Terkatung-Katung di Ujung Utara Nusantara
Miangas selalu disebut-sebut sebagai batas utara Indonesia, tetapi penerbangan ke arah ujung Sulawesi Utara itu penuh ketidakpastian. Wartawan Kompas terkatung-katung di Miangas selama seminggu.
[caption id="attachment_11166055" align="alignnone" width="720"] Matahari terbenam di pantai barat Pulau Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, pada Senin (9/3/2020).[/caption]
Dalam kesima, saya tenggelam kala menyaksikan sang surya kembali ke peraduannya di pantai barat Pulau Miangas. Ia bak bola raksasa yang memancarkan kemilau jingga ke segala penjuru. Mirip lukisan siswa sekolah dasar, matahari tampak senyata-nyatanya terbenam perlahan ke dalam samudera nun jauh di garis horizon.
Lalu jingganya meredup, perlahan berganti lembayung berhias siluet tubuh-tubuh warga pesisir di antara jajaran perahu kayu. Tepat 8.785 senja telah saya lewati seumur hidup, dan akhirnya saya yakin senja di Senin (9/3/2020) itu adalah yang terindah.
Rupanya pertunjukan teater alam Miangas belum selesai. Dari arah timur bulan purnama perlahan meninggi, penuh dalam kebundarannya. Putih kekuningan kilaunya menerangi langit temaram menuju malam.
Suara dua gadis remaja desa membuyarkan kekaguman saya. “Nyanda jadi berangkat, Kak (Tidak jadi berangkat, Kak)?” tanya Stevani (15), salah satu dari mereka. Pertanyaan itu mengingatkan saya pada pembatalan penerbangan yang menyebabkan saya terkatung dalam ketidakpastian di Miangas.
Seharusnya siang itu saya sudah dalam penerbangan IW 1120 dengan pesawat ATR 72 milik Wings Air ke Manado, ibu kota Sulawesi Utara. Nyatanya, sore itu saya masih menyaksikan matahari tenggelam di Miangas. Delapan hari telah saya lewati di pulau paling utara Indonesia itu untuk meliput pelaksanaan tol laut logistik.
Jika ingin jadi sok romantis, puitis nan indie, saya akan berpikir semesta berkehendak menahan saya demi menunjukkan keelokannya. Sayangnya pemaknaan itu jauh dari pikiran saya. Keindahan senja yang saya saksikan di Miangas Senin sore itu adalah buah dari betapa sukarnya menjaga keterhubungan jajaran lebih dari 17.000 pulau yang katanya sambung-menyambung menjadi satu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kabin gerah
Miangas, pulau seluas 3,2 kilometer persegi, adalah sebuah kecamatan khusus di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut. Ia hanya terdiri dari satu desa berpenduduk 800 orang. Berbatasan dengan Laut Filipina, jaraknya sekitar 60 mil laut dari Melonguane, ibu kota kabupaten yang terletak di Pulau Karakelong.
Demi menjaga konektivitas dengan wilayah perbatasan, Kementerian Perhubungan bekerja sama dengan Wings Air untuk membuka penerbangan pulang pergi di rute Manado-Melonguane-Miangas sekali sepekan. Pesawat berangkat tiap Minggu pagi pukul 09.30 Wita dari Manado dan kembali dari Miangas 11.30 Wita.
Nasib saya di Miangas berawal pada Minggu (1/3/2020) pagi. Langit Manado kelabu dilingkupi awan gelap. Hujan deras yang mengguyur kota sejak malam sebelumnya tidak kunjung reda. Hanya warna abu-abu yang tampak di sekitar landasan pacu Bandara Sam Ratulangi.
Sesuai dugaan, penerbangan ditunda satu jam, kemudian ditunda lagi hingga waktu yang tak ditentukan. Baru sekitar 14.30 Wita, para penumpang tujuan Melonguane dan Miangas diminta masuk ke pesawat kendati hujan sedang lebat-lebatnya.
Aneh, udara di dalam kabin terasa gerah. Mesin pendingin (AC) tidak dihidupkan. Bau badan para penumpang mulai mengisi ruangan. Seperti tak terjadi apa-apa, awak kabin meminta kami memasukkan barang-barang ke kompartemen di atas kursi, lalu duduk di tempat masing-masing. Rupanya hampir semua kursi terisi.
Alih-alih mengumumkan keberangakatan, melalui pengeras suara pilot mengumumkan permintaan agar kami sabar menunggu sampai cuaca membaik. Kami pun bertahan dalam gerah di kabin sampai akhirnya AC dinyalakan.
Saya hanya bisa pasrah jika harus berangkat dalam cuaca seburuk itu. Namun, tetiba pilot meminta semua penumpang turun dan kembali ke terminal karena cuaca diperkirakan tak akan membaik hingga dua jam ke depan. Jarak pandang terbatas bisa membahayakan penerbangan.
Ternyata tak lama kemudian hujan berhenti. Kabut dan awan yang melingkupi bandara lenyap. Namun, sekitar 15.30 Wita, Wings Air malah mengumumkan penerbangan ke Miangas dibatalkan dan akan diganti pada Senin (2/3) pukul 06.00 Wita. “Ya sudah lah, daripada harus bertaruh nyawa,” pikir saya.
Terlepas dari itu, nasib penerbangan Manado-Melonguane-Miangas itu bertolak belakang dengan pesawat-pesawat Airbus atau Boeing tujuan kota-kota pusat pertumbuhan ekonomi seperti Makassar, Balikpapan, Surabaya, dan Jakarta. Biarpun berjam-jam tertunda, pesawat-pesawat berkapasitas ratusan penumpang tetap diberangkatkan hari itu juga.
Esoknya, pesawat mendarat di Miangas membawa 15 orang saja. Sebagian besar penumpang dari Manado sudah turun di Melonguane. Bagi sebagian warga Miangas seperti Nelly Loeppa (52), pesawat menjadi alternatif yang lebih menghemat waktu daripada kapal perintis Sabuk Nusantara 69, 70, dan 95.
"Saya lebih baik bayar mahal daripada harus lelah di kapal. Badan saya sakit semua," kata pengusaha sekaligus sekretaris kecamatan Miangas itu.
Terkatung-katung
Seiring selesainya tugas peliputan, tibalah waktunya pulang, Minggu (8/3). Di konter lapor diri Bandara Miangas, Anggriyani Pade (26), petugas Wings Air, menerima kode pemesanan saya. Ia lalu memberikan boarding pass yang menerakan keterangan penerbangan dalam tulisan tangan. “Maaf ya, kami di sini masih manual,” katanya sambil tersenyum.
Empat calon penumpang hari itu siap berangkat, dua ke Melonguane, dua lainnya ke Manado. Namun, tiba-tiba petugas bandara mematikan AC dan lampu terminal keberangkatan.
“Pesawat ditunda 180 menit, kami matikan dulu listriknya supaya hemat solar. Di sini susah solar,” kata Suwardi Pade, petugas bandara. Sumber energi Bandara Miangas adalah generator diesel.
Tidak jelas alasan keterlambatan itu. Soalnya, cuaca di Manado, Melonguane, dan Miangas cerah. Singkat cerita, pesawat tak mendarat di Miangas hari itu. Anggriyani mengatakan, pesawat hanya bisa mendarat di Melonguane. Sedangkan, Bandara Miangas harus tutup karena waktu sudah lewat dari 16.00 Wita, batas waktu operasional bandara.
Tidak ada kompensasi keterlambatan berupa makanan ringan maupun pemberitahuan resmi bagi para calon penumpang di Miangas. Anggriyani bahkan tidak diberitahu. Informasi pesawat akhirnya berangkat dari Manado ke Melonguane didapatnya dari status WhatsApp rekannya. Ia berjanji akan segera memberitahu jadwal keberangkatan yang baru.
Dari informasi yang dihimpun Prajurit Satu (Pratu) Okky Bagas, pengumpul intelijen Pos Angkatan Laut (Posal) Miangas, pesawat ternyata mengalami kerusakan salah satu mesin di Melonguane. Baling-baling pesawat tak berfungsi.
Pratu Yeki Permana Nainggolan, petugas Posal Miangas lainnya, menambahkan, penerbangan tidak mungkin dilakukan sore itu sekalipun pesawat tidak rusak. Sebab, landasan pacu di bandara Bandara Miangas dan Melonguane tidak memiliki lampu. “Kalau sudah gelap, runway dan laut sama hitamnya,” katanya.
Dihubungi via WhatsApp, Corporate Communications and Strategic Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro mengatakan, penundaan dikarenakan pesawat “harus menjalani pemeriksaan tidak berjadwal”. Saya salut dengan kelihaian Danang memparafrase “pesawat rusak.”
Esoknya, Senin (9/3), keberangkatan pesawat ditunda lagi. Kali ini, Anggriyani mengatakan pesawat hampir mengalami kecelakaan ketika menuju Melonguane. Wings Air membawa teknisi ke Melonguane untuk memperbaiki pesawat. “Besok pesawat pasti ke sini,” ujarnya meyakinkan.
Namun, kabar yang dibawa Anggriyani esok harinya berbeda: penerbangan ditiadakan. Ia menjelaskan, pesawat hanya digunakan mengangkut sekitar 30 orang dari Melonguane ke Manado. Pesawat harus digunakan untuk terbang ke Maluku Utara.
“Pesawat sudah balik ke Manado. Daripada cuma bawa empat penumpang dari Miangas, to? Kalau mau, Minggu depan berangkat,” katanya. Saya menolak dan memilih naik kapal perintis, Sabtu (14/3).
Kami memang cuma empat orang, tetapi apa bedanya hak kami dengan penumpang lainnya? Heri Nusa, salah satu penumpang, harus segera kembali bekerja di Rumah Sakit Angkatan Darat Wolter Mongisidi Manado. Julben Mangintiu, penumpang lainnya, harus menghadiri bimbingan teknis pengawas pemilu di Melonguane. Kepentingan dan hak mereka akhirnya dikorbankan.
Segenap kekesalan saya tertahan di tenggorokan, karena teriakan marah pun tak ada guna. Kembalilah saya ke Posal Miangas, tempat saya menginap selama lebih dari seminggu terakhir. Untungnya, Pratu Bagas dan Pratu Nainggolan cukup dermawan untuk memasak setiap hari dan mempersilakan saya makan tanpa pamrih.
Selama sepekan terisolasi, saya terus berusaha membiasakan diri dengan sinyal 4G di Miangas yang pas-pasan serta susahnya menelepon kawan di daerah lain. Saya belajar memahami kepasrahan Yulfitri Kaemung (48), salah seorang warga, yang susah menelepon dan ditelepon anaknya yang bekerja di Manado. Menara BTS di Miangas belum tersambung dengan serat optik.
"Orang jadi malas telepon kita karena jaringan jelek. Waktu Pak (Presiden) Jokowi datang, sinyal bagus. Waktu dia pulang, sinyal juga dia bawa," katanya berkelakar.
Tidak ada lagi kaget akan mahalnya harga barang-barang di Miangas, seperti sebotol air mineral 1,5 liter yang biasanya hanya Rp 5.000 menjadi Rp 10.000. Saat kehabisan sabun, saya harus maklum dengan sebotol Lifebuoy 100 mililiter yang dibanderol Rp 30.000, jauh di atas belasan ribu rupiah di Manado. Semuanya karena mahalnya biaya logistik yang harus ditanggung.
Saya juga melihat bagaimana hasil perikanan tangkap para nelayan hanya berakhir di desa. Seekor cakalang utuh dijual Rp 100.000. Namun, tidak ada yang bisa keluar Miangas. Tidak ada kapal penampung maupun pengusaha yang nekad mengarungi laut lepas demi hasil ikan tangkap yang jumlahnya tak seberapa dibanding Bitung.
Akhirnya saya mengerti sulitnya hidup di perbatasan. Namun, kesusahan seolah tak nampak pada wajah-wajah bahagia penduduk desa. Mungkin merekalah yang paling mengerti makna hidup di negara kepulauan dibanding saya yang terbiasa dengan nyamannya gemerlap kota.
Mahal
Penerbangan Manado-Melonguane-Miangas dan Manado-Naha (Kepulauan Sangihe) memang pernah dihentikan pada Oktober 2019. Sebab, Wings Air terus merugi akibat keterisian kursi selalu di bawah 50 persen. Namun, masalah tersebut teratasi setelah ada kesepakatan kerja sama antara pemerintah dan Wings Air pada Desember 2019.
Direktur Angkutan Udara Kemenhub Maria Kristi Endah Murni pernah mengatakan, subsidi oleh pemprov dan pemkab yang dapat menyelamatkan rute itu. Pemerintah pusat tak memiliki anggaran untuk mengadakan pesawat perintis.
Semua kejadian ini mengingatkan saya pada kalimat yang senantiasa digaungkan para pemimpin negeri dan politisi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.”
Bukan sekadar kalimat, rangkaian kata itu adalah sebuah pernyataan politik. Hamparan 17.000 pulau sepanjang 5.300 kilometer dari Sabang di barat hingga Merauke di timur serta 1.851 km dari Miangas di utara dan Rote di selatan adalah sebuah kesatuan bernama Indonesia.
Nyatanya, menjaga 17.000 pulau sebagai suatu kesatuan, dengan hak yang sama bagi warga di pusat maupun periferi tak mudah. Bisnis tak bisa rugi. Sedangkan anggaran negara terbatas. Akhirnya warga perbatasan dan pulau seperti Miangas harus berkorban, nrimo ing pandum (ikhlas menerima nasib dengan lapang dada).
Saya teringat perkataan Ana Maria Jordan (49), warga Miangas keturunan Filipina yang sudah melanglang buana ke Jawa, Bali, dan Kalimantan. “Di sini masa depan suram. Kalau saya mati, anak saya di Balikpapan tidak akan bisa melihat jenazah saya karena waktu mereka sampai sini, pasti sudah rusak duluan,” katanya.
Miangas akan terus diromantisasi sebagai batas utara sebuah negeri yang indah, yang menjadi suatu kesatuan sekalipun terdiri dari belasan ribu pulau. Namun, realita kehidupan di perbatasan utara Indonesia tak pernah seromantis senja yang saya saksikan di Senin sore itu atau semanis slogan-slogan politik.