Pemerintah Susun Payung Hukum Karantina Kewilayahan
Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan karantina kewilayahan tak bisa dilakukan tanpa dibarengi aturan teknis. Pekan depan ditargetkan peraturan pemerintah terkait karantina wilayah, turunan UU No 6/2018, rampung.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat sedang menyusun payung hukum yang berkaitan dengan prosedur karantina kewilayahan untuk mencegah penyebaran virus korona baru di Indonesia. Pekan depan, aturan tersebut ditargetkan selesai disusun.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melalui telekonferensi dengan awak media di Jakarta, Jumat (27/3/2020), mengatakan, karantina kewilayahan tak bisa serta-merta dilakukan tanpa dibarengi aturan teknis. Karena itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah saat ini sedang menyiapkan rancangan peraturan pemerintah (PP) terkait pelaksanaan karantina kewilayahan.
”Menurut undang-undang, harus ada peraturan pemerintah. Kalau nanti kita langsung, iya (karantina), melanggar undang-undang namanya, bisa digugat ke pengadilan. Di (PP) situ akan diatur kapan sebuah daerah boleh melakukan pembatasan gerakan,” ujar Mahfud.
Di dalam PP tersebut, Mahfud menjelaskan, akan diatur prosedur mengarantina suatu wilayah. Pertama, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi mengusulkan karantina kewilayahan kepada Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional.
Selanjutnya, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional akan berkoordinasi dengan sejumlah menteri karena karantina kewilayahan berkaitan dengan beberapa kewenangan menteri, antara lain Menteri Perhubungan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Perdagangan.
”Nanti secepatnya, sesudah itu, keputusan akan diambil di suatu daerah itu boleh melakukan karantina wilayah atau tidak,” ujar Mahfud.
Mahfud menambahkan, karantina kewilayahan ini bukan menutup seluruh akses transportasi atau perdagangan. Menurut dia, tak boleh ada penutupan jalur lalu lintas terhadap mobil atau kapal yang membawa kebutuhan pokok. Toko-toko atau supermarket yang diperlukan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari juga tak bisa sembarangan ditutup, tetapi tetap ada pengawasan yang ketat oleh pemerintah setempat.
Menurut Mahfud, mekanisme ini penting diatur agar ada keseragaman dalam proses karantina kewilayahan sehingga kelak tak berjalan sendiri-sendiri. Selain itu, koordinasi juga tetap terjaga dengan baik.
”Karena kita tak mungkin, yang punya wilayah begitu banyak dan ada perlintasan antara satu daerah dan daerah lain, lalu di-lockdown sendiri-sendiri. Itu tidak boleh. Jadi, pemerintah sedang mengatur batas-batas dan prosedurnya, serta apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak, karena itu perintah undang-undang,” ucap Mahfud.
Mahfud menargetkan payung hukum tersebut selesai minggu depan. Saat ini, payung hukum itu sedang disusun bersama dengan menteri terkait.
”Tentu akan secepatnya. Kita, kan, dalam situasi darurat. Jadi, dalam waktu tak terlalu lama akan segera dikeluarkan. Soal waktunya kapan, mungkin minggu depan sudah ada kepastian,” katanya.
Larangan mudik
Mahfud menyampaikan, sesungguhnya warga negara berhak bepergian ke mana pun dan hal itu diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dia mengingatkan agar warga menunda mudik pada tahun ini di tengah wabah virus korona yang masih merebak.
Pemerintah, lanjut Mahfud, sedang mempertimbangkan ada suatu kebijakan larangan mudik yang mencakup larangan mudik menjelang Lebaran, larangan piknik, larangan berkumpul, serta larangan penyelenggaraan acara mudik gratis yang biasa digelar oleh perusahaan, baik badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta.
”Pemerintah juga sedang menyiapkan suatu rencana kebijakan agar orang tak mudik dulu. Itu sekarang sedang didiskusikan dan pada saatnya akan diputuskan,” ujar Mahfud.
Soal warga yang saat ini sudah mudik ke wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, dan sebagainya, kata Mahfud, tentu pemerintah harus mengambil langkah-langkah lokal terkait antisipasi pencegahan virus korona.
”Misalnya, pengarantinaan terlebih dahulu, dilacak warga ini dari mana aslinya, pantas ODP (orang dalam pemantauan virus korona) atau tidak. Itu harus terus dilakukan,” ujar Mahfud.
Rekomendasi karantina wilayah
Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sebagaimana dikutip di Kompas.id (26/3/2020), menyarankan pemerintah menutup wilayah atau provinsi terjangkit infeksi Covid-19 selama minimal 14 hari. Hal itu bisa menjadi pilihan. Langkah ini diharapkan dapat memutus rangkaian penularan infeksi dan memudahkan penghitungan kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit.
Langkah itu dibutuhkan karena Dewan Guru Besar FKUI melihat pembatasan sosial belum konsisten diterapkan. Warga masih memadati transportasi publik, tempat wisata, sebagian perkantoran, tempat makan, taman terbuka, dan pusat perbelanjaan.
Menurut Dewan Guru Besar FKUI, pada 3,5 pekan pertama penutupan wilayah dapat mengurangi 81,3 persen kasus infeksi ekspor. Penurunan ini sangat berguna untuk daerah yang belum atau minimal terjangkit untuk melakukan koordinasi sistem kesehatan. Melandaikan kurva dan memperlambat proses penularan Covid-19 merupakan hal yang paling krusial karena sistem kesehatan saat ini belum mampu menerima beban kasus Covid-19 yang masif.
Sikap Dewan Guru Besar FKUI tersebut sebagai respons situasi terkini penanganan infeksi Covid-19, Kamis, 26 Maret 2020. Surat imbauan diedarkan dengan sepengetahuan Ketua Dewan Guru Besar FKUI Siti Setiati dan ditembuskan ke Ketua Satuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
”Ini hasil pemikiran para guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia atas berbagai permasalahan seputar penanganan infeksi Covid-19 dengan jumlah kasus yang terus meningkat, sampai 100 kasus per hari, dan angka kematian di atas 8 persen,” ucap Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam.