Kisah Nelayan Udang Jambi Terpuruk di Tengah Pandemi
Primadona hasil tangkapan nelayan pesisir timur Jambi tak lagi disandang udang mantis (Harpiosquilla raphidea). Dua bulan terakhir, harga komoditas yang sempat melangit itu ambruk ke titik terendah. Nyaris tak bernilai.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Primadona hasil tangkapan nelayan pesisir timur Jambi tak lagi disandang udang mantis (Harpiosquilla raphidea). Dua bulan terakhir, harga komoditas yang sempat melangit itu ambruk ke titik terendah. Nyaris tak bernilai.
Udang mantis dengan ukuran panjang 30 sentimeter biasanya dihargai Rp 200.000 per ekor, kini anjlok menjadi hingga Rp 5.000. Hasil tangkapan yang biasanya selalu habis dipasarkan, kini melimpah di kolam penampungan karena tak diserap pasar.
Di kolam-kolam penampungan agen-agen penjualan udang mantis di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, udang menumpuk. Pengelola agen udang terbesar di wilayah itu, Indra Gunawan, mengatakan, biasanya mengirim 1.000 hingga 2.000 ekor udang per hari ke Jakarta untuk selanjutnya diekspor ke China.
Namun, sejak meluasnya pandemi virus SARS-CoV-2 yang memutus lalu lintas ke China, perdagangan udang pun terdampak. Selama Februari dan Maret, pengiriman udang terhenti. Kondisi itu mengakibatkan sembilan karyawan di tempatnya dirumahkan.
Pengelola agen udang lainnya, Salwa, mengeluhkan hal serupa. Banyak udang yang telah dipasok dari nelayan tertahan di kolam milik agen. ”Biasanya diekspor lewat Jakarta, tetapi sekarang mau dikirim ke mana? Tidak ada permintaan,” katanya, Sabtu (21/3/2020).
Ratusan udang yang terparkir akhirnya dibagikan cuma-cuma kepada warga sekitar atau dijual dengan harga seadanya. Yang penting udang dapat segera dilepas sebelum mati.
Ratusan udang yang terparkir akhirnya dibagikan cuma-cuma kepada warga sekitar atau dijual dengan harga seadanya.
Berdasarkan data Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Jambi Kementerian Kelautan dan Perikanan, volume penjualan udang mantis mulai turun sejak Januari. Jika dibandingkan dengan Desember 2019 yang berproduksi 333.270 ekor dengan nilai Rp 23 miliar, pada bulan Januari tercatat penjualan udang 258.535 ekor dengan nilai Rp 18 miliar. Penurunan berlanjut pada Februari, dengan volume 35.290 ekor bernilai Rp 2,6 miliar.
Udang mantis, yang disebut warga lokal dengan nama udang belalang atau udang ketak, merupakan tumpuan kesejahteraan nelayan Tanjung Jabung Barat, yang berjarak 125 kilometer di bagian timur Jambi. Harga jual udang yang tinggi itu sangat menggiurkan.
Sejak terbukanya pasar di tahun 2014, tangkapan udang mantis terus meningkat. Analisis data pengiriman jenis udang itu dari Jambi sejak 2015 tercatat naik rata-rata 23 persen per tahun. Pada 2015, pengiriman udang mencapai 2,48 juta ekor, meningkat pada 2016 menjadi 3,16 juta ekor. Selanjutnya, tahun 2017, naik lagi menjadi 3,78 juta ekor.
Perdagangan udang mantis menjadi penyumbang penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Nilai penjualannya sebesar Rp 48,7 miliar tahun 2015, naik menjadi Rp 63,3 miliar pada 2016, dan Rp 77,3 miliar pada 2017.
Tangkapan hasil laut berbasis udang mantis pun tumbuh menjadi sandaran bagi ribuan nelayan setempat. Lebih dari 3.000 nelayan di kampung nelayan dan sekitarnya menggantungkan hidup dari tangkapan udang mantis.
Menurut Agus, nelayan di Kelurahan Kampung Nelayan, Kecamatan Tungkal Ilir, terhentinya permintaan pasar akan udang mantis tidaklah mudah dihadapi nelayan setempat. ”Kalau hasil dari udang tidak ada, lalu kami mau makan dari mana,” keluhnya.
Kalau hasil dari udang tidak ada, lalu kami mau makan dari mana.
Nelayan setempat bisa saja menangkap hasil laut jenis laut untuk mengejar pasar lokal. Akan tetapi, untuk beralih dari tangkapan udang ketak dan ikan, ia harus mengganti jaring. Penggantian jaring inilah yang membutuhkan biaya cukup besar.
Untuk membeli jaring ikan, biayanya memakan Rp 8 juta. Penjualan dari hasil tangkapan ikan pun tak sama untungnya jika dibandingkan dengan hasil tangkapan udang ketak. Belum lagi ia harus berbagi hasil dengan tiga nelayan pekerja. Jika dihitung-hitung, hasil akhirnya hanya akan tersisa sekitar Rp 100.000 per orang.
Nelayan lainnya, Hasbullah, mengatakan, nelayan membutuhkan dukungan pemerintah daerah selama redupnya pasar udang mantis. Jangan sampai nasib nelayan makin tak menentu dalam keterpurukan.