Produksi Ilegal Merkuri di Maluku Diduga Masih Berlangsung
Merkuri ilegal dari Pulau Seram, Maluku, yang terus diselundupkan keluar daerah menjadi salah satu tanda produksi bahan ilegal berbahaya itu masih berlangsung.
Oleh
frans pati herin
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Merkuri ilegal dari Pulau Seram, Maluku, terus mengalir ke sejumlah daerah melalui berbagai pintu keluar. Meski banyak yang berhasil digagalkan, diduga banyak pula yang lolos. Aliran merkuri ini menjadi salah satu tanda produksi bahan ilegal berbahaya itu masih berlangsung meski sudah dilarang oleh Presiden Joko Widodo sejak 2017.
Terakhir, aliran merkuri ilegal keluar dari Maluku digagalkan oleh polisi di Laut Banda, Senin (23/3/2020). Merkuri sebanyak 1,7 ton itu diangkut sebuah kapal motor dengan tujuan Baubau, Sulawesi Tenggara. Merkuri itu akan dijual dengan harga Rp 1,3 juta per kilogram.
Kalau produksi merkuri itu dilakukan di dalam areal permukiman, bayangkan seperti apa pencemaran yang terjadi di sana.
Dari pengakuan nakhoda, kapal tersebut sebelumnya pernah lolos membawa merkuri dengan jumlah hampir sama. Produksi merkuri dilakukan di dekat tempat penambangan batu sinabar.
Peneliti lingkungan dari Universitas Pattimura, Stevin Melay, di Ambon, Kamis (26/3), mendesak penambangan dan pengolahan merkuri dihentikan. Selama bahan baku masih tersedia, produksi akan berjalan terus. ”Kalau produksi merkuri itu dilakukan di dalam areal permukiman, bayangkan seperti apa pencemaran yang terjadi di sana. Bagaimana dengan nasib penduduk di sana?” ujarnya.
Merkuri diproduksi dari bahan baku sinabar. Proses produksi dilakukan dengan cara penyulingan. Menurut catatan Kompas, yang diperoleh dari petambang dan penyuling, 1 kilogram sinabar bisa menghasilkan hingga 0,7 kilogram cairan merkuri. Merkuri biasanya digunakan untuk mengolah emas di kawasan tambang emas liar. Adapun penambangan sinabar di Pulau Seram itu mulai beroperasi tahun 2013.
Sebelumnya, aparat keamanan mengklaim telah menutup tambang batu sinabar di Gunung Tembaga yang berada di Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, itu. Penutupan besar-besar dilakukan tahun 2017 atas perintah Presiden Joko Widodo.
Setelah penutupan itu, polisi sering kali menangkap pengiriman batu sinabar dan merkuri saat transit di Ambon ataupun di sekitar lokasi tambang. Hal ini menandakan bahwa hasil penambangan sinabar sebelum penutupan masih banyak yang tersimpan.
Namun, ada pula kemungkinan lain, yakni penambangan kembali berlanjut setelah penutupan. Pemerintah daerah dan aparat keamanan diminta kembali melakukan penertiban secara serius agar tidak ada lagi produksi merkuri di Maluku, yang merupakan terbesar di Indonesia.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri. Presiden juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri. Merkuri menyebabkan kerusakan pada saluran pencernaan, otak, jantung, ginjal, hati, paru, sistem saraf, dan sistem kekebalan tubuh.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku Komisaris Besar Eko Santoso mengatakan, pihaknya masih menyidik ihwal barang bukti 1,7 ton merkuri tersebut. Sejauh ini, Eko berasumsi ada dua kemungkinan, yakni barang itu adalah hasil timbunan sebelum penutupan tambang sinabar atau hasil penambangan baru.
”Untuk bahan evaluasi, apakah pola pengamanan perlu ditingkatkan atau apakah masyarakat yang kurang sosialisasi,” katanya. Ia menambahkan, pihaknya telah menetapkan dua tersangka baru, yakni BA (27) dan AB (31), dalam kasus pengiriman merkuri dari Seram ke Baubau itu.
Kedua tersangka, yang merupakan anak buah kapal itu, sempat melarikan diri ke hutan sebelum akhirnya ditangkap. Nahkoda kapal, ZA (54), sudah terlebih dulu ditetapkan sebagai tersangka. Pemilik barang tersebut, yang merupakan pengusaha Baubau, kini dalam penyidikan.
Penangkapan di Laut Banda itu bermula saat kapal patroli milik Kepolisian Perairan dan Udara Polda Maluku mencurigai ada muatan barang ilegal yang dibawa Kapal Motor Cahaya Baru. Ketika kapal patroli mendekat, ZA malah menambah kecepatan kapalnya mencari daratan terdekat. Polisi mengeluarkan tembakan peringatan sebanyak tiga kali, tetapi mereka tak mau berhenti.
Kejar-kejaran terjadi di laut hingga akhirnya buritan kapal ditembak beberapa kali. ZA belum mau menyerah. Kapal yang ia kemudikan itu akhirnya dipaksakan bersandar di pesisir Desa Simi, Kecamatan Waesama, Kabupaten Buru, Pulau Buru. BA dan AB loncat dari kapal dan melarikan diri ke hutan. ZA yang hendak kabur berhasil ditangkap.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, pihaknya kembali mempertimbangkan opsi untuk melakukan penyisiran lagi di lokasi tambang dan daerah sekitarnya. Roem belum memastikan waktu pelaksanaannya. ”Namun, yang pasti, pengawasan akan ditingkatkan,” katanya.