KPU Punya Empat Landasan Filsafat Hukum untuk Tunda Pilkada 2020
Wabah Covid-19 yang semakin menyebar merupakan situasi kedaruratan yang perlu disikapi secara serius. Untuk mencegah penyebaran virus korona baru itu, penundaan Pilkada Serentak 2020 menjadi pilihan rasional.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah situasi kedaruratan akibat wabah Covid-19, penundaan Pemilihan Kepala Daerah 2020 menjadi pilihan yang tepat demi mencegah penyebaran virus tersebut. Komisi Pemilihan Umum memiliki empat landasan filsafat hukum yang bisa mendasari kebijakan penundaan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pekan lalu telah menunda empat tahapan Pilkada 2020, yakni pelantikan Panitia Pemungutan Suara, verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih, serta kerja pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Tahapan itu sedianya berlangsung pada Maret-Mei 2020. Adapun pemungutan suara Pilkada 2020 dijadwalkan digelar pada 23 September 2020.
Anggota KPU Bidang Hukum dan Pengawasan, Hasyim Asyari, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (26/3/2020), mengatakan, mengenai kemungkinan penundaan Pilkada 2020, pihaknya berpegangan pada dua prinsip dasar terselenggaranya pemilu, yakni adanya pemilih dan kandidat yang dipilih.
Namun, keberadaan dua hal itu terganggu lantaran ada tahapan pemutakhiran data pemilih dan tahapan verifikasi dukungan calon perseorangan yang ditunda oleh KPU dengan menimbang perkembangan penyebaran penyakit Covid-19.
”Dua tahapan itu ditunda sampai batas sebagaimana (status darurat tertentu) keputusan Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), yakni sampai 29 Mei 2020. Penundaan dua tahapan ini berpotensi berpengaruh pada penyelenggaraan pemungutan suara pada 23 September 2020,” ujar Hasyim.
Saat ini, tim hukum KPU sedang membuat kajian kemungkinan penundaan Pilkada 2020 sebagai bahan dari rapat pleno yang akan diadakan KPU, pekan depan. Penundaan itu belum dipastikan karena harus dirapatkan terlebih dahulu oleh KPU.
Menurut Hasyim, ada empat landasan filsafat hukum yang digunakan pihaknya dalam melihat kemungkinan penundaan pilkada akibat wabah penyakit Covid-19. Pertama, kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan. Kedua, salah satu tujuan berhukum ialah memelihara kelangsungan hidup manusia. Karena itu, tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan yang berakibat hilangnya keberadaan manusia.
Ketiga, menghindari keburukan harus diutamakan daripada meraih kemaslahatan. Keempat, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto). Dengan empat landasan itu, kata Hasyim, penundaan Pilkada 2020 dapat dilakukan.
Namun, untuk melakukannya harus melalui dua pintu, yakni revisi terbatas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap UU No 10/2016. Sebab, ketentuan penyelenggaraan pilkada dijadwalkan pada September 2020 termaktub di dalam Pasal 201 Ayat (1).
Situasi kedaruratan
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan, wabah Covid-19 yang semakin menyebar merupakan situasi kedaruratan yang perlu disikapi secara serius. Karena itu, untuk mencegah penyebaran virus, penundaan Pilkada Serentak 2020 dinilai menjadi opsi paling tepat.
”Ini situasinya tanggap darurat. Kedaruratannya itu, kan, cuma satu bahwa pilkada harus ditunda. Dalam menghadapi wabah pandemi virus korona ini, yang kami utamakan adalah keselamatan rakyat,” ujar Doli.
Namun, lanjut Doli, hal tersebut masih harus dirapatkan antara Kementerian Dalam Negeri dan para penyelenggara pemilu. Dia menyampaikan, saat DPR kembali bersidang, pekan depan, Komisi II akan memprioritaskan pembahasan Pilkada 2020 dengan pihak-pihak tersebut.
Di dalam rapat itu setidaknya ada dua hal yang akan dibahas, yakni mendengar kajian yang dilakukan Divisi Hukum dan Pengawasan KPU serta mendalami keputusan KPU yang menunda empat tahapan di Pilkada 2020.
Apabila kelak semua pihak sepakat menunda pilkada, menurut Doli, langkah selanjutnya yang paling memungkinkan adalah penerbitan perppu untuk menunda pemilihan di luar waktu seperti diatur dalam UU Pilkada.
Mengingat asas kedaruratan, penerbitan perppu dinilai lebih cepat dibandingkan dengan merevisi terbatas UU Pilkada. Revisi terbatas UU Pilkada, lanjut Doli, tak mungkin dilakukan karena Komisi II telah sepakat revisi UU Pilkada menjadi bagian yang tak terpisahkan dari revisi UU Pemilu dan UU Partai Politik, yang akan diterapkan setelah Pilkada 2020.
”Tak bisa revisi terbatas UU Pilkada. Kan, soal penundaan ini yang direvisi UU Pilkada hanya satu pasal. Hanya satu kepentingan, yaitu menunda pilkada serentak. Kalau memang hanya satu pasal, saya kira sebaiknya perppu saja yang diterbitkan. Perppu lebih simpel dan itu dimungkinkan dalam peraturan perundang-undangan,” ucap Doli.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyampaikan, setiap usulan KPU akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan penundaan pilkada. Penundaan pilkada, lanjut Bahtiar, juga harus melihat perkembangan penyebaran Covid-19.
”Kami tentu memperhatikan usulan dan pertimbangan KPU. Namun, untuk keputusan pastinya, itu akan dibicarakan bersama KPU, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), pemerintah, dan DPR,” ujar Bahtiar.