Sinergi program dalam membangun wilayah perbatasan sungguh diperlukan. Hal tersebut penting mengingat selama ini pembangunan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan dari atas ke bawah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan wilayah perbatasan dinilai belum maksimal karena dilaksanakan secara sektoral dengan pendekatan dari atas ke bawah. Untuk itu, diperlukan payung hukum yang lebih kuat, yaitu undang-undang.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng ketika dihubungi, Rabu (18/3/2020), di Jakarta mengatakan, masalah pengembangan wilayah perbatasan sangat kompleks. Tidak hanya karena melibatkan banyak pihak, tetapi juga karakteristik wilayah perbatasan juga berbeda-beda, yakni berupa daratan dan kepulauan.
”Soal perbatasan bukanlah masalah baru dan ini terkait dengan desa tertinggal. Sementara pembangunan wilayah perbatasan mesti mencakup peningkatan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat pertahanan. Maka kuncinya adalah sinergi,” kata Endi.
Tahun ini, anggaran pembangunan wilayah perbatasan sebesar Rp 24,2 triliun. Dalam rencana tahunan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, anggaran tersebut akan difokuskan di 222 kecamatan perbatasan dan 11 pos lintas batas negara (PLBN).
Meskipun pemerintah telah menganggarkan dana untuk pembangunan wilayah perbatasan, menurut Endi, hal itu dinilai kurang maksimal karena kurangnya sinergi program antarkementerian dan lembaga yang terkait dengan perbatasan. Setidaknya terdapat 14 kementerian dan lembaga yang terkait dengan wilayah perbatasan. Selain itu, anggaran yang disediakan di setiap kementerian relatif kecil dibandingkan dengan kebutuhan yang ada.
Agar program pembangunan wilayah perbatasan lebih sinergis, menurut Endi, diperlukan payung hukum yang lebih kuat, yakni undang-undang. Tahun ini Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan telah masuk Program Legislasi Nasional. Diharapkan, undang-undang tersebut dapat segera disusun dan diberlakukan tahun ini.
Peneliti bidang pembangunan daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, berpandangan, pembangunan wilayah perbatasan selama ini merupakan program pemerintah pusat. Sementara pembangunan daerah perbatasan dinilai lebih didominasi pembangunan fisik.
Meski demikian, dari penelitiannya di lapangan, terdapat masyarakat di perbatasan yang lebih memerlukan program peningkatan keterampilan, seperti budidaya lebah atau pengolahan hasil karet. Sebab, dengan itu, mereka dapat mengolah hasil alam di daerahnya untuk meningkatkan ekonominya.
Sementara, kata Syarif, kebutuhan masyarakat perbatasan yang bukan berupa pembangunan fisik tersebut jarang terungkap karena program pengembangan perbatasan kurang memperhatikan usulan kebutuhan masyarakat setempat. Di sisi lain, pembangunan fisik lebih mudah dipertanggungjawabkan karena hasilnya langsung terlihat.
Secara mendasar, menurut Syarif, pembangunan wilayah perbatasan kurang maksimal karena programnya masih bersifat sektoral. Sebab, payung hukumnya masih berupa kebijakan sektoral, bukan berupa undang-undang. ”Selama ini, kementerian dan lembaga, kan, hanya diimbau untuk berkoordinasi dengan BNPP,” kata Syarif.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Suhajar Diantoro mengatakan, dalam rencana induk dan rencana tahunan BNPP, dari 782 kecamatan yang berada di wilayah perbatasan, sebanyak 563 kecamatan telah tercantum dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan. Dari jumlah itu, pembangunan diprioritaskan di 222 kecamatan atau lokasi prioritas.
”Maka, anggaran di 14 kementerian dan lembaga akan diarahkan ke 222 kecamatan tersebut sesuai perpres. Semisal program membangun puskesmas, maka dibangun di 222 kecamatan itu,” kata Suhajar.
Menurut Suhajar, program Gerakan Pembangunan Terpadu Perbatasan (Gerbangdutas) menjadi pendorong agar anggaran di kementerian dan lembaga dapat digunakan sesuai dengan rencana tahunan yang disusun BNPP. Untuk daerah terpencil, pembangunan diprioritaskan untuk membuka keterisolasian. Tahap berikutnya adalah membangun infrastruktur dasar, seperti sekolah, puskesmas, dan sanitasi.
”Namun, untuk daerah-daerah terpencil, pasti yang dibutuhkan adalah infrastruktur yang mendukung konektivitas dan infrastruktur untuk pelayanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan,” ujar Suhajar.
Saat ini, kata Suhajar, pihaknya masih mengevaluasi pola pembangunan wilayah perbatasan. Pemerintah masih menpertimbangkan pola pembangunan berbasis pemerataan, yakni membangun di semua wilayah atau kecamatan, atau fokus membangun berbagai infrastruktur hanya di beberapa lokasi atau kecamatan dalam satu waktu.