dicukupkan saja,” ucap Amos, yang menerima vonis 7 tahun penjara karena terlibat kasus narkoba.
Di sel pengap itu, udara segar bak barang mewah. Dinding lembab. Cahaya lampu pun turut menerangi sel meski siang hari. Sebuah jendela dengan besi jeruji yang langsung mengarah ke sinar matahari ukurannya hanya 120 sentimeter x 50 sentimeter. Jendela yang berada di atas kamar mandi itu pun kerap dijadikan tempat menjemur pakaian. Padahal, dari sana udara dan cahaya berasal.
Udara juga seperti ”bertarung” dengan kepulan asap rokok. Racikan tembakau itu seakan menjadi barang wajib pengunjung, selain makanan. ”Kalau merokok, sebatang bisa diisap sampai tiga orang, bergantian. Makanya, saya khawatir tertular (tuberkulosis),” ujar Amos yang berniat berhenti merokok. Dia takut banyak penyakit mampir di tubuhnya.
Kalau merokok, sebatang bisa diisap sampai tiga orang, bergantian. Makanya, saya khawatir tertular (tuberkulosis).
Bapak dua anak ini bertekad keluar dari penjara dalam kondisi sehat. Ia sudah kangen sekali dengan anak yang ia tinggalkan ketika masih kecil. ”Setiap hari saya berdoa untuk tidak lagi meninggalkan anak-anak,” ungkapnya sambil memandang ke langit.
Risiko tinggi
Pepen Zaelani, dokter umum di Klinik Pratama Lapas Narkotika Cirebon, mengatakan, risiko penularan tuberkulosis di LP cukup mengkhawatirkan. Selain minimnya ventilasi ruangan, hampir semua warga binaan membawa faktor risiko, yakni merokok.
Pada tahun 2018, pihaknya mencatat enam kasus tuberkulosis. Setahun berikutnya, ada 11 orang lain positif tuberkulosis. Peningkatan kasus menunjukkan, penyakit tersebut telah menular. Siap menerkam lebih ganas apabila kondisi saat ini tanpa perubahan.
”Tahun ini, terindikasi ada 10 kasus baru. Namun, kami masih menunggu hasil pemeriksaan dahak,” ungkapnya.
Warga binaan yang menderita tuberkulosis ditempatkan di blok poliklinik dengan lima sel. Salah satunya, sel karantina berkapasitas tiga warga binaan. ”Mereka berada di sana minimal sebulan untuk menjalani pengobatan agar tidak menularkan kepada yang lain. Belum ada yang meninggal dunia di sini karena tuberkulosis,” katanya.
Sel lainnya berkapasitas masing-masing delapan sampai sembilan tempat tidur. Selain seorang dokter umum, dokter gigi dan seorang perawat juga siap menangani kesehatan warga binaan di ruangan pemeriksaan.
Ruangan itu berisi dua ranjang tetapi hanya ada satu kasur. Lemari kaca berisi beberapa botol infus. Jika kondisi memburuk, warga binaan dibawa ke rumah sakit rujukan terdekat.
Kepala Seksi Pembinaan Anak Didik LP Narkotika Kelas II A Cirebon Mujiyana mengakui, kepadatan penghuni LP turut memicu penyebaran tuberkulosis. ”Idealnya, kapasitas LP ini 460 orang. Tetapi, saat ini, ada 852 warga binaan,” ucapnya.
Untuk itu, pihaknya berupaya meminimalisasi penularan, antara lain dengan aktivitas di luar sel, seperti olahraga, acara kerohanian, kesenian, dan pelatihan aneka keterampilan. Pihaknya juga mengklaim, rutin dua kali setahun melakukan deteksi dini kepada warga binaan terkait penyakit menular tuberkulosis dan HIV.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Nanang Ruhyana mengatakan, potensi penularan tuberkulosis tidak hanya dalam LP, tetapi juga kepada keluarga warga binaan yang kerap berkunjung. ”Seluruh warga binaan LP akan kami periksa secara bertahap. Ini sudah dilakukan sejak tahun 2012,” katanya.
Kondisi di LP Narkotika Kelas II A Cirebon merupakan potret LP di negeri ini yang rentan terdampak tuberkulosis. Per Januari 2020, tercatat 264.762 narapidana dan tahanan yang berada di lapas dan rutan di 33 provinsi. Sebanyak 29 provinsi mengalami kelebihan kapasitas penghuni, bahkan ada yang di atas 300 persen (Kompas.id, 27/1/2020).
Ketika para tahanan harus menghabiskan hari-harinya di balik jeruji, penyakit tuberkulosis juga mengintai mereka setiap detik. Jangan sampai Amos yang akan bebas dua tahun lagi malah membawa tuberkulosis yang rentan menjadi beban baru bagi keluarganya.